Opini
Ekonomi Syariah dalam Hukum Positif Aceh
ACEH adalah satu provinsi di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat lekat dengan nilai-nilai ajaran Islam

Oleh Hesphynosa Risfa
ACEH adalah satu provinsi di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat lekat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran Islam telah diwariskan oleh indatu kita sejak zaman dulu. Hal ini dapat kita lihat dalam satu hadih maja, Adat bak po teumeureuhon, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. Makna hukom bak Syiah Kuala menunjukkan Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda adalah Kerajaan Islam. Oleh karena itu, hukum yang berlaku adalah Hukum Islam, karena Syekh Abdur Rauf (Syiah Kuala) adalah seorang ulama yang memegang kewenangan menjalankan fungsi yudikatif.
Dari latar belakang sejarah ini, maka masyarakat Aceh tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Sejak zaman penjajahan, Islam menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh rakyat Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda. Ajaran Islam selalu dijadikan dasar dalam pergaulan dimasyarakat, yang tercermin dalam hadih maja, adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut, yang bermakna adat dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan.
Ketentuan mengenai syariat Islam di Aceh telah diadopsi ke dalam beberapa hukum positif kita (hukum positif bermakna ketentuan perundang-undangan). Di antaranya melalui UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian diatur kembali melalui UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (walaupun kini telah dicabut). Selanjutnya pascadamai antara RI dan GAM, pemerintah menetapkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
UU No.44 Tahun 1999 mengklasifikasikan Keistimewaan Aceh kedalam empat bidang. Yaitu bidang agama, adat, pendidikan, dan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Kemudian untuk menegakan hukum syariah UU No.18 Tahun 2001 memberikan kekhususan kepada Aceh untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah yang kewenangannya lebih luas dibandingakan dengan peradilan agama. Peneguhan hukum Islam ke dalam hukum positif tidak hanya sampai di situ, melalui UU No.11 Tahun 2006 semakin diperkuat eksistensinya.
Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e UUPA menyebutkan bahwa gubernur atau bupati/wali kota mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syariat Islam di Aceh secara menyeluruh. Pelaksanaan syariat Islam tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 125 yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Memasuki era baru
Keinginan Pemerintah Aceh untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah), pelan-pelan semakin kelihatan wujudnya dan kini telah memasuki era baru. Kalau sebelumnya perhatian masyarakat hanya terbatas pada pelaksanaan Hukum Jinayah saja, tapi kini legal policy Pemerintah Aceh bersama DPRA sudah mulai mengatur hubungan muamalah (hubungan manusia dalam interaksi sosialnya) khususnya dalam bidang ekonomi. Hal ini sekaligus membantah idiom yang menganggap bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh hanya berkaitan dengan hukuman cambuk semata.
Kita patut memberikan apresiasi kepada Pemerintah Aceh dan DPRA yang baru-baru ini telah menggelar sidang paripurna untuk menetapkan Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Yang dituangkan dalam Keputusan DPRA No.33/DPRA/2018. Keberadaan qanun ini merupakan momentum sejarah bagi Aceh.
Hal ini tidaklah berlebihan karena perhatian kita selama ini belum menilik secara mendetail pelaksanaan syariat Islam di bidang muamalah (perdata/ekonomi umat). Padahal setiap harinya masyarakat kita selalu bersentuhan dengan kegiatan ekonomi. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, atau kerjasama investasi. Dengan adanya qanun ini akan menjadi payung hukum bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonominya sesuai tuntunan Alquran, hadis.
Qanun ini merupakan law as a tool of social engineering bagi masyarakat kita, di mana seluruh transaksi keuangan yang sebelumnya mengandung unsur riba kini beralih ke transaksi keuangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Pekerjaan rumah ini tidak hanya berhenti sampai di sini. Karena untuk menjalankan ekonomi Islam yang sesungguhnya diperlukan pemahaman yang sama antara pemerintah, praktisi LKS, palaku pengusaha, akademisi, dan masyarakat.
Penulis yakin bahwa kita semua belum memiliki pemahaman yang sama tentang ekonomi Islam itu sendiri. Hal ini perlu disosialisasikan secara terus-menerus kepada seluruh komponen masyarakat. Kalau semua pihak telah memiliki kesepakatan dan pemahaman yang sama yakinlah implementasi syariat Islam di bidang ekonomi akan mudah diterapkan. Kesepakatan dan komitmen bersama menjadi penting, seperti apa yang disampaikan orang tua kita dulu, meunyo na mufakat lampoh jrat jeut tapeugala.
Terang-benderang
Apabila kita kaji secara mendasar sebenarnya sangatlah terang benderang perbedaan kedua sistem tersebut. Dari sudut pandang hukum, LKS dalam menjalankan kegiatan usahanya berpedoman pada Alquran, hadis, fatwa DSN/MUI, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Sedangakan sistem konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya berpedoman pada KUH Perdata (burgerlijk wetboek) yang secara historis merupakan produk hukum peninggalan Belanda.
KUH Perdata memang membolehkan pengambilan bunga dalam suatu perjanjian. Mengutip Pasal 1239 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”
Dalam konteks investasi, misalnya, LKS hanya boleh menyalurkan pembiayaan terbatas pada kegiatan usaha yang halal saja. Sedangkan sistem konvensional pembiayaan diperbolehkan untuk semua kegiatan usaha, termasuk usaha peternakan babi misalnya, dan lain-lain. Kemudian orientasinya pun berbeda, LKS dijalankan berdasarkan asas keadilan dan kemaslahatan sehingga yang diutamakan tidak semata-mata sisi keuntungan saja. Sedangkan sistem konvensional tinjauannya lebih sempit dari pada itu, karena yang diharapkan hanya nilai keuntungan semata.
Kemudian cara pengambilan keuntungannya pun berbeda, LKS menerapkan sistem bagi hasil sesuai dengan porsi modal yang diperjanjikan. Sedangkan sistem konvensional keuntungan diambil berdasarkan bunga yang telah disepakati meskipun debitur dalam keadaan merugi. Padahal seperti yang kita ketahui bersama bunga sangatlah dilarang dalam ajaran Islam. Lalu dari sisi pengawasan, LKS diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Hal ini guna menjamin agar akad yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.