Breaking News

Opini

‘Proxy War’ Ancaman Nyata Narkoba

MARAKNYA penyalahgunaan narkoba kian menghangtui banyak orang. Barang haram tersebut kian mudah diperoleh

Editor: hasyim
Empat Tersangka kurir Narkoba Jaringan Internasional yang merupakan ABK Kapal MV Sunrise Glory, masing-masing Hsieh Lai Fu (52), Huang Chiang (40), Chencun Hang (39) dan Chen Chien (52) bersama barang bukti 1 Ton 29 Kg sabu(KOMPAS.COM/ HADI MAULANA) 

Oleh Abd. Halim Mubary

MARAKNYA penyalahgunaan narkoba kian menghangtui banyak orang. Barang haram tersebut kian mudah diperoleh. Peredarannya pun bukan lagi hanya di perkotaan, namun juga mulai menyasar ke seluruh pelosok perkampungan dengan beragam modus dan trik yang dilacarkan oleh pengedar dan jejaringnya. Yang membuat kita masygul, dalam peredarannya, sindikasi narkoba dilancarkan oleh bandar dengan menghalalkan segala cara demi untuk meraup keuntungan.

Contoh teranyar adalah terbunuhnya Brigadir Faisal, anggota Satreskrim Polres Aceh Utara setelah ditikam oleh komplotan yang diduga sindikat narkoba, di kawasan Pantai Bantayan, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Minggu (26/8) dini hari. Brigadir Faisal menemui ajalnya ketika akan menyergap komplotan yang diduga akan mendaratkan narkoba dengan perahu motor di kawasan tersebut (Serambi, 26/8/2018).

Kendatipun sindikat ini akhirnya berhasilk diciduk polisi, bahkan salah seorang anggotanya juga tewas dalam penyergapan polisi, namun kenekatan kelompok ini dalam mempertahankan eksistensinya agar tidak tersentuh hamba hukum, membuat mereka memperalat diri dengan persenjataan layaknya kartel jaringan narkoba di luar negeri. Mereka tetap memberikan perlawanan terhadap siapa saja yang “mengganggu” kerajaan bisnis haram mereka, termasuk melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum.

Jenis narkoba baru
Narkoba yang identik dengan kejahatan luar biasa, memang sangat sulit diberantas. Para produser barang haram ini juga terus melakukan beragam modus baru untuk mengelabui pemakai dengan membuat jenis narkoba baru yang tidak konvensional. Selama ini yang umum dikenal adalah narkoba jenis ganja, sabu, heroin, dan ekstasi. Namun pada kenyataannya, produser narkoba setiap saat terus berinovasi dengan mengalihkan produksinya dari konvensional seperti serbuk dan pil, ke bentuk narkoba jenis baru sebagai kamuflase atau menyamarkan jenis narkoba baru agar tidak mudah terdeteksi petugas. Tujuannya untuk mengelabui konsumen seperti dalam bentuk permen atau cairan (liquid) dalam bentuk jajanan ringan.

Hingga 2017, setidaknya ada sekitar 700 lebih jenis narkoba baru yang ditemukan di seluruh dunia. Sedangkan yang beredar di Indonesia hingga awal 2018, hanya 71 jenis narkoba. Dari jumlah tersebut, 65 jenis yang berhasil diketahui mengandung narkoba dan masuk dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Belakangan diketahui, beberapa jenis narkoba dari luar negeri yang tergolong baru seperti cannabinol sintetis, yang masuk dalam kategori liquid vape eksport (narkoba cair). Bahkan jenis serbuk yang efeknya menyerupai flakka pun diduga telah beredar di Indonesia. Di mana sejumlah pabrik narkoba berjenis paracetamol, caresprodol, dan coffein (PCC), sabu, ekstasi, atau cannabinoid pernah digerebek petugas BNN di Indonesia (Okezone.com, 8/1/2018).

Dari perubahan bentuk yang tidak konvensional ini, dikhawatirkan jenis narkoba baru ini bisa menyasar anak-anak karena bentuknya berupa permen atau cairan. Sehingga orang tua pun tidak menaruh curiga terhadap narkoba berbalut jajanan ringan ini, tapi di dalamnya mengandung zat sangat berbahaya melebihi narkoba kovensional yang selama ini beredar. Narkoba jenis baru ini sebagian besar di antaranya berasal dari luar negeri seperti Eropa, Amerika, dan Asia. Meskipun sejumlah jenis narkoba baru ini telah berhasil dideteksi BNN dan ditarik dari peredaran, namun bukan tidak mungkin jika produser dan bandar narkoba akan tetap berinovasi menemukan jenis narkoba baru.

Melihat fakta yang ada, semakin ditekan dan diburu, namun barang haram itu tetap saja beredar dan menjadi konsumsi beragam kalangan tanpa mengenal kasta. Mulai dari rakyat jelata, pejabat, pengusaha, artis, hingga politisi. Seperti kata pepatah, “patah satu, tumbuh seribu”. Paham inilah yang dianut para bandar narkoba. Mereka akan terus mencari cara agar narkoba tetap bisa beredar dan menyasar pemakai. Bak gurita, meski badannya berada di dalam air, namun seluruh jaringan tangannya tetap menebarkan ancaman yang mematikan.

Hasil survei Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh menyebutkan, sebanyak 73.201 warga Aceh diduga terindikasi kecanduan narkoba. Dari jumlah tersebut, sebanyak 916 mantan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba yang telah direhabilitasi BNPP Aceh, terhitung sejak 2017-2018. Sedangkan 72.285 orang sisanya belum tersentuh layanan rehabilitasi. “Mengingat banyaknya pecandu yang belum direhab, kami harapkan dukungan pemerintah daerah agar dapat menyediakan tempat rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba,” harap Kepala BNNP Aceh, Brigjen Pol Faisal Abdul Naser. (Serambi, 28 Juli 2018).

Berkaca dari hasil survei BNN di atas, maka sudah saatnya Aceh memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Apalagi sudah sejak lama Aceh menjadi salah satu pintu masuk peredaran narkoba di Indonesia. Kecuali itu, Aceh juga merupakan penghasil ladang ganja terbesar di Indonesia. Fenomena ini tentu sangat memiriskan, terlebih jika melihat yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba sebagian besar merupakan kalangan generasi muda.

“Proxy war”
Menko Polhukam, Wiranto menyatakan, Indonesia sekarang masih darurat narkoba. Ia mengingatkan gelombang gempuran narkoba begitu masif dari segi jumlahnya. “Tiap hari 30 anak muda meninggal karena narkoba. Kalau sebulan ada 900 orang, berarti setara dengan tiga pesawat boing 737 yang jatuh dan semua penumpangnya tewas, ini jumlah yang besar sekali,” kata Wiranto (Liputan6.com, 12/7/2018).

Padahal isu generasi produktif untuk menuju Indonesia emas pada 2030 telah dicanangkan demi merajut bonus demografi. Namun menyahuti isu besar pembangunan manusia ini, bukan tidak mungkin hanya tinggal di atas kertas, jika perang melawan narkoba ini tidak berhasil dilakukan. Dampak dari kegagalan ini adalah Indonesia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk “merawat” generasi muda yang “terlajur” menjadi budak narkoba. Hasilnya, kita akan kehilangan sebuah generasi demi cita-cita yang mulia menuju Indonesia emas pada 2030. Bagaimana mau membangun generasi muda emas, jika mereka perperilaku malas, tidak produktif, dan bermental kriminal karena pengaruh narkoba?

Untuk melemahkaan sebuah negara, tidak harus selalu dengan menghancurkannya dengan pasukan atau senjata canggih, namun cukup merusaknya dengan perang tanpa bentuk (proxy war) sebagai senjata utama dalam melumpuhkannya. Sehingga dengan instrumen proxy war ini, lebih mudah dan murah, serta musuhnya pun tidak terlihat.

Melihat fenomena di atas, tentu bukan pekerjaan mudah dalam memberantas dan mencegah penyalahgunaan narkoba. Tidak cukup hanya pihak BNN dan kepolisian saja yang berperan, mengingat luasnya wilayah dan terbatasnya personil yang ada untuk mengawasi darat, laut, dan udara Indonesia dari ancaman bahaya narkoba.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved