Opini

Re-Transnasionalisasi Tasawuf Aceh

UPAYA mempromosikan Aceh belakangan ini kerap dilakukan oleh pemerintah daerah

Editor: bakri
SERAMBI/HARI MAHARDHIKA
Pembukaan muzakarah turut dihadiri Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah MT, Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman MM, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Warul Walidin AK MA, Katibul Wali Nanggroe, Drs Syaiba Ibrahim, dan sejumlah bupati/wakilbupati daerah lainnya di Aceh.SERAMBI/HARI MAHARDHIKA 

Oleh Sehat Ihsan Shadiqin

UPAYA mempromosikan Aceh belakangan ini kerap dilakukan oleh pemerintah daerah. Dari pengalaman yang lalu, setidaknya ada dua cara yang dilakukan pemerintah Aceh untuk tujuan tersebut, yaitu: Pertama, melakukan promosi keluar, berupa kunjungan ke negara asing untuk menjelaskan tentang Aceh dan segala potensinya yang dapat dimanfaatkan untuk investasi.

Dan, kedua, melakukan even di Aceh yang secara langsung atau tidak langsung mengundang orang untuk datang ke Aceh dan menyaksikan berbagai keunggulan yang ada di Aceh. Kedua metode ini berakar pada satu niat yang sama, yakni menunjukkan kepada dunia bahwa ada sesuatu di Aceh yang layak ditampilkan dan dibanggakan.

Pada 13-16 Juli 2018 lalu, Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Majelis Pengkajian Tawhid Tasawuf (MPTT) Abuya Amran Waly baru saja melaksanakan sebuah even yang memiliki prinsip yang sama, namun tujuan yang lebih luas. Even tersebut adalah Muzakarah Ulama Internasional Tawhid Sufi V. Secara lahiriah terlihat kalau muzakarah ini memiiki tujuan promosi Aceh ke dunia Internasional. Namun demikian, muzakarah ini juga memiliki tujuan berbeda, yakni menempatkan kembali Aceh sebagai pusat perkembangan tasawuf di dunia Melayu setelah sekian lama pudar.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya menyebutkan dengan “re-transnasionalisasi” untuk menyatakan ada suatu upaya melakukan aktualisasi kembali posisi Aceh dalam penyebaran tasawuf menjadi gerakan Islam penuh cinta dalam kehidupan umat manusia di dunia. Hal ini suatu yang lumrah mengingat Aceh pernah menjadi pusat perkembangan tasawuf di masa lalu.

Tasawuf Aceh
Aceh memiliki lebih dari cukup bukti untuk menyatakan diri sebagai daerah yang kaya akan perkembangan tasawuf di masa lalu. Keberadaan beberapa orang sufi penting di daerah ini menunjukkan bagaimana posisi strategis tasawuf dalam keberislaman masyarakat Aceh masa lalu sebagai bagian penting dalam kehidupan kerajaan. Kita, setidaknya, mengenal empat ulama sufi penting di Aceh yang menjadi tokoh utama pemikiran dan perkembangan tasawuf. Hamzah Fansuri adalah tokoh penting dan utama dalam gerakan ini.

Hamzah Fansuri menjadi orang nomor satu dalam transformasi pemikiran tasawuf falsafi di Aceh dan kemudian berkembang di Nusantara. Dari namanya kita tahu kalau Hamzah berasal dari Fansur, sebuah wilayah di Singkil. Dari sana ia merantau ke Banda Aceh dan lalu menjadi orang penting di kerajaan Aceh Darussalam. Ia memiliki peran bukan hanya sebagai ulama kerajaan atau dikenal dengan Syaikh al-Islam, namun juga seorang diplomat dan perwakilan Raja dalam negosiasi pedagangan dan politik.

Murid penting Hamzah bernama Syamsuddin as-Sumatrani. Ia berasal dari Pase, berguru kepada Hamzah, dan menggantikan posisinya di kerjaan setelah sang guru wafat. Ide utama tasawuf Syamsuddin sama dengan Hamzah, pemikirn tasawuf falsafi ala Ibnu Arabi. Ia menjelaskan beberapa terminologi tasawuf dengan pendekatan filsafat pelik yang banyak orang awam tidak paham. Hal inilah yang dikritik oleh Nuruddin Ar-Raniry. Ulama yang berasal dari Raneer, India ini menjadi Syaikh al-Islam pada masa Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Tsani.

Ar-Raniry melakukan perlawanan pada ide-ide filsafat wujud dalam tasawuf yang dikembangkan oleh dua ulama sebelumnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan tangan kekuasaan. Sekilas berhasil, namun Abdurrauf as-Singkili yang menjadi penggantinya masa pemerintah Sultanah Safiatuddin menghidupkan kembali ide-ide wujudiyah dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam keberagamaan orang Aceh.

Tasawuf ke tarekat
Abdurrauf as-Singkili menjadi ulama yang sangat penting dalam perbincangan tasawuf Aceh. Pertama, pada masa beliaulah tasawuf Aceh bertransformasi kepada tarekat. Abdurrauf adalah seorang mursyid, setidaknya adalam dua tarekat besar, yaitu Naqsyabndiyah dan Syattariyah. Ia berguru pada al-Qusyasyi dan al-Qurani di Haramain. Namun dalam praktiknya ia nampak lebih banyak mengembangkan tarekat Syattariyah.

Azyumardi Azra (1991) mencatat pilihan ini sepertinya sebuah “pembagian tugas” antara Abdurrauf dengan Syaikh Yusuf al-Maqassari yang sama-sama belajar dan mengembail tarekat di Haramain. Dalam pembagian ini, Abdurrauf mengembangkan Syattariyah dan Abu Yusuf mengembangkan Naqsyabandiyah.

Dari catatan sejarawan, kita melihat Abdurrauf berada di posisi penting dalam silsilah tarekat Syattariyah di Nusantara kontemporer. Nama Aceh sebagai “Serambi Mekkah” antara lain diambli dari realitas ini. Sebagai alumni Timur Tengah yang belajar di sana selama belasan tahun, Abdurrauf menjadi magnet bagi ulama lain di Nusantara untuk mendalami Islam.

Dalam pelayaran menuju Haramain mereka singgah di Aceh untuk belajar dasar-dasar keislaman sebelum kemudian belajar ke Mekkah atau Madinah. Meskipun sebagai “pengantar” beberapa ulama merasa sudah cukup mahir dalam ilmu agama setelah berjumpa dengan Abdurrauf.

Kebanyakan lama tarekat Syattariyah yang ada di Indonesia memiliki silsilah yang terhubung kepada Abdurrauf As-Singkili. Di Pulau Jawa misalnya ada Abdul Muhyi Paminjahan. Beliau adalah mursyid tarekat Syattariyah yang paling berpengaruh di Jawa. Hampir semua tarekat Syattariyah yang ada di Jawa saat ini memiliki silsilah yang terhubung kepadanya. Demikian juga dengan Burhanuddin Ulakan dari Sumatera Barat. Ia adalah murid penting Abdurrauf di Sumatera Barat dan menjadi tokoh utama dalam perkembangan Syattariyah di sana.

Sayangnya serangan imperialisme Belanda dan Inggris ke Aceh sejak pertengahan abad 18 mebuat perkembangan tarekat di Aceh cenderung memudar. Kita mengenal beberapa zawiyah yang muncul di Aceh, namun hampir tidak ada tokoh besar yang muncul yang setara dengan beberapa yang telah saya jelaskan di atas. Apalagi memasuki abad 20, di mana intensitas peperangan melawan Belanda semakin tinggi yang kemudian menyebabkan perkembangan pemikiran seperti sebelumnya menjadi redup. Ini adalah sebuah masa yang sulit dalam perkembangan pemikiran tasawuf di Aceh.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved