Opini

Dayah, Mana Janji Manismu?

Kedua model dayah itu --dayah tradisional dan dayah modern-- ternyata bukan saja terperangkap kedalam jaring

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dayah, Mana Janji Manismu?
Dr. Yusra Habib Abdul Gani, SH

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

POLITIK etis yang dilancarkan oleh Ratu Belanda pada 1901, telah merangsang semangat golongan pribumi (inlander) dan Timur Asing untuk mendirikan organisasi keagamaan, politik, kepemudaan dan mahasiswa di Pulau Jawa khususnya. Sementara implikasi politik etis terhadap Aceh ialah memberi jaminan terhadap eksistensi agama dan adat-istiadat. Para ulama yang tidak terjun ke kancah peperangan bersenjata, melapor kepada militer Belanda bahwa setibanya di kampung masing-masing akan merenovasi dan membangun rangkang/dayah kembali, sekalipun ditentukan syarat-syarat yang harus dipatuhi dan pengawasan yang ketat sekali (Dada Meuraksa, 1990).

Maka sejak 1904, rangkang-rangkang dan dayah-dayah yang telah hancur semasa perang, dibangun semula disamping membangun dayah-dayah yang baru, seperti Dayah Kruengkalé, Tgk Syech Abdul Wahab membangun Dayah Tanoh Abè, Haji Abbas dan Haji Ja’far membangun Dayah Lambirah. Di Aceh Barat, keturunan Tgk Muhammad Yusuf membangun Dayah Rumpet; keturunan Tgk Chik Muhammad Amin Tiro membangun Dayah Blang, Dayah Lampoh Raya, Dayah Tiro, Dayah Cot Pliëng, dan Dayah Cot Jurong (Ali Hasjmy, 1997).

Tgk Abdussalam membangun Dayah Lamnyong; Tgk Haji Umar membangun Dayah Lham U, Tgk Syech Marhaban membangun Dayah Lambhuk, sementara ulama-ulama lainnya membangun Dayah Ulèë Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong; Tgk Fakinah membangun Dayah Lamkrak (Dayah Lamdiran); Tgk Chik Eumpê Triëng membangun Dayah Rangkang Kanyang; Tgk Chik Ulèë U membangun Dayah Ulèë U. Tgk Chik Rundéng membangun Dayah Rundêngo; Tgk Muhammad Arsyad membangun Dayah Ië Leubeue; Tgk Yusuf membangun Dayah Meunasah Raya, dan di Teupin Raya dibangun pula Dayah Teupin Raya (ibid, Dada Meuraksa, 1990). Dibangun Madrasah Khairiyah oleh Tuanku Raja Keumala pada 1915, setelah menyerah kepada Belanda pada 1903.

Selain dari ulama tadi, terdapat juga petinggi negara yang telah menyerah, seperti Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Tuanku Raja Keumala, yang awalnya hendak meneruskan perjuangan bersenjata melawan Belanda, tetapi dengan perhitungan tertentu pada 1903, memutar haluan kepada perjuangan politik, dengan alasan untuk memimpin persatuan umat dan keteguhan semangat demi bergerak kembali menghancurkan kolonial Belanda, jika saat yang tepat sudah tiba (Dada Meuraksa, 1990).

Merekrut ulama
Untuk itu, mereka merekrut sederetan ulama, seperti Tgk Hasan Kruengkalé, Tgk Syech Ibrahim Lambhuk, Tgk H Abas Lambirah, Tgk Ba Jafar Lamjabat, Tgk Syech Saman Siron, Tgk H Hasballah Indrapuri, Tgk B Abdullah Lam U, Tgk Usman Lampaloh, Tgk Bintang Reukieh, Tgk Syech Mhd Lam Lhom, Tgk Abdussalam Meuraksa, Tgk Paki Lamkrak, Tgk Teupin Kaya, Tgk Abdul Jalil Awé Geutah, Tgk Muhammad Saleh Pulo Kiton, Tgk Daud Beureuéh, Tgk Umar Tiro dan disokong oleh para ulama besar di seluruh Aceh sebulat suara; walau pun pemerintah Belanda tetap mengawal gerak langkah mereka, sambil mengawasi para jamaah haji dari Aceh ke Mekkah, karena khawatir akan menyebarkan idea Pan-islamisme dari Arab, yang berlawanan dengan kepentingan politik kolonial Belanda di Aceh (ibid, Dada Meuraksa, 1990).

Sehubungan dengan politik perang baru di Aceh, maka fungsi dayah selain sebagai pusat pengajian Islam, juga digunakan sebagai markas untuk membina kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan pada ajaran Islam untuk mendapat keridhaan Allah Swt menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan perkataan lain, mengubah formula politik pendidikan Islam berkarakter Aceh, yang tujuannya untuk ikut serta berpartisipasi dalam pemerintahan kolonial Belanda di Aceh (ibid, Dada Meuraksa, 1990).

Untuk itu, Dayah di Tiro, yang memakai model totalitas tradisional memakai pendekatan rahmatan lil’alamin, berjiwa patriotik dalam melawan penjajahan maupun mendukung gerakan-gerakan yang menentang terhadap pemerintah yang zalim, menitikberatkan kepada transfer ilmu pengetahuan umum maupun agama dipakai sebagai basis. Dayah ini tidak memiliki nilai tawar pihak mana pun (Mukhlisuddin Ilyas, 2012). Sementara Dayah Muda Wali di Aceh Selatan, dinilai lebih modern dan cenderung sekuler, karena muatan sylabusnya bertumpu kepada pencapaian aspek intelektual, tanpa mementingkan keadaan lingkungan masyarakat sekitar (ibid, Mukhlisuddin Ilyas, 2012).

Kedua model dayah itu --dayah tradisional dan dayah modern-- ternyata bukan saja terperangkap kedalam jaring politik dan sistem pendidikan kolonial, akan tetapi juga tidak mampu menjadi perisai mempertahankan diri identitas pendidikan tradisional Aceh.

Akibatnya, nasionalisme Aceh yang mencakup: institusi kesultanan, harga diri, identitas politik, ekonomi, konstitusi (Meukuta Alam), mata uang, bendera, sistem dan struktur pemerintahan, lambang, stempel runtuh berkecai. Di atas puing-puing reruntuhan inilah, kemudian berdiri tegak nasionalisme dan negara Indonesia. Di sinilah rakyat Aceh mengibarkan bendera Merah Putih pada 1945. Habib Muda Seunagan memutuskan untuk mengibarkan bendera (Merah Putih) di Seunagan dan siap menanggung risiko apapun yang akan terjadi (Sehat Ihsan Shadiqin, Mukhlisuddin Ilyas, Ardiansyah, 2015).

Artinya, pada fase ini, selain Aceh tidak lagi mempunyai pemimpin Nasional, juga dianggap sebagai fase terakhir keberadaan dayah gerakan di Aceh pada abad ke-20, sekaligus berakhirnya peran dayah gerakan dalam dinamika pergolakan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial (Mukhlisuddin Ilyas, 2017).

Sebetulnya, saat putera Aceh, seperti Teuku Nyak Arif, Tgk Daud Beureuéh, Tgk Abdul Wahab Seulimeum, Tgk Hasan Krueng Kalé, Dr Mohammad Majoedin, Abdullah Husén, Teuku Muhammad Ali Panglima Polém dan Teuku Ahmad Jeuenib sudah tahu pasti tentang keabsahan berita kemerdekaan RI, sungguh bijak sekiranya putera-putera Aceh (ulama, anggota kerabat Sultan Aceh, ulèëbalang, aktivis dayah) bermusyawarah untuk membentuk sebuah komite ad-hoc, sekaligus mengambil keputusan bahwa penyerahan kuasa sipil dan militer dari junta militer Jepang, hanya diserah kepada komite ini, bukan kepada pihak luar; karena perjuangan Aceh menentang kolonialisme merupakan sebuah perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa Aceh; bukan sebuah perjuangan mendirikan negara lain. Lagi pula, Aceh memiliki rumah masa lampau yang dianggap masih begitu dekat dengan sejarahnya (Prof Dr Salim Said, 2017).

Artinya, Aceh mempunyai hak legal (legal status) untuk menentukan nasib masa depannya. Namun, peluang yang berharga ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Jepang justeru menyerahkan jaminan keamanan di Aceh kepada kuasa asing yang bermarkas di Singapura, sementara kuasa sipil Aceh diserah kepada Teuku Muhammad Ali Panglima Polim (wakil pemerintah RI di Aceh) atas perintah dari Teuku Njak Arief (Residen Aceh).

Krisis identitas
Tatkala situasi Aceh seperti ini, para ulama dan aktivis dayah, yang sejak 1911 telah mengkader pejuang bersenjata dan diplomatik, saatnya bersaksi di depan cermin sejarah untuk mengambil alih kuasa dari Jepang. Namun ulama dan aktivis dayah ini penakut (tjeuek), disebabkan mengalami krisis identitas, merasa rendah diri (inperiority complex), kehilangan ruh melawan penjajah Belanda dan secara perlahan-lahan nasionalisme Aceh pun tersungkur dan terkapar.

Dipercayai, antara faktor penyebab keterbelakangan berpikir ulama dan aktivis dayah dalam konteks politik keacehan (periode 1942-1945), berpunca dari muatan silabus pendidikan dayah yang hanya tertumpu kepada bidang munakahat, jinayah, waris, muamalah saja; sebaiknya mengenyampingkan aspek siasah dan korelasinya dengan pergolakan yang berlaku dalam peradaban Islam, seperti kajian tentang faktor-faktor kejayaan dan keruntuhan kekhalifahan Bani Umayyah (661-750), Bani Abbasyiah (750-1517), kemunculan Bani Umayyah jilid kedua (756-1031) yang kemudian juga runtuh; kejayaan dan keruntuhan kekhalifahan Oesmaniyah Turki (1299-1924); yang kemudian giliran kolonial Barat muncul sebagai kekuatan baru mengambil alih, setelah mengalahkan kekuatan Islam melalui perang Salib yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan politik perluasan wilayah di kurun masa abad ke-11 sampai 13.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved