Opini
‘Nanggroe Plt’
SEJAK Gubernur Irwandi Yusuf ditangkap oleh Komisi Oemberantasan Korupsi (KPK) dan harus menjalani masa persidangan
Oleh Muhajir Al Fairusy
SEJAK Gubernur Irwandi Yusuf ditangkap oleh Komisi Oemberantasan Korupsi (KPK) dan harus menjalani masa persidangan di Jakarta, otomatis kekuasaan sementera beralih ke Wakil Gubernur sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Nova Iriansyah.
Sebagai Plt, tindak tanduk Gubernur Aceh tersebut mulai menuai wacana unik dan menarik, sebab satu kegemarannya ikut melakukan Plt pada beberapa lembaga, seperti Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), dan kini tiga lembaga keistimewaan Aceh, seperti Baitul Mal Aceh (BMA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), dan Majelis Adat Aceh (MAA) juga ikut di Plt-kan olehnya.
Padahal, tafsir hukum mem-Plt-kan lembaga tersebut masih menuai kontroversi, terutama MAA. Apalagi, sebagai satu lembaga otonom Pemerintah Aceh, MAA baru saja melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) pemilihan ketua baru pada 23-24 Oktober 2018.
Berdasarkan hasil Mubes yang berjalan sesuai prosedur, Badruzzaman Ismail kembali terpilih sebagai Ketua MAA periode berikutnya. Namun, dalam masa penantian SK dan keberlanjutan program, justru Plt Gubernur Aceh membuat geger publik Aceh, karena nekat melakukan Plt pada Ketua MAA terpilih. Kondisi ini, sontak menuai kecaman, kontroversi dan perdebatan hukum antarkedua belah pihak.
Tindakan lawak
Kegemaran melakukan Plt yang dilakukan Plt Gubernur ini banyak ditanggapi sebagai tindakan lawak dan nyeleneh oleh publik, mengingat (masih) status Plt Gubernur yang melekat padanya dan hobinya mem-Plt-kan, maka tidak berlebihan dalam diskusi singkat ini, saya menaruh tema dialog “Nanggroe Plt”. Tentu, ini sebagai upaya memotret kelucuan politik yang sedang terjadi di Aceh dalam tiga bulan terakhir.
Diskusi ini, nantinya akan saya fokus selain mendeskripsikan dalam pendekatan antrhopologi politik gambaran Aceh di era Plt, juga ikut menghamparkan kasus yang sedang melanda MAA sebagai satu lembaga istimewa dan terhormat di Aceh, karena tanggung jawabnya mengurusi adat dan budaya Aceh, kini justru diobok-obok oleh kekuasaan politik di Aceh.
Kekuasaan berdasar konsep antropologi politik memang menjadikan seseorang memiliki kemampuan untuk bertindak efektif terhadap orang lain, dengan menggunakan cara-cara yang berkisar pada bujukan, persuasi bahkan kekerasan (fisik atau non fisik) (lihat MG, Smith dalam Claessen, 1986). Artinya, saat berkuasa, seseorang adakalanya alpa dengan kondisi yang sedang dihadapi. Padahal, ada kondisi-kondisi yang masih dapat dinegosiasi untuk mencairkan suasana.
Jika memaksakan ego kuasa dengan tindakan persuasi dapat ditebak, hasilnya akan kacau. Kondisi demikian, tampaknya berlaku untuk kasus benturan antara Plt dengan MAA yang baru saja melaksanakan Mubes. Respons perlawanan yang diberikan oleh ketua terpilih menjadikan kondisi semakin kurang kondusif. Aroma konflik mulai tercium. Karena itu, langkah bijak adalah memanfaatkan kekuasan untuk memahami kondisi sebenarnya, tidak lantas terjebak mendengar pembisik di sekitar kekuasaan.
Satu asas demokrasi paling penting adalah musyawarah dan mufakat, termasuk dalam penentuan seorang pemimpin. MAA telah melakukan proses tersebut secara hormat dan sesuai prosedur hingga terpilih Badruzzaman Ismail sebagai ketua. Dipilihnya Badruzzaman Ismail tentu dengan alasan strategis dan kesepakatan bersama pemegang mandat, mengingat jasanya sebagai tokoh adat Aceh dan keberhasilan program kerja di bidang adat selama ia menjabat sebagai ketua MAA sebelumnya.
Apalagi, Mubes yang berlangsung selama dua hari ini, diikuti oleh tiga puluh peserta, pengurus MAA Provinsi, perwakilan MAA kabupaten/kota dan provinsi. Artinya, tidak ada pelanggaran dan cacat hukum sebagaimana dituduh kemudian hari karena belum lahirnya Pergub yang mengatur lembaga keistimewaan Aceh. Padahal, Pergub belum lahir, namun dipaksakan dengan bahasa hukum yang rancu dan terkesan dipaksakan. Jika memang Pergub itu akan diberlakukan, tentu harus disampaikan jauh hari sebelum Mubes. Artinya, Pemerintah Aceh tak perlu membuang anggaran untuk melaksanakan Mubes MAA jika kemudian dianulir dan dianggap tidak sah.
Sikap yang ditampilkan oleh Plt beserta pembisik di sekitarnya menunjukkan tindakan persuasi atas nama kekuasaan dengan cara mengangkangi demokrasi. Bahkan, menurut sebagian pengamat dan peserta Mubes MAA, tindakan Plt Gubernur Aceh mem-Plt-kan Ketua MAA sudah menjadi tindakan sewenang-wenang, dalam bahasa hukum menurut Daud Yusuf (pakar hukum Unsyiah) tindakan seperti ini disebut dengan istilah abuse of power.
Padahal, dalam konteks negara demokrasi dan kearifan lokal atas nama Aceh Meuadab, sebagaimana slogan Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah sendiri, tindakan tersebut jelas-jelas telah keluar dari rel dan cara beradab. Artinya, tindakan plt jelas mengangkangi demokrasi dan kearifan Aceh Meuadab. Bukankah, Musyawarah Besar yang dilakukan oleh MAA adalah bagian penting dari demokrasi bahkan sesuai dengan tujuan dan kemiripan nama partai Plt sendiri-Demokrat(is).
Publik menunggu
Aceh Meuadab adalah jalan kembali tatkala karut-marut kondisi politik dan sosial sedang terjadi di Aceh saat ini. Slogan ini tampak begitu mengakar secara filosofis. Sikap arif dan meminta maaf jika terjadi kesilapan atau terlanjut melakukan sesuatu di luar pemahaman yang sesungguhnya adalah sikap kesatria dan kenegarawanan seorang pemimpin. Publik menunggu momentum ini. Sudah cukup perang yang terjadi di Aceh, tugas kita bersama merawat Aceh damai dan kondusif, tidak bergejolak karena kepentingan politik segelintir kelompok yang dilakukan dengan cara-cara kurang beradab atau kureung meuadab.
Seluruh publik Aceh hari ini menonton dagelan politik ala Plt yang dianggap gemar melakukan Plt, hingga memunculkan perlawanan dan kondusi yang kurang kondusif. Masih banyak pekerjaan Plt membenahi Aceh, dan meneruskan pekerjaan rumah Irwandi yang belum selesai. Kasus kemiskinan di Aceh, birokrat yang sehat jauh dari unsur korupsi dan nepotisme, pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) yang tepat sasaran dan dapat memperbaiki kondisi perekonomian Aceh berpuluh tahun ke depan, hingga kasus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kini dinanti oleh banyak korban konflik di Aceh, sepatutnya menjadi prioritas kerja Plt Gubernur Aceh.