Opini
Apa Kabar Wakaf Aceh?
PEMBERITAAN di Serambi Indonesia dan berbagai media lain mengenai jamaah haji asal Aceh yang kembali menerima
Oleh Fahmi M. Nasir
PEMBERITAAN di Serambi Indonesia dan berbagai media lain mengenai jamaah haji asal Aceh yang kembali menerima dana hasil usaha wakaf Baitul Asyi di Arab Saudi pada musim haji tahun ini menarik dicermati. Diberitakan total dana wakaf yang diberikan kepada jamaah haji Aceh sebesar Rp 20 miliar lebih, di mana setiap jamaah menerima 1.200 riyal Saudi atau sekitar Rp 4,6 juta. Dana ini diserahkan langsung oleh Nazir Wakaf Baitul Asyi Dr Abdullatif Baltho kepada setiap jamaah haji Aceh.
Satu hal yang menarik perhatian adalah tatkala Sekda Aceh, Dermawan dalam sambutannya ketika itu meminta agar pihak Aceh dapat belajar dari pemerintah Saudi dalam mengelola wakaf. Di Aceh banyak dana wakaf yang tersebar hingga ke desa-desa, namun sebagian besar pengelolaannya masih konvensional. Inti dari pesan Sekda Aceh ini bagi saya adalah untuk melihat bagaimana perkembangan wakaf di Aceh selama ini dan bagaimana pula tata kelola wakaf produktif dapat dilakukan di Aceh?
Beberapa tahun belakangan ini, secara jujur bisa kita katakan tidak banyak perkembangan wakaf di Aceh. Bahkan isu wakaf ini hanya menjadi isu bermusim. Isu wakaf ini banyak dibicarakan hanya ketika musim haji di saat JCH Aceh menerima dana hasil usaha wakaf Baitul Asyi. Isu wakaf juga sempat hangat ketika munculnya pemberitaan Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) mau melakukan investasi pada wakaf Baitul Asyi.
Kita tidak menafikan ada beberapa usaha yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk memajukan wakaf di Aceh. Sebut saja inisiasi Hutan Wakaf yang dilakukan oleh anak-anak muda Aceh yang menamakan diri mereka Komunitas Hutan Wakaf, wakaf pohon kurma yang dimotori oleh Yayasan Wakaf Baitul Mal Barbatee, gerakan tanah wakaf Meuligoe Al-Quran oleh Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia (BKPMRI) Kota Banda Aceh, pelatihan cara mengelola wakaf produktif untuk 50 nazir wakaf se-Aceh oleh Baitul Mal Aceh (BMA), dan terpilihnya pengurus Badan Wakaf Indonesia (BWI) perwakilan Aceh untuk periode 2018-2021.
Belum maksimal
Akan tetapi, inisiatif-inisiatif yang dilakukan itu masih belum maksimal jika dibandingkan dengan jumlah aset wakaf dalam bentuk tanah di Aceh. Data terakhir pada Sistem Informasi Wakaf (Siwak) yang dikelola oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama (Kemenag) RI memperlihatkan, jumlah tanah wakaf di Aceh adalah 11.895 persil dengan luasnya 8.025,30 ha, dengan perincian 5.845 persil (839,18 ha) sudah bersertifikat wakaf dan 6.050 persil (7.186,12 ha) belum bersertifikat wakaf.
Tentu saja data yang ada pada Siwak ini belumlah lengkap karena data di sini hanyalah berdasarkan kepada data yang sudah terdaftar di Kemenag saja, melalui Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), di mana data yang sudah dimasukkan ke dalam sistem ini terus berubah dari waktu ke waktu. Sebagai perbandingan, data tanah wakaf Aceh yang ada pada BWI per Maret 2016 adalah 24.898 persil (76.786 ha), di mana 13.730 persil sudah bersertifikat wakaf dan 11.168 persil belum bersertifikat wakaf.
Data yang disajikan di atas itu berdasarkan pendaftaran yang dilakukan oleh si pewakaf kepada PPAIW dan bukan merupakan hasil survei. Pendaftaran aset wakaf ini hanyalah mekanisme biasa yang dilakukan setiap kali si pewakaf ingin mewakafkan hartanya. Data inilah yang kemudian dicatat oleh PPAIW yang pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam Siwak. Data ini sama sekali tidak bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai potensi dan kondisi aset wakaf itu.
Jadi, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan guna membenahi wakaf Aceh sekaligus untuk mendapatkan data yang faktual, yaitu: Pertama, mau tidak mau BMA dan pemangku kepentingan terkait di Aceh, seperti Kemenag Aceh, BWI Perwakilan Aceh, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh, nazir wakaf, serta lembaga non-pemerintah lainnya yang peduli wakaf harus melakukan sinergi dan proaktif untuk melakukan pendataan atau survei.
Survei akan menghasilkan data yang jelas tentang bentuk-bentuk aset wakaf di Aceh, nilai aset tersebut, hasil dari harta wakaf itu (kalau ada), serta potensi dan kondisi finansial aset wakaf. Sudah tentu BMA dapat memainkan peranan utama dalam survei ini mengingat lembaga ini secara struktural ada di setiap desa di Aceh dalam bentuk Baitul Mal Gampong. BMA dapat segera mengambil terobosan untuk menyiapkan formulir pendataan aset wakaf, lebih baik secara daring, untuk diisi oleh setiap Baitul Mal Gampong di Aceh.
Kedua, BMA dan pemangku kepentingan wakaf lainnya perlu mengarusutamakan isu-isu wakaf di Aceh melalui berbagai cara. BMA dapat bekerja sama dengan kampus-kampus di Aceh untuk menggalakkan kajian-kajian mengenai wakaf. Kajian-kajian ini, kalau bisa, dapat disiarkan secara langsung oleh stasiun radio ataupun memanfaatkan media sosial, seperti Facebook dengan fasilitas FB Live, sehingga dapat menjangkau lebih banyak audiens. BMA juga dapat memanfaatkan Youtube untuk berbagi video-video edukasi mengenai wakaf. Konten video ini bisa saja diproduksi oleh BMA atau diambil dari pihak lain.
Ketiga, perlu dilakukan penguatan kapasitas semua pemangku kepentingan wakaf di Aceh, terutama sekali BMA, Kemenag Aceh, BWI Aceh dan nazir wakaf. Ini dapat dilakukan dengan berbagai pelatihan yang bersifat teknis atau non-teknis.
Keempat, memastikan tersedianya pembiayaan wakaf untuk mengembangkan aset wakaf di Aceh. BMA bisa saja mengambil inisiatif untuk menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga keuangan syariah baik di dalam atau di luar negara. BMA juga bisa memaksimalkan aplikasi teknologi finansial (fintech) untuk menggalang dana untuk membangun dan mengembangkan aset wakaf di Aceh.
Dan, kelima yang cukup signifikan adalah perlunya political will dari eksekutif dan legislatif di Aceh. Dukungan ini bisa saja dari segi regulasi dengan melahirkan Qanun Wakaf Aceh ataupun dengan menyalurkan dana untuk mengembangkan aset-aset wakaf yang strategis di Aceh.
Hasil usaha wakaf
Kalau saja untuk pengembangan aset wakaf Aceh mau diberikan dana sebesar Rp 72 miliar, misalnya, seperti yang dikeluarkan untuk kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII yang baru saja berakhir, maka tidak mustahil ke depan cerita JCH Aceh menerima dana hasil usaha wakaf Baitul Asyi, tidak lagi menjadi isu musiman tatkala musim haji.