Opini

Jangan Golput, Istikharahlah

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 kian dekat, tinggal menghitung hari, beberapa lembaga survey mencatat bahwa diperkirakan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Jangan Golput, Istikharahlah
IST
Dr. Johansyah, M.A. Pegawai Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah Aceh Tengah

Oleh Dr. Johansyah, M.A. Pegawai Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah Aceh Tengah.

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 kian dekat, tinggal menghitung hari. Beberapa lembaga survey mencatat bahwa diperkirakan ada sekitar 20 persen masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput di Pilpres dan Pileg 2019. Mereka tentu memiliki alasan tersendiri untuk tidak memilih. Namun begitu, sikap ini perlu dipertimbangkan lagi. Sebab jika karena tidak menggunakan hak pilih, lalu terpilihlah orang yang ternyata kurang tepat, maka secara tidak langsung sebenarnya mereka telah mendukungnya.

Hidup ini adalah pilihan. Dalam beragam persoalan ternyata kita memang harus memilih, termasuk memilih presiden yang menurut kita layak. Kita tidak boleh mengabaikan persoalan ini, dan memutuskan untuk golput. Singkirkan keraguan, tukar dengan rasa optimisme dan penuh harapan. Cari dan kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon sehingga kita tidak memutuskan untuk golput.

Penyebab golput
Mengapa masih banyak orang yang golput? Menurut Direktur Perludem, Titi Anggraini (IDN Times, 29/1/2019) ada lima penyebab meningkatnya golput yakni; merasa tidak mengakomodasi dari peserta pemilu tersebut, minim informasi soal Pemilu 2019, sulitnya mengurus surat pindah tempat pemungutan suara (TPS), para pemilih yang belum memiliki e-KTP, dan orang yang pesimis terhadap penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, kegaduhan politik di media sosial (medsos) yang kerap saling menjelekkan, membuka aib, bahkan memfitnah antara kubu calon satu dengan kubu calon yang lainnya juga dapat menjadi pemicu meningkatnya jumlah golput. Sikap golput itu muncul dari kejenuhan terhadap drama politik yang dipertontonkan. Dari itulah ada sebagian orang merasa hanya dijadikan umpan, alat, atau anak tangga untuk mencapai puncak kekuasaan. Mereka menganggap semua calon itu adalah PHP (pemberi harapan palsu), mengumbar janji, tapi minim realisasi.

Memilih adalah hak. Menggunakan atau tidak menggunakannya kembali pada pribadi masing-masing. Namun harus disadari bahwa menggunakan hak pilih berarti ikut berpartisipasi dan berkontribusi terhadap perubahan bangsa ini. Sistem demokrasi adalah konsensus bersama yang sejatinya kita patuhi dan jalankan. Suara kita akan menjadi bagian dari penentu masa depan bangsa ini.

Menggunakan hak suara adalah bagian yang terkecil dari kontribusi kita terhadap bangsa ini. Mungkin kita bukan pelaku utama perubahan, tapi sebagian energi perubahan itu ada dalam genggaman kita. Masa depan bangsa ini ditentukan oleh komitmen perubahan rakyatnya. Bukankah alqur’an telah menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi sebuah kelompok, sehingga mereka berkomitmen untuk mengubahnya sendiri (QS. Ar-Ra’d: 11).

Saya kutip sebuah kisah dari buku Lentera Al-Qur’an, karangan Quraish Shihab. Dikisahkan, dulu seorang raja pernah mencoba tingkat partisipasi rakyatnya. Sang raja memerintahkan agar setiap orang membawa sesendok madu dan meletakkannya dalam sebuah bejana yang telah disediakan. Beliau menganjurkan agar itu dilakukan pada malam hari.

Ada seorang di antaranya yang berpikir, “ah saya bawa sesendok air saja, nanti yang lain pasti membawa madu. Ini tentu tidak akan diketahui sang raja karena nanti sudah bercampur dengan madu dalam bejana besar tersebut. Lagi pula dilakukan pada malam hari”. Begitu pikirnya. Alhasil, rupanya sebagian besar orang berpikir sama seperti dia, membawa sesendok air karena mereka menyangka yang lain membawa madu. Keesokan harinya sang raja memeriksa, ternyata isi bejana tersebut sebagian besarnya adalah air.

Poin yang ingin disampaikan dari kisah ini adalah jangan menganggap hak suara kita itu tidak penting dan tidak memengaruhi hasil pemilu. Jika hanya satu orang yang berpikiran seperti itu, barangkali tidak berpengaruh. Tapi bagaimana kalau ratusan dan ribuan orang berpikiran sama seperti kasus madu di atas? Banyak orang yang berpikir, “biar mereka saja yang memilih, saya tidak usah, kerena tidak berpengaruh”. Ternyata yang lain juga banyak yang berpikiran sama, akhirnya sangat berpengaruh.

Maka pada setiap safari dakwahnya Ustaz Abdul Somad (UAS) senantiasa menekankan agar kita jangan golput, karena sikap politik seperti ini dapat merugikan masa depan bangsa. Golput itu adalah lambang sikap pesimistis, kejenuhan, dan sikap putus asa. Agama Islam mengajarkan kita untuk selalu optimis, bukan pesimis.

Setiap orang yang memiliki hak pilih harus menyadari bahwa suara mereka sangat berharga dan menentukan. Maka lakukanlah ikhtiar sungguh-sungguh dalam mengumpulkan informasi, fakta maupun data tentang calon yang akan dipilih. Memang, di era teknologi informasi terkadang sulit membedakan mana informasi yang sahih dan mana informasi hoaks. Data di media sekalipun terkadang masih diragukan kebenarannya sebab banyak kebenaran yang sengaja disembunyikan.

Istikharahlah
Kalau begitu, supaya hati kita teguh dan yakin terhadap sebuah pilihan, maka istikharahlah. Mungkin ada di antara kita yang meremehkan saran ini. Nyatanya Rasulullah saw sangat menganjurkannya. Hal ini dapat kita pahami dari sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah. Dia bercerita bahwa Rasulullah pernah mengajarkan istikharah. Hadisnya lumayan panjang. Intinya Rasulullah menganjurkan jika seorang di antara kita berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib. Kita memohon petunjuk, memohon ketetapan hati tentang keraguan yang kita alami (lihat; Hadis Bukhari, No.1162).

Allah itu adalah tempat kita mengadu dan memohon agar diarahkan memilih calon yang tepat. Justru kalau kita tidak konsultasikan persoalan sebesar ini kepada-Nya, alangkah sombongnya kita sebagai manusia. Allah Swt berfirman, “Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina.” (QS. Al-Mu’min: 60).

Kita haqqul yakin, pilihan Allah itu adalah pilihan yang terbaik. Pilihan ini jauh lebih akurat dari hasil survei manapun. Pilihan ini tidak mudah goyah dengan paket maupun amplop, karena Allah telah membimbing kita. Tentu, pilihan kita juga bukan karena faktor fanatis buta. Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved