Opini
Campak dan Rubella dari Perspektif Ekonomi
ACEH saat ini menjadi satu satunya provinsi yang belum melaksanakan kembali program nasional imunisasi Measles Rubella
Oleh M. Yamin dan Aslinar
ACEH saat ini menjadi satu satunya provinsi yang belum melaksanakan kembali program nasional imunisasi Measles Rubella (MR). Hal tersebut berkaitan dengan belum keluarnya instruksi dari Bapak Gubernur dan juga Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Provinsi lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan luar Pulau Jawa lainnya yang pada awalnya juga menunda, sudah memulai kembali setelah dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.33 Tahun 2018 yang membolehkan penggunaan vaksin MR.
Secara lengkap, Fatwa MUI itu tertuang pada point 3 yang berbunyi, “Penggunaan Vaksin MR produk dari SII pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal. Kebolehan vaksin MR tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.”
Banyak pihak yang mempertanyakan tentang kondisi darurat yang dimaksud. Mengapa Aceh juga harus melaksanakan imunisasi MR ini? Apakah Aceh bisa dikatakan “darurat” campak dan rubella? Namun, tulisan ini tidak bermaksud mengulang jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi lebih melihat pada perspektif ekonomi dari cost yang dikeluarkan dari tingginya kasus MR tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus secara klinis campak dan rubella di Indonesia dari 2014-2017 yaitu 54.667 kasus. Data sampai Juni 2018 terdapat 2.160 kasus. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan serologis positif untuk campak adalah 8.581 kasus dan serologis positif untuk Rubella adalah 5.005 kasus.
Secara global, Indonesia menduduki peringkat keenam pada 2016 sebagai negara dengan penderita campak terbanyak di dunia setelah Mongolia, Cina, Congo, Nigeria, dan India. Untuk Indonesia, berdasarkan pemetaan daerah risiko campak 2017, terdapat 56% provinsi di Indonesia dengan kategori daerah risiko sangat tinggi. Data kejadian luar biasa (KLB) campak dan rubella 2018 terjadi di 17 provinsi, termasuk Aceh.
Bagaimana Aceh?
Nah, untuk Aceh bagaimana? Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh untuk kasus klinis penyakit campak pada 2016 ditemukan 1.588 kasus, pada 2017 terdapat 1.027 kasus, dan sampai Juli 2018 sudah ditemukan sebanyak 1.157 kasus. Berdasarkan Case Based Measles Surveilance (CBMS Percentage) Aceh 2012-2017, ditemukan 221 kasus campak dan 176 kasus rubella. Data tersebut dengan catatan tidak semua kabupaten/kota melapor dan tidak semua sampel diperiksa laboratorium.
Campak dan Rubella merupakan penyakit yang sangat menular dan berbahaya. Untuk penderita campak bisa berkomplikasi menyebabkan radang paru, infeksi otak, diare dehidrasi berat, infeksi telinga dan kematian. Sedangkan Rubella, efek kepada penderita tidak terlalu berat dibandingkan dengan penderita campak, akan tetapi bila Rubella menyerang ibu hamil, maka bisa terjadi keguguran ataupun lahir anak dengan kecacatan atau disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital (SRK).
Kecacatan yang timbul ini bisa berupa penyakit jantung bawaan (bocor jantung), kerusakan jaringan otak yang bisa menyebabkan kelumpuhan ataupun retardasi mental, katarak kongenital (terdapat selaput putih di lensa mata), dan gangguan pendengaran atau tuli. Sampai 2017 terdapat 2.767 kasus SRK di Indonesia dan di Aceh sampai saat ini belum ada data jelas mengenai penderita SRK, akan tetapi kasus SRK sudah ditemukan dan ada di sekitar kita.
Seorang penderita campak atau rubella membutuhkan rawatan di rumah sakit (RS), terutama dengan indikasi campak dengan komplikasi ataupun campak tanpa komplikasi, tapi dengan kondisi sulit makan dan minum. Untuk seorang penderita campak, biaya yang dibutuhkan (berdasarkan standar BPJS), yaitu campak ringan tanpa komplikasi sebesar Rp 2.680.000 per kasus, campak dengan radang paru sebesar Rp 12.890.700 per kasus, campak dengan radang otak yaitu sebesar Rp 11.719.300 per kasus.
Biaya tersebut belum termasuk biaya hidup selama penderita dirawat juga biaya untuk keluarga yang mendampingi. Termasuk juga selama rawatan, orang tua, baik Ayah atau Ibu tidak bisa bekerja mencari nafkah sebagaimana aktivitas sehari-hari dalam memenuhi ekonomi rumah tangga.
Sedangkan untuk biaya pengobatan cacat karena penyakit rubella (SRK), butuh biaya yang sangat besar untuk alat bantu dengar (implant kokhlea) di telinga (tidak ditanggung BPJS), hanya biaya operasi yang ditanggung BPJS. Biaya operasi katarak kongenital, juga biaya yang dibutuhkan untu perawatan cacat seumur hidup (terapi rehabilitasi berupa terapi wicara, terapi jalan), biaya hidup selama perawatan (transportasi, makan) juga kerugian yang ditimbulkan karena orang tua tidak bekerja.
Untuk 3 (tiga) tahun terakhir dari kasus campak di Aceh dengan asumsi rata-rata pengeluaran setiap kasus yang diklaim ke BPJS sekitar sebesar Rp 7,8 juta, maka total cost yang dikeluarkan hampir mencapai Rp 30 miliar. Angka ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga pasien dengan rata-rata durasi waktu 7 hari, baik untuk pasien rawatan tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi yang bisa menghabiskan biaya rata-rata Rp 2 juta per keluarga.
Artinya, keluarga pasien akan mengeluarkan biaya mencapai Rp 4,7 miliar selama tiga tahun tersebut, sehingga nilai ekonomi yang harus ditanggung akibat dari proses pengobatan Campak dan Rubella totalnya mencapai Rp 34 miliar.
Komponen biaya
Nilai ekonomi yang muncul dari data tersebut belum termasuk biaya yang dikeluarkan dari kasus SRK yang secara nasional dalam lima tahun terakhir berjumlah 2.767 kasus dengan biaya perawatan, operasi, terapi dan lain-lain yang membutuhkan komponen biaya berupa alat bantu dengar implant sebesar Rp 327 juta - Rp 370 juta, terapi wicara Rp 74 juta, katarak Rp 22 juta, dan rehabilitasi sebesar Rp 2,6 juta. Sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh pasien SRK per pasien adalah sebesar Rp 619 juta.