Riwayat "Si Gunung Emas" Seulawah RI-001, Pesawat Pertama RI yang Dibeli dengan Uang Rakyat Aceh
Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, menabalkan nama “Seulawah” untuk pesawat jenis Dakota C-47, yang dibeli dari hasil sumbangan rakyat Aceh pada 1948.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Safriadi Syahbuddin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Seulawah berarti Gunung Emas, salah satu gunung berapi di Aceh yang masih aktif.
Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, menabalkan nama “Seulawah” untuk pesawat jenis Dakota C-47, yang dibeli dari hasil sumbangan rakyat Aceh pada 1948.
Pesawat itu diregistrasi dengan nomor RI-001, adalah pesawat pertama milik Pemerintah Indonesia. Pesawat ini memiliki panjang badan 19,66 meter, rentang sayap 28.96 meter, digerakkan dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg, mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.
(Baca: Jarang Diketahui, Ini Foto-Foto Kabin Monumen Pesawat Seulawah RI-001 di Blangpadang Banda Aceh)
Seulawah RI-001 menyimpan riwayat panjang. Buku Awal Kedirgantaraan Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2008) dengan gamblang menguraikan kisah “Si Gunung Emas” sejak awal pengumpulan dana pembelian, proses pembelian, peranan dan aktivitas Seulawah dalam membantu perjuangan Indonesia.
Pesawat sumbangan Aceh inilah yang menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dengan nama Indonesian Airways beroperasi di Burma, dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia.
Di Burma itulah untuk pertama kali Seulawah RI-001 dikomersilkan kepada Pemerintah negara tersebut yang saat itu menghadapi pemberontakan dalam negeri.
Pemerintah Burma membutuhkan angkutan udara untuk membantu perjuangan militernya menumpas gerakan pembertontak ekstrim kiri dan eksrim kanan.
(Baca: Mengulang Romantisme ‘Burung Besi’ Seulawah RI)
(Baca: VIDEO - Pesawat Dakota DC-3 Seulawah RI 001 di Blangpadang Dibugarkan)
(Baca: Pengakuan Nyak Sandang Soal Pesawat Seulawah RI-001: Kami Patuh Ulama karena tidak Mau Terus Dijajah)
Riwayat dramatis “Seulawah RI-001” bermula pada 16 Juni 1948 bertempat di Hotel Atjeh, Koetaradja, (sekarang Banda Aceh,).
Dalam jamuan makan malam, Presiden Soekarno angkat bicara, “Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.”
Peserta pertemuan yang terdiri dari para saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu salah seorang dari mereka bangun.