Opini

Jangan Lupakan Teuku Nyak Arief

DARI delapan tokoh Aceh yang diangkat Pemerintah Republik Indonesia menjadi pahlawan Nasional

Editor: bakri
SERAMBI/M ANSHAR
Penampilan Drama Kolosal tentang perjuangan Laksamana Malahayati ditampilkan pada peringatan Hari Pahlawan di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh. SERAMBI/M ANSHAR 

Oleh Teuku Kemal Fasya

Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus ditempatkan di atas segala-galanya. (Teuku Nyak Arief)

DARI delapan tokoh Aceh yang diangkat Pemerintah Republik Indonesia menjadi pahlawan Nasional, Mayor Jenderal Teuku Nyak Arief (TNA) tokoh yang jarang “dibunyikan”. Lahir di Uleelheu, 17 Juli 1899, TNA adalah anak Teuku Sri Imuem Nyak Banta, Panglima Sagoe 26 Mukim; satu wilayah federasi utama yang telah dibentuk sejak era Sultanah Naqiatuddin Inayat Syah. Ia masih keturunan Sultan Alauddin Inayat Syah.

Setelah menamatkan sekolah OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren), TNA merintis karier politik dan bergabung dengan NIP (Nationale Indische Partij). NIP adalah sebuah organisasi politik yang memperjuangkan dekolonialisasi Indonesia. Partai ini didirikan trio dokter: Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, Suwardi Suryaninggrat, dan Cipto Mangunkusumo. Kemudian hari TNA terpilih sebagai ketua NIP cabang Kutaraja.

TNA muda dikenal organisatoris. Ia termasuk pendiri Jong Islamietan Bond di Kutaraja, dan Jong Sumatra nen Bond di Medan. Organisasi ini merupakan himpunan kaum pemuda terdidik yang melancarkan “perang etik” terhadap kolonial Belanda. Bakat kepemimpinan dan sifat politik yang kuat mengantarkannya menjadi anggota perlemen (Volksraad) saat usia belum genap 30 tahun (1927).

Meskipun Volksraad berkedudukan di Batavia (Jakarta), ia lebih sering menghabiskan waktunya di Aceh. Ketangkasannya berdebat secara keras dan menghunjam-hunjam perasaan wakil Belanda yang reaksioner mencatatkan namanya sebagai “anak Aceh yang berani dan lurus”, seperti dipublikasi harian Bintang Timur saat itu (Mardanas Safwan, 1982). Satu pidatonya di Volksraad yang sangat fenomenal pada 14 Juli 1927, disampaikan dalam bahasa Belanda, meminta penghargaan pada pemerintahan adat, akses pendidikan tinggi bagi bumiputera, dan mengurangi beban kredit bagi usaha ekonomi rakyat (Ramadhan KH - Fitria Sari, 2017:33-37).

Ketika Indonesia merdeka, ia menjadi residen atau gubernur Aceh pertama. Sayang “prahara Aceh” berkombinasi dengan sakit yang dideritanya menyebabkan TNA tak berumur panjang. Dalam situasi pengasingan di Takengon, ia melepaskan napas terakhir pada 4 Mei 1946.

Perintis kemerdekaan
Meskipun terhitung “junior” dibandingkan tujuh pahlawanan Nasional lainnya (Laksamana Keumalahayati, Sultan Iskandar Muda, Tgk Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Teuku Muhammad Hasan), ia termasuk paling awal dikenang menjadi pahlawan Nasional Aceh. Berdasarkan SK Menteri Kesejahteraan Sosial No.1/62/PK bertanggal 17 Februari 1962, TNA diakui sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan.

Sejak itu namanya terus diusulkan sebagai pahlawan, hingga akhirnya ditetapkan pada 9 November 1974 berdasarkan SK Presiden RI No.071/TK/1974. Penetapannya sebagai pahlawan nasional lebih awal dibandingkan Sultan Iskandar Muda (1993), Teuku Muhammad Hasan (2006), bahkan Laksamana Keumalahayati (2017).

Hal itu karena tabungan gerakan politiknya yang tertinggal di memori tokoh-tokoh awal pendiri bangsa Indonesia. Ia sosok bersih dan kuat dikenang sebagai seorang republiken. Tak ada seujung telunjuk pun ia berubah menjadi pembangkang bagi bangsa yang ia ikut andil mendirikannya.

Namun sejarah saat itu menyebabkan ia berada di tubir kuldesak. Upayanya menjaga republik baru tertantang dilema dari dalam dan luar negeri, termasuk di Aceh sendiri. Dari luar negeri, pembentukan Republik Indonesia masih belum diakui PBB dan ditolak oleh anasir sekutu/NICA, terutama Belanda. Dari dalam negeri, pemerintahan Jakarta masih labil dalam memberi harapan. Beberapa wilayah masih belum cukup patuh.

Di Aceh sendiri, situasi itu melahirkan semangat memisahkan diri, terutama karena kuatnya pemerintahan lokal uleebalang dibandingkan “pemerintahan administratur”. Akhirnya terjadilah percikan darah di antara anak bangsa yang diinisiasi oleh Teuku Daud Cumbok.

Aksi tersebut dilawan dengan reaksi berlebihan oleh kelompok Mujahidin, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang berkamuflase di dalam Tentera Perjuangan Rakyat (TPR). Pecahlah revolusi sosial yang memilukan dan menyebar hingga Sumatera Timur. TPR sendiri bukan bakal transformasi TNI, karena cikal-bakal itu ialah Tentera Keamanan Rakyat (TKR). Panglima pertamanya ialah Syamaun Gaharu.

Yang memilukan dari revolusi sosial itu bukan semata pembunuhan dan perampasan harta keluarga uleebalang secara membabi buta, tapi juga stigma yang melekat sepanjang masa: uleebalang adalah komprador Belanda atau perantara kekuasaan asing!

Penyesatan sejarah
Bagaimana penyesatan sejarah ini hadir? Pertama, yang menyebabkan sejarah di Aceh pascakolonial sesat karena tokoh utama meninggal terlalu dini. Teuku Nyak Arief meninggal pada umur yang belum genap 47 tahun; masa ketika politikus masa kini sedang merintis karier.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved