KUPI BEUNGOH
Menegakkan Marwah Kekhususan Aceh dalam Bayang-bayang PP Nomor 39 Tahun 2025
Cermin paling jelas dari ketimpangan antara idealisme otonomi dan realitas administrasi dapat dilihat pada sektor pertambangan rakyat.
Penulis: Delky Nofrizal Qutni *)
ACEH adalah daerah dengan status istimewa yang diakui oleh konstitusi, memiliki otonomi khusus yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam spiritnya, kekhususan ini tidak hanya soal simbolik berupa bendera, lambang, atau penerapan syariat Islam, melainkan juga mencakup kewenangan mengatur sumber daya alam secara berdaulat dan berkeadilan.
Namun, di lapangan, semangat kekhususan itu sering kali berhenti pada tataran retorika.
Salah satu cermin paling jelas dari ketimpangan antara idealisme otonomi dan realitas administrasi dapat dilihat pada sektor pertambangan rakyat.
Hingga kini, Aceh belum memiliki Qanun khusus yang mengatur secara tegas pengelolaan pertambangan rakyat dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Padahal, sektor ini adalah denyut ekonomi masyarakat pedalaman dan pegunungan yang bertahan hidup dari hasil bumi mulai emas, pasir besi, batuan, hingga mineral lain.
Ketiadaan qanun tersebut membuat Aceh, mau tidak mau, harus tunduk sementara pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025.
Tentang Penyelenggaraan Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Keputusan Menteri ESDM tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Dalam konteks otonomi khusus, hal ini tentu menjadi dilema. Di satu sisi, Aceh berhak mengatur urusan pertambangan sesuai kekhususannya.
Di sisi lain, ketiadaan perangkat hukum lokal memaksa pemerintah Aceh bergantung pada standar pusat.
Baca juga: Daftar 51 Jenazah Korban Ambruknya Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang Teridentifikasi, Sisa 13 Jasad
Baca juga: Rafly Kande Hipnotis Ribuan Warga di Bireuen, Lapangan Cot Gapu Membludak
Situasi ini ibarat memiliki rumah sendiri, namun masih harus mengikuti aturan rumah tetangga karena belum menulis aturan internal sendiri.
Instruksi Gubernur Aceh tentang percepatan pengusulan WPR sebenarnya merupakan langkah progresif.
Ia lahir dari kesadaran bahwa tambang rakyat perlu dilegalkan agar kegiatan ekonomi masyarakat tidak terus berada dalam bayang-bayang kriminalisasi.
Namun, langkah tersebut berpotensi menjadi simulakra kebijakan yakni sebuah realitas semu yang tampak ideal di permukaan, tapi kehilangan substansi ketika dihadapkan pada prasyarat administratif dan teknis.
Delky Nofrizal Qutni
Kupi Beungoh Delky Nofrizal Qutni
PP Nomor 39 Tahun 2025
Opini tentang Penertiban Tambang
DEA dan Arah Baru Pembangunan Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Membaca Kearifan Tambang dalam Hadih Maja dan Syair Langgolek |
![]() |
---|
Dr. Hanifah Nurdin: Akademisi Perempuan Muda di Aceh yang Menginspirasi Lewat Kajian Media & Konten |
![]() |
---|
Jejak Doa di Jalan Ilmu: Dari Perjuangan Pendidikan hingga Kursi Rektor UIN Ar-Raniry |
![]() |
---|
Pertemuan Gubernur dan Menteri Keuangan : Babak Baru Konflik Fiskal Pusat dan Daerah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.