Opini

Menyoal Hukuman ‘Mandi’ Air Comberan

SEORANG pejabat Kota Langsa dimandikan dengan air comberan oleh warga, karena diduga melakukan perbuatan

Editor: bakri
Sembilan orang dewasa yang terdiri atas 6 pria dan 3 wanita ditangkap dalam sebuah warung jus di Gampong Garot, Kecamatan Darul Imarah, Jumat (2/2/2018) sekitar pukul 19.30 WIB 

Oleh Chairul Fahmi

SEORANG pejabat Kota Langsa dimandikan dengan air comberan oleh warga, karena diduga melakukan perbuatan “mesum”, namun hukuman “barbarian” yang diberikan warga setempat ternyata salah sasaran. Sebab, berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, pasangan yang dimandikan air got itu ternyata suami-istri sah yang telah melakukan akad nikah (siri) sesuai dengan syara’. Untuk mendamaikan kedua pihak, Dinas Syariat Islam setempat kemudian memediasi para pihak untuk berdamai, karena kalau tidak dapat berbuntut panjang. “Begitukah, proses pelaksanaan syariat Islam di Aceh?” Tanya seorang sahabat dari negeri seberang.

Sebelum penulis membahas kasus di atas dalam perspektif rule of law atau aturan hukum, ada baiknya diulas kembali tentang arti syariat. Secara bahasa, syariat diartikan sebagai jalan/metode yang lurus. Ibnu Manzhur mengartikan syariat sebagai tempat di mana air mengalir turun ke dalamnya. Orang Arab sering menyebut kata syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum.

Secara istilah syariat adalah ketetapan atau ketentuan Allah bagi hamba-Nya yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah Swt, sesama manusia dan alam semesta. Ada dua sumber utama ajaran syariat Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Selain itu terdapat juga ijmak, qiyas, ‘uruf, mashlalah mursalah, istihsan, istishab (istidlal), syar’u man qablana, dan lain-lain sebagai proses perkembangan ijtihad para sahabat dan ulama dalam jurisprudensi Islam.

Dalam konteks fikih, sumber hukum dan hujjah terhadap aturan hukum tersebut merupakan hukum material atau ketentuan tentang perbuatan mukallaf atau subjek hukum (perorang maupun badan hukum), yang mana perbuatan dapat/boleh dilakukan dan perbuatan mana yang tidak dapat atau tidak boleh dilakukan, disertai dengan sanksi atau hukuman (jarimah), baik berupa hudud maupun ta’zir.

‘Jarimah-hudud’
Dalam konteks perbuatan larangan zina, ada hukum materilnya, baik bersumber dari Alquran maupun hadis serta hukumannya. Jenis perbuatan ini masuk dalam kategori jarimah-hudud, karena jelas disebutkan dalam kedua dalil tersebut, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32).

Di ayat yang lain, Allah Swt menyatakan tentang ketentuan hukuman bagi seseorang yang melanggar larangan tersebut, yaitu “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya didalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah (dalam melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 3).

Selain dalil Alquran, terdapat juga hadis Nabi saw tentang hukuman bagi penzina, di antaranya didasarkan kepada hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah (2/81), “Laki-laki yang muhsan dan perempuan yang muhsan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Swt, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”

Meskipun demikian, para ulama berbeda pandangan tentang hadis ini, di mana menurut kelompok Khawarij, menyatakan tidak ada perbedaan hukuman bagi muhsan dengan ghairu muhsan. Sementara jumhur ulama bersepakat bahwa bagi yang muhsan harus di rajam.

Ketentuan tentang tidak ada perbedaan hukuman antara muhsan dengan ghairu muhsan juga terdapat dalam sistem legal-formal syariat Islam Aceh, yaitu Qanun No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Pidana), dimana pada Pasal 33 (1) dinyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan `uqubat hudud cambuk 100 (seratus) kali”. Tidak diatur perbedaan, apakah mukallaf tersebut muhsan atau ghairu muhsan dalam legislasi tersebut.

Lantas bagaimana dengan jarimah khalwat? Dan apa hukumannya bagi yang melakukan perbuatan tersebut? Secara definisi khalwat diartikan sebagai “perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan zina.” (Qanun No.6/2014).

Terdapat beberapa dalil tentang larangan ber-khalwat, di antaranya hadis yang artinya, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahramnya...” (HR. Bukhari, hadis No.2784). Selain itu, terdapat hadis dalam Sunan at-Tirmidzi, hadis 2165, yang artinya: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah syaitan.”

Karena tidak terdapat dalil yang menyebutkan tentang model punishment terhadap perbuatan tersebut, maka ini dikategorikan sebagai jarimah ta’zir, di mana penguasa ber-ijtihad untuk menentukan jenis hukumannya. Dalam Qanun Jinayat, Pasal 23 (1) disebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan jarimah khalwat, diancam dengan `uqubat ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.”

Tidak dibenarkan
Berdasarkan uraian dalil dan norma hukum positif, maka tidak ada aturan material yang membenarkan seseorang terpidana diberikan sanksi; berupa dimandikan dengan air got atau nama lain dari air comberan, atau disebut juga air limbah rumah tangga yang bernajis dan kotor. Lantas hukum mana yang dipakai, hukum adatkah?

Adat disebut juga kebiasaan atau tradisi. Dalam konteks ushul-fiqh disebut ‘uruf. Dalam qawaid fiqhiyah, ada kaedah al-ádah muhakkamah, yaitu suatu adat dapat diterima sebagai suatu norma hukum apabila: Pertama, tidak bertentangan dengan syariat; Kedua, tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan; Ketiga, telah berlaku pada umumnya orang muslim; Keempat, tidak berlaku dalam ibadah mahdhah; Kelima, sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya, dan; Keenam, tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved