Opini

Dayah, Mana Janji Manismu?

Kedua model dayah itu --dayah tradisional dan dayah modern-- ternyata bukan saja terperangkap kedalam jaring

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dayah, Mana Janji Manismu?
Dr. Yusra Habib Abdul Gani, SH

Seiring dengannya, dunia Islam --terutama di jazirah Arab, Afrika dan Asia-- jatuh berguguran satu demi satu. Tegasnya, silabus dayah di Aceh (periode 1911-1945), tidak mengkaji tentang arti pentingnya hisbul wathan (cintai tanah air) Aceh dan faktor-faktor yang mengantar Aceh menjadi sebuah negara masyhur pada abad 16-18), yang kemudian dihimpit oleh dua kekuatan --kekuatan asing dan dalam negeri Aceh sendiri-- hingga tersungkur di separuh abad ke-20.

Dalam rentang masa transisi, kekalutan politik, perasaan jiwa tidak stabil dan tidak percaya diri inilah, menjelma putera-putera Aceh oportunis, dengan gerak cepat merebut peluang dan menyeret Aceh ke dalam kancah politik baru Indonesia yang sedang bergelut di Batavia. Terbukti, permainan politik menjelang dan setelah kemerdekaan Indonesia, dikuasai dan didominasi oleh putera-putera Aceh berhaluan nasionalis.

Diakui bahwa terdapat PUSA, ulama independen dan aktivis dayah yang pada era itu sudah menyandang gelar Teungku Chik, dianggap masih peka dan memberi perhatian terhadap situasi politik yang berlaku di Aceh; akan tetapi keberadaan mereka seumpama “bayi tabung” (generasi Aceh) yang kehilangan kontak emosional lahir-batin dengan induknya (negara Aceh).

Perasaan nasionalisme Aceh tiba-tiba tak lagi bergetar di dada mereka, sembari mensucikan diri dalam kolam kesunyian dan kepedihan. Nasib masa depan Aceh akhirnya ditentukan oleh segelintir putera Aceh berhaluan nasionalis yang sebelumnya telah terpengaruh dengan politik kolonial Hindia Belanda, Jepang, ajaran demokrasi dan nasionalisme yang diperkenalkan oleh politisi inlander dari luar Aceh.

Kalangan ulama dan aktivis dayah, selain tidak mampu mengimbangi pertarungan ideologi dan politik kontemporer melawan kelompok nasionalis (1942-1945), juga terpaksa membiarkan dan menyaksikan mereka mempertontonkan goyang tarian nasionalisme Indonesia yang lincah, sekaligus mendominasi rumusan arah tujuan politik masa depan Aceh untuk dimasukkan ke dalam wilayah RI.

Kalangan nasionalis Aceh inilah yang telah berjasa menghancurkan nasionalisme Aceh berkeping-keping dan di atas puing-puing reruntuhan itu, dibangun jasad baru, yaitu Indonesia yang sesungguhnya bukanlah impian dan aspirasi dari bangsa Aceh pada ketika itu. Lantas, fungsi dayah yang dijanjikan, selain sebagai pusat pengajian Islam, juga sebagai pusat pembinaan kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan pada ajaran Islam. Toh, hasilnya nihil. Lelah menunggu janji manismu!

* Dr. Yusra Habib Abdul Gani, SH.,

Direktur Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark. Email: yusragani@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved