Opini
Virus Hedon dan Prostitusi
TAMPARAN keras buat kita semua ketika harus dihadapkan pada sebuah fakta adanya prostitusi di bumi Serambi
Oleh Nur Janah Alsharafi
TAMPARAN keras buat kita semua ketika harus dihadapkan pada sebuah fakta adanya prostitusi di bumi Serambi Mekkah. Sederet mahasiswi yang merupakan perempuan muda berintelektual muslimah dan modern tergelincir dalam bisnis seksual. Sebuah bisnis kuno berbasis tubuh yang ada sejak peradaban purba. Kenyataan ini sangat disayangkan dan menyedihkan. Persepsi kita tentang mahasiswi seyogyanya terkait dengan kegiatan intelektual yang sarat akan ilmu dan kearifan. Persepsi ini terpaksa kita singkirkan dulu dengan keharusan menelan pil pahit kenyataan adanya segelintir mahasiswi yang tergelincir di dunia prostitusi.
Prostitusi online di Aceh (Serambi, 25/3/2018) jika ditelisik akan menghadirkan sejumlah alasan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Alasan internal seperti tingkat kecerdasan, tipe kepribadian, tingkat emosionalitas dan sebagainya. Alasan eksternal akan mengacu pada faktor sosial, ekonomi, pengalaman hidup dan sejumlah alasan baik internal maupun eksternal lainnya. Hasil interogasi pihak kepolisian menginformasikan bahwa mereka melakukan hal tersebut karena alasan materi. Dorongan nafsu ingin tampil mewah dengan membeli tas, handphone, sepatu, kosmetik, dan sejumlah barang branded lainnya.
Gaya hidup atau lifestyle yang telah berubah merupakan sebuah alasan kuat mengapa mahasiswi yang notabene adalah calon intelektual mengambil keputusan nekad untuk berperilaku seks bebas di dunia prostitusi.
Gaya hidup pada awalnya dikemukakan oleh Alfred Adler seorang psikolog berkebangsaan Austria. Istilah ini mengacu pada kebutuhan sekunder manusia yang dapat saja berubah sesuai dengan pengaruh zaman. Plummer (1983) berpendapat bahwa gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana ia menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang dianggap penting dalam hidupnya (ketertarikan), dan apa yang ia pikirkan tentang dunia sekitarnya.
Gaya hidup seseorang atau sekelompok orang terkait dengan bagaimana mereka mengekspresikan perilaku, kebiasaan, hobby, opini terhadap lingkungannya melalui status atau simbol yang dibangun oleh diri atau kelompoknya. Gaya hidup merupakan jendela kepribadian yang dipilih dan dibangun oleh individu/kelompok itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana secara sadar dan sehat ia membangun gaya hidup tersebut?
Jika gaya hidup yang dipilih adalah gaya hidup yang positif, sehingga dapat memberikan kontribusi optimal untuk pengembangan dirinya sendiri, kelompok dan masyarakat tentu tak ada masalah. Namun jika gaya hidup yang dipilihnya justru memberikan efek destruktif bagi rusaknya nilai moral dan jati diri sendiri maupun anak bangsa secara luas tentu patut kita pikirkan bersama apa dan mengapa serta bagaimana solusinya.
Gaya hidup hedon
Gaya hidup hedon berasal dari kata hedonisme. Hedone sendiri berasal dari nama seorang dewi dalam mitologi Yunani kuno. Hedone adalah anak dari pasangan dewi Psyche dan Eros, orang Yunani kuno menabalkan Hedone sebagai dewi kesenangan. Wikipedia menuliskan bahwa hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Sosok hedonis menganggap bahwa ia akan berbahagia jika ia melakukan banyak kesenangan (pleasure) dan menghindari segala sesuatu yang menyakitkan (pain). Sosok hedonis tidak menyadari bahwa yang dianggapnya kebahagiaan sebenarnya hanya sebuah kenikmatan ragawi semata. Kenikmatan ragawi yang dibangun dengan sifat instan dan sesaat. Ibarat segelas minuman, kenikmatan ragawi dapat dimetaforakan segelas minuman bersoda yang seolah menghilangkan rasa haus. Namun alih-alih rasa haus hilang, justru kerongkongan makin kering dan ketagihan ingin mereguknya terus-menerus dan diam-diam minuman bersoda itu menggerogoti kesehatan.
Sebenarnya tampilan kehidupan zaman now banyak terjebak dalam kemasan hedonis. Pilihan branded untuk barang-barang yang dipakai sehari-hari seperti tas, sepatu, baju, jam, kosmetik, kacamata dan sebagainya, seringkali dibeli bukan hanya alasan kebutuhan semata. Keputusan membeli barang branded sering dilakukan sekadar untuk memuaskan nafsu hedonis materialis semata. Perilaku seseorang yang memaksa tampil menjadi sosok yang “prematur modern” ini juga menjadi alasan bagi seseorang untuk memilih “topeng palsu” berupa pemakaian barang mewah maupun “sok mewah”. Hal ini yang memaksanya menggunakan brand tertentu untuk tampilannya maupun terpaksa memilih brand KW-nya agar tetap terkesan mewah. Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh para produsen maupun pengusaha olshop (online shoping) yang menjual barang-barang KW berbau branded.
Sosok hedonis banyak menghabiskan waktu untuk mengekspos tampilan kemewahannya secara nyata maupun maya. Ia juga akan memilih teman-teman yang seideologi dengannya, sehingga sejak tampilan baju, tas, sepatu, pilihan tempat nongkrong, topi kobrolan dan sebagainya muncul dalam kemasan hedonis. Sosok hedonis tampil seolah bahagia, meskipun batinnya menjerit karena bisa jadi ia pun tak paham dengan pilihannya itu. Pilihan mereguk kesenangan ragawi semata untuk kemudian terjerembab jatuh menangis, karena kesenangan tersebut benar-benar fana.
Gaya hidup hedonis dan materialis ini acapkali memaksa pelaku untuk “harus” memenuhi nafsu hedon yang menggebu. Sementara kenyataan bahwa penghasilan ataupun uang kiriman orang tua terbatas. Dalam posisi ini beberapa orang memilih nekad memutuskan untuk melakukan jalan pintas (short cut) kegiatan ilegal seperti penipuan, dan beberapa yang lain memilih bisnis prostitusi baik sebagai germo maupun PSK-nya. Di pihak lain konsumen bisnis prostitusi meskipun secara ekonomi juga mengeluarkan dana untuk mereguk seks haram, namun ia juga terjebak dalam kehidupan hedonis demi mengejar seks sebagai kesenangan dan hura-hura ragawi semata.
Solusi moral
Solusi moral, sebuah tawaran untuk kita renungkan bersama. Solusi moral ini dapat diterapkan untuk pelaku (konsumen, PSK, mucikari) maupun untuk masyarakat luas pada umumnya. Solusi moral ini merupakan sebuah formula yang melibatkan: Pertama, religiusitas. Mengasah tingkat religiusitas individu dan masyarakat melalui mekanisme institusi keagamaan di tingkat kampung hingga daerah secara luas. Penelitian Milfont (2008) menunjukkan korelasi yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan kecenderungan hedonisme. Hal ini karena seseorang dengan tingkat religiusitas tinggi akan memiliki komitmen tinggi terhadap agama yang dianutnya sehingga tingkat hedonismenya rendah.
Untuk meningkatkan religiusitas ini, Glockdan Strak (dalam Ancok & Suroso, 2011) menyebutkan beberapa dimensi religiusitas seperti keyakinan, ritual, pengamalan, pengetahuan dan pengalaman. Mengasah dimensi religiusitas tersebut hendaknya dilakukan sejak dini, sehingga dalam jangka panjang diharapkan dapat terbentuk generasi religius yang memiliki pola hidup bersahaja.
Kedua, rehabilitasi moral. Rehabilitasi moral untuk pelaku khususnya para PSK sangat penting, PSK ini korban yang perlu dibina kembali. Apalagi PSK tersebut berasal dari generasi muda terdidik yang masih memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Rehabilitasi moral ini dapat dilakukan dengan melibatkan para pakar lintas sektoral, baik ulama, guru, psikolog, sosiolog dan sebagainya. Program rehabilitasi moral yang terprogram dan berkesinambungan akan berfungsi sebagai vitamin positif, sehingga pelaku jaringan prostitusi tersebut diharapkan akan memiliki motivasi untuk kembali ke jalan yang benar.