Penyebab Banjir Bandang di Agara Karena DAS Alas Makin Kritis, Ini Datanya
Ancaman banjir dan tanah longsor di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas akan semakin meningkat seiring dengan kondisi hutan yang semakin kritis.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
Laporan Taufik Hidayat | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Manajer Data dan Analysis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Alifi Rehanun Nisya, mengatakan bahwa ancaman banjir dan tanah longsor di kawasan permukiman sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas akan semakin meningkat seiring dengan kondisi hutan yang semakin kritis.
Analisis ini disampaikan Alifi, Jumat (7/12/2018), terkait banjir bandang di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) yang termasuk DAS Alas.
Seperti diketahui, Sungai Alas ini mengalir dari Gayo Lues hingga bermuara di Kabupaten Aceh Singkil, dengan melintasi Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Selatan.
Sementara, banjir bandang di Agara yang mulai terjadi 26 November lalu disusul pada 30 November 2018 itu, melingkupi empat kecamatan. Yaitu Desa Natam Baru berada di Kecamatan Badar, Desa Kayu Mentagur di Kecamatan Ketambe, Desa Bun-bun Indah di Kecamatan Leuser, dan Desa Kite Rambe di Kecamatan Darul Hasanah.
Baca: Bencana Banjir Bandang Agara, Waktu Darurat Bencana Ditambah 10 Hari
“Keempat kecamatan tersebut memiliki indeks lahan Sangat Kritis dan Agak Kritis akibat kerusakan hutan, didukung morfologi wilayah yang dominan curam. Dengan curah hujan kriteria ‘tinggi’ (151-300 mm), maka potensi terjadi bencana banjir akan semakin besar,” ungkap Alifi.
Menurut data analisis Yayasan HAkA (2006-2017), yang memantau kerusakan hutan di kawasan seluas 747,970 hektare di sepanjang DAS Alas, lahan yang kondisinya sangat kritis mencapai 37,3712 Ha (5%).
Untuk kriteria lahan kritis mencapai 22.003 Ha (2,9%), lahan agak kritis 485,733 Ha (64,9%), lahan potensial kritis mencapai 77,332 Ha (10,3%), dan lahan yang tidak kritis saat ini hanya tersisa 125,530 Ha (16,7%).
Alifi mengatakan, kriteria ini dihitung berdasarkan tingkat kerusakan hutan yang ditandai dengan hilangnya tutupan hutan.
Sepanjang 2006 hingga 2017, di lahan yang berkategori sangat kritis, luas tutupan hutan yang hilang mencapai 8,76%. Untuk lahan dengan kategori kritis, tutupan hutan yanghilang sebesar 6,90%.
Sedangkan di lahan dengan kategori agak kritis, luas tutupan hutan yang hilang mencapai 52,68% dalam tempo 9 tahun (2006-2017).
Sementara lahan yang potensial kritis, kehilangan tutupan hutan sebesar 15,52%. Bahkan untuk lahan yang masuk kategori tidak kritis pun, saat ini telah kehilangan tutupan hutan seluas 16,11%.
Baca: VIDEO - Korban Banjir Bandang Manfaatkan Air Sungai yang Berlumpur
Alifi menerangkan, bahwa jika berbicara tentang bencana banjir pada suatu DAS, tidak terlepas dari kondisi hulu sungai, tutupan hutan, morfologi, dan pengelolaan/manajemen DAS di daerah tersebut.
Ia menegaskan, tutupan hutan memiliki peran penting dalam pencegahan banjir ketika hujan. Karena vegetasi memiliki kemampuan untuk menahan aliran air hujan yang jatuh ke bumi, yang disebut ‘intersepsi’.
“Kemampuan intersepsi ini mengurangi aliran air permukaan secara langsung, sehingga mengecilkan kemungkinan banjir,” katanya.