Opini
Wali Nanggroe dalam Pandangan Konservatif
AKHIR-AKHIR ini Lembaga Wali Nanggroe menjadi pembincangan hangat di Aceh, baik di kalangan politisi Aceh
Oleh Muhammad Ridhwan
AKHIR-AKHIR ini Lembaga Wali Nanggroe menjadi pembincangan hangat di Aceh, baik di kalangan politisi Aceh maupun dalam kalangan publik dan akademik. Hal ini muncul kepermukaan, kemungkinan dikarenakan status Wali Nanggroe yang selama ini diemban oleh Malek Mahmud Al-Haytar akan berakhir pada Desember 2019.
Oleh karena itu, saya merasa tertarik untuk sedikit mengulas tentang lebaga ini sebagai satu lembaga peninggalan kerajaan Aceh yang dihadirkan kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan tetapi, apa kaitan Lembaga Wali Nanggroe dengan konservatif, sebagaimana judul tertulis di atas?
Konservatif merupakan sebuah filsafat politik yang mendukung tradisi masa lampau atau nilai-nilai tradisional. Konservatif itu sendiri mengandung arti di antaranya melestarikan, menjaga, memelihara, dan mengamalkan. Berbagai budaya memiliki nilai berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian penganut konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau.
The status quo ante, hal tersebut diutarakan oleh tokoh konservatif Edmund Burke (1729-1797), beliau lebih dikenal sebagai tokoh yang menolak gejolak revolusi Prancis. Dalam hal ini, konservatif status quo ante saya rasa sangat sesuai untuk menganalisa lembaga wali Nanggroe yang ada di Aceh, karena bersamaan ingin menghadirkan kembali sistem yang pernah dilaksanakan di masa lampau.
Praktik konservatif
Sebenarnya tidak hanya di Aceh yang mencoba menghadirkan kembali ideologi peniggalan orang-orang terdahulu. Banyak negara yang sudah mencoba menggali kembali sistem lama untuk disandingkan berdampingan dengan sistem baru (modernisasi). Misalnya, di belahan benua Eropa, konservatif sering hadir dalam mempertahankan teologis.
Kalangan konservatif Eropa tidak ingin ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga ada sebagian konservatisme di Eropa gelombang utama seringkali diwakili oleh partai-partai yang berlandasakan teologi, seperti Partai Kristen Demokrat. Mereka membentuk faksi besar Partai Rakyat Eropa di parlemen Eropa.
Asal usul partai-partai tersebut umumnya adalah partai-partai Katolik dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan ajaran sosial Katolik seringkali menjadi inspirasi awal mereka. Setelah bertahun-tahun, konservatisme pelan-pelan menjadi inspirasi ideologis utama mereka.
Begitu juga dengan negara Tiongkok, konservatisme juga didasarkan karena ingin mempertahankan sebuah teologi atau ajaran-ajaran Kong Hu Cu. Bagi masyarakat Tiongkok berangggapan bahwa Kong Hu Cu yang hidup pada masa kekacauan dan peperangan antara berbagai kerajaan, banyak menulis tentang pentingnya keluarga, kestabilan sosial, dan ketaatan terhadap kekuasaan yang adil.
Gagasan-gagasan Kong Hu Cu terus menyebar di masyarakat Tiongkok. Konservatisme Tiongkok yang tradisional yang diwarnai oleh pemikiran Kong Hu Cu telah muncul kembali pada tahun-tahun belakangan ini, meskipun selama lebih dari setengah abad ditekan oleh pemerintahan Marxis-Leninis yang otoriter.
Setelah kematian Mao pada 1976, tiga faksi berebutan untuk menggantikannya, yaitu: Pertama, kaum Maois garis keras, yang ingin melanjutkan mobilisasi revolusioner; Kedua, kaum restorasionis, yang menginginkan Tiongkok kembali ke model komunisme Soviet, dan; Ketiga, para pembaharu yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, yang berharap untuk mengurangi peranan ideologi dalam pemerintahan dan merombak ekonomi Tiongkok.
Negara Tiongkok melahirkan sebuah gagasan Tiongkok tradisional.
Partai Komunis mendirikan prinsip sendiri dan tidak lagi secara konsisten menganjurkan teori Marxis yang revolusioner. Sebaliknya berpegang pada fleksibilitas ideologis teologi yang konsisten dengan ucapan Deng Xiaoping, yakni mencari kebenaran di antara fakta. Sehingga cinta tanah air dan kebanggaan nasional telah muncul kembali, seperti halnya pula tradisionalisme.
Berbagai pengalaman dan pendangan di atas tidak jauh beda dengan konservatif status quo ante dalam kacamata Wali Nanggroe di Aceh, yaitu ingin menyandingkan antara tradisionalisme dengan nasionalisme negara moderen sekarang.
Wali nanggroe sekarang harus membuka diri, sehingga marwah dan kharismatiknya terjaga seperti pada zaman Sultanah Shafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678 M), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688), dan Kamalatsyah (1688-1699).