Opini

Konservatisme Islam di Indonesia (Antara Fundamentalisme dan Radikalisme)

CENDEKIAWAN Muslim, Mun’im Sirry, pernah mengkhawatirkan bangkitnya konservatisme Islam yang kini semakin menguat

Editor: bakri
IST
Puluhan Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta asal Aceh ikut serta dalam Deklarasi Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Se-Indonesia Melawan Radikalisme, yang berlangsung di Nusa Dua Convension Center (BNDCC) 

* Bagian 1 dari 2 Tulisan

Oleh Al Chaidar

CENDEKIAWAN Muslim, Mun’im Sirry, pernah mengkhawatirkan bangkitnya konservatisme Islam yang kini semakin menguat di dalam politik, budaya, ekonomi, dan kultur keagamaan di Indonesia (Rappler.com, 18/6/2016). Mun’im adalah asisten profesor di Departemen Teologi University of Notre Dame di Indiana, Amerika Serikat. Ia mendapatkan gelar sarjana dan magister dari International Islamic University di Islamabad, dan gelar doktor dalam studi Islam dari University of Chicago. Kekhawatiran ini tidak bisa dianggap remeh, karena bersamaan dengan Mun’im juga muncul para intelektual mekanik lainnya yang juga semakin resah dengan situasi yang semakin merangsek kehidupan kebangsaan di Indonesia.

Kekhawatiran lain terhadap bangkitnya konservatisme Islam dikemukakan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir yang mengatakan, konservatisme Islam dalam jangka panjang mengancam keberagaman (multikulturalisme dan pluralisme) di Indonesia. Hal itu terjadi karena konservatisme Islam menjadi satu faktor yang mengarah pada radikalisme (www.nu.or.id, 29/3/2018). Pemerintah sendiri, katanya, sampai saat ini dinilai masih pasif dalam menangkal gerakan-gerakan yang merongrong NKRI. Kementerian, termasuk lembaga-lembaga negara, lanjutnya, harus mendidik masyarakat dengan nilai-nilai kebangsaan yang majemuk, di antaranya dengan memanfaatkan internet dan media sosial.

Menurut Amin Mudzakkir, selama ini kelompok Islam radikal --sebagai perwujudan konservatisme Islam-- merebak karena telah memanfaatkan demokrasi dan internet untuk menyebarkan pengaruhnya. Satu substansi yang mereka sebarkan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di antaranya sering mengampanyekan pembentukan negara agama dengan menjalankan formalisasi hukum Islam. Apa yang dikhawatirkan Amin Muzakkir terlalu berlebihan dan salah kaprah.

Demokrasi dan internet adalah rahmat modernisme yang bisa dirasakan oleh siapa pun saat ini dan itu adalah sebuah kemajuan yang harusnya disyukuri bukan ditakuti berlebihan. Kampanye ideologis pembentukan negara agama (mungkin maksudnya adalah nomokrasi Islam yang berbeda dengan demokrasi) dengan mengajukan formalisasi syariat Islam adalah hal yang wajar, karena Indonesia menganut sistem pluralisme hukum di mana hukum adat, hukum sekuler dan hukum agama (Islam) bisa dijalankan pada daerah dan waktu, serta kondisi tertentu. Menolak formalisasi hukum syariat ini jelas bermakna menolak sistem hukum Indonesia itu sendiri.

Konservatisme
Konservatisme sebenarnya tak perlu dikhawatirkan. Konservatisme adalah gejala biasa yang muncul ketika spiritualitas mulai mengering. Naik hajinya Soeharto adalah satu bentuk konservatisme yang terjadi pada orang yang berkuasa, yang semakin menua dan mengalami kekeringan spiritualitas yang akut. Yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya intoleransi agama, suku/ras dan ideologi kelompok.

Sidney Jones, dalam sebuah pidato kebudayaan disampaikan pada acara bergengsi Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) di Aula Nurcholish Madjid, Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, 19 Desember 2013 berjudul “Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran”, ternyata jauh lebih mengerikan.

Temuan Sidney Jones yang sangat mengejutkan itu berawal dari penelitiannya tentang terorisme, ketika ia mulai menemukan lebih banyak kasus para pemuda yang awalnya aktif terlibat dalam kampanye anti-maksiat kemudian beralih ke bentuk yang lebih ekstrem, yaitu aksi-aksi kekerasan dan persekusi sepihak. Mereka memulainya dengan gerakan amar makruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) atas nama menjaga moralitas umat serta menjaga Islam dari hal-hal yang diangap menyimpang, namun belakangan mereka beralih menggunakan bom.

Intoleransi kalangan Islam pascareformasi ini muncul di kalangan masyarakat madani yang geram melihat perkembangan dunia material yang semakin hedon, kriminal dan sekuler. Contohnya apa yang terjadi di Cirebon, di mana sebagian orang yang membantu merencanakan pemboman Masjid adz-Dzikir awalnya adalah anggota dari dua kelompok masyarakat madani garis-keras terkemuka: Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS). Keduanya dipimpin seorang ulama yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat dan mengajar di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Cirebon. Posisi MUI dan lembaga pendidikan negeri ini adalah posisi tradisional yang sudah lama diokupasi oleh --meminjam konsep Antonio Gramsci (1976)-- “intelektual organik” kalangan Islam di Cirebon.

Mereka adalah masyarakat madani yang quasi negara. Kedua kelompok ini bertanggungjawab atas serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dan tempat-tempat maksiat. Mereka menutup sebuah stasiun televisi Kristen pada 2008, menutup secara paksa beberapa balai pertemuan Protestan, bekerja sama dengan polisi untuk melarang sekte “Lia Eden” pada awal 2010, menyerang kampung Ahmadiyah di Manis Lor. Kemudian, pada tahun yang sama, serangkaian serangan terhadap karaoke serta supermarket yang yang menjual bir. Intoleransi ini bukanlah konservatisme, melainkan sebuah tindakan ekstra judisial yang geram atas lambannya alat negara menangani pelanggaran hukum tersebut.

Bagi Sidney Jones, yang mengejutkan tak hanya soal menyeberangnya beberapa anggota GAPAS atau FUI ke kelompok teroris, tetapi juga bahwa kegiatan anti-minoritas mereka telah dipromosikan oleh seorang dosen di lembaga pendidikan negara, dan dalam beberapa kasus serangan anti-maksiat mereka diduga bekerjasama dengan polisi setempat. Kita sulit mengerti perkembangan masyarakat madani (civil society) yang intoleran tanpa memahami dukungan aktif terhadap organisasi-organisasi ini dari orang-orang yang berkuasa atau dari state-craft yang cenderung memihak pada kelompok-kelompok intoleran yang gayanya tidak konservatif ini.

Belokan konservatisme
Seorang antropolog Belanda, Martin van Bruinessen (2013), dalam bukunya Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the ‘Conservative Turn’, menganalisis kecenderungan konservatisme di Indonesia. Bruinessen mengamati ormas Islam yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah, sementara mendiskusikan perkembangan gerakan Islam radikal di dua wilayah, yakni Sulawesi Selatan dengan fokus pada Komite Persiapan Pelaksanaan Syari’at Islam (KPPSI), dan di Solo, Jawa Tengah. Buku ini berupaya memberi penjelasan mengapa sikap keberagamaan konservatif menguat kembali di kalangan umat Islam Indonesia.

Gejala ini tidak hanya diidap oleh kalangan Nahdlatul Ulama yang ortodoks dan tradisional, namun juga menghinggapi Muhammadiyah yang modern dan bahkan MUI yang merupakan lembaga quasi-negara. Martin van Bruinessen mengajukan dua penjelasan terjadinya conservative turn (belokan konservatif) ini. Pertama, menguatnya arus demokrasi yang dikaitkan dengan memudarnya Islam liberal di Indonesia. Kedua, menguatnya pengaruh ideologi transnasional Wahabi Salafi dari Timur Tengah.

Bruinessen berhasil menunjukkan bahwa kecenderungan konservatisme tidak saja muncul dalam gerakan-gerakan Islam kontemporer yang lahir pascareformasi, tetapi juga merasuk ke dalam tubuh institusi Islam yang sudah mapan, seperti MUI dan Muhammadiyah yang kemudian mendapatkan pembelaan dari kalangan mainstream ketiga. Dan di sinilah letak penting pengaruh belokan konservatif ini. MUI dan Muhammadiyah adalah institusi Islam yang sangat modern dan berisi ulama-ulama cerdik yang pandai merespons situasi secara cerdas, namun once in a life-time, mereka berbelok menjadi konservatif karena tak tahan hidup di alam yang semakin panas, gersang dan terbakar oleh lajunya sekulerisme dan agnotisme di negeri yang dulunya rimbun dengan naungan kesejukan Islam ini. (Bersambung)

* Al Chaidar, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Aceh. Email: alchaidar@unimal.ac.id

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved