Opini
PKA dan Produktivitas ‘Ureung’ Aceh
PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 baru saja dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Oleh Mustafa Ibrahim Delima
PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 baru saja dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tentu dalam sepekan mendatang kita akan banyak melihat aneka produk budaya --berupa benda dan tak benda-- yang ditampilkan dari berbagai kabupaten/kota yang ada di Aceh. Tidak ada yang memungkiri, bahwa produk-produk tersebut mengandung makna dan nilai manfaat tinggi, sehingga relevan untuk dipertahankan sampai sekarang.
Produk-produk budaya mengindikasikan bahwa pada dasar masyarakat di Aceh, adalah masyakat produktif. Mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan dapat dipertahankan dari generasi ke generasi. Lantas bagaimana dengan produktivitas masyarakat Aceh sekarang dari segi ekonomi? Sejauh mana masyarakat kita mampu menghasil produk-produk untuk dikonsumsi sendiri, tanpa tergantung dari produk luar?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V disebutkan, produktivitas adalah kemampuan menghasilkan sesuatu.
Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa produktivitas dalam lingkup sosial ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk menghasil sesuatu yang bernilai ekonomi. Orang-orang yang produktif adalah orang yang mampu menghasilkan sumber daya ekonomi minimal untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. orang produktif tidak bergantung pada subsidi yang disediakan pemerintah.
Dalam istilah ketenagakerjaan, orang produktif adalah mereka yang berusia antara 15-65 tahun. Orang-orang dalam rentang usia ini dikenal sebagai penduduk usia kerja (PUK). Sementara mereka yang berusia 0-14 tahun dan di atas 65 tahun disebut dengan penduduk bukan usia kerja (PBUK). Di luar rentang itu dianggap sudah tidak produktif, meskipun ada sebagian kecil yang masih produktif sebagaimana ditetapkan ICLS (Internastional Conferention of Labour Statistician) ke-13.
Penduduk dalam rentang usia produktif inilah yang menanggung semua kebutuhan penduduk. Bila suatu negara/wilayah jumlah penduduk usia produktif lebih banyak, maka negara/wilayah tersebut dikatakan mengalami bonus demografi. Nah, menurut BPS, Indonesia sudah memulai merasakan bonus demografi tersebut. Tantangan bagi negara/daerah yang mengalami bonus demografi adalah ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Pemerintah dituntut untuk memperluas kesempatan kerja.
Tergantung produk luar
Secara kasat mata dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana kebutuhan masyarakat kita masih sangat bergantung dari daerah lain, terutama Sumatera Utara. Lihatlah di dapur kita, mulai dari telur, kecap asin, penyedap masakan, garam, bawang merah hingga tauco dan terasi busuk pun didatangkan dari Medan. Hanya asam sunti yang produk lokal. Lalu lihat pula baju, celana tali pinggang, bahkan peniti yang kita pakai pun bukan produk lokal, pertanda apakah ini?
Banyak sudah para pengamat mengemukakan hal ini, mengingatkan kita semua. Jika terus dibiarkan kita (Aceh) akan terus hidup sebagai bangsa yang konsumtif. Bangsa yang hanya tahu makan geuleupak gop top. Jika kita telusuri lebih dalam lagi, barang yang dipasok dari Sumut tersebut sebagian besar bukan produk asli Sumut, melainkan produk impor dari Tiongkok.
Saat ini, ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) kita masih melimpah, mungkin ketergantungan itu tidak terlalu berpengaruh dan terasa. Tetapi bagaimana jika suatu saat nanti ketika Dana Otonomi Khusus (Otsus) sudah habis. Para pejabat kita sudah tidak bisa lagi hidup royal, legislatif kita tidak lagi punya program Dana Aspirasi. Sementara generasi kita sudah tidak lagi mengenal catok dan sadeup. Apakah Bitcoin dan Steemit dapat menjanjikan pendapatan hari-hari kita?
Ada banyak pendapat para ahli mengenai produktivitas, tentu menurut background keilmuan masing-masing. Jika kita mengukur produktivitas dari sisi ilmu ekonomi dan ketenagakerjaan, maka yang perlu kita lihat salah satunya adalah rata-rata jam perhari. Selanjutnya reward yang diperoleh dari perkerjaan itu. Meskipun ia hanya berkerja selama satu jam saja selama seminggu, namun reward yang didapatkan dapat memenuhi kebutuhan, maka secara garis besar sudah dapat dikatakan produktif.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2017 penduduk Aceh yang berkerja dengan jam kerja 35 jam lebih perminggu atau 7 jam lebih perhari mencapai 57.15%. Dari sisi jumlah jam kerja, jam kerja tersebut sudah mencapai kondisi ideal. Namun bagai mana dengan rata-rata reward yang didapatkan dalam setiap jam kerja? Tentu ini perlu perhatian serius dari pemerintah.
Agar terus produktif
Satu tugas berat pemerintah selain menekan tingkat kemiskinan adalah mendorong penduduknya agar terus produktif. Kita tentu tidak ingin melihat masyarakat seharian nongkrong di warung kopi. Masyarakat yang disinyalir menganggur harus disuluh dan dimotivasi untuk terus berusaha. Jika mereka kurang modal, maka beri mereka modal jika mereka tidak punya skill, beri mereka pelatihan-pelatihan vokasi serta juga pendampingan. Paradigma preh peng bantuan sedikit demi sediki harus dihilangkan.
Untuk mewujudkan penduduk yang produktif tentu berbagai upaya yang terintegrasi perlu dilakukan. Penduduk produktif ditandai dengan kondisi fisik yang sehat (healty), berpendidikan memadai (well educated) dan memiliki keterampilan (skilled). Upaya ini sejalan dengan misi global yang tertuang dalam platform SDGs (Sustinable Development Goals) yang merupakan kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals).
Dari sisi faktor penyebab unproductive, yaitu kultural dan struktural harus mendapat sentuhan yang sama. Masing-masing pihak (pemerintah, pelaku usaha dan rumah tangga) harus punya komitmen yang kuat untuk menekan sifat dan perilaku yang tidak produktif itu. Pemerintah, dalam hal ini eksekutif dan legislatif harus melahirkan regulasi yang menstimulus orang-orang untuk produktif.