Opini
Pesona ‘Haji Uma’
SEBUAH kejutan spektakuler terjadi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ini. Ya, kejutan itu adalah raihan suara fantastis
Oleh Teuku Zulkhairi, M.A. Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
SEBUAH kejutan spektakuler terjadi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ini. Ya, kejutan itu adalah raihan suara fantastis calon senator Aceh yang juga patahana, yaitu Haji Uma yang memiliki nama asli Sudirman. Bintang film komedi Eumpang Breuh ini dipastikan akan terpilih kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Aceh, setelah unggul di semua kabupaten/kota yang telah menjalani proses penghitungan suara.
Dari perhitungan suara sementara, sebagaimana dirangkum Harian Serambi Indonesia (Sabtu, 20/4/2019), sejauh ini tampaknya tidak ada kandidat lain yang mampu mengejar raihan suara Haji Uma. Fantastis, Haji Uma meraih lebih dari separuh suara pemilih calon DPD di Aceh. Ia hanya dibayang-bayangi oleh intelektual Aceh alumnus Timur Tengah yang juga sahabat Ust Abdul Somad, yaitu H Fadhil Rahmi yang berada di posisi kedua setelah Haji Uma.
Jauh hari sebenarnya keterpilihan kembali Haji Uma sudah diprediksi banyak pihak. Sekitar dua bulan lalu, sebagai kegiatan riset kecil-kecilan untuk melihat preferensi pemilih di Aceh, penulis sempat mewawancarai sejumlah masyarakat terkait kecenderungan mereka untuk memilih di pemilu. Selain menyatakan akan memilih Prabowo-Sandi untuk pemilihan presiden, mereka juga menyebut nama Haji Uma yang dianggap layak dipilih kembali. Alasannya, Haji Uma terbukti bekerja untuk rakyat.
Selain itu, adanya respons positif masyarakat Aceh terhadap kiprah Haji Uma, misalnya dapat kita baca di media sosial, di mana banyak yang menyebut nama Haji Uma sebelum pemilu dilangsungkan. Artinya, jika lima tahun lalu Haji Uma melenggang ke Senayan dapat dikatakan berbekal utama popularitasnya sebagai artis komedian Aceh dalam film Eumpang Breuh yang diproduksi oleh Din Keramik, maka dalam pemilu kali ini Haji Uma membawa bekal lain yang cukup memberi pesona.
Transformasi figur
Haji Uma sukses melakukan transformasi figur. Dari artis ke politisi yang merakyat. Dalam masa jabatan anggota senator periode berjalan, ia nampak berhasil membangun citra baru, bahwa ia mampu mengemban amanah yang diembannya, dan untuk itu layak dipilih kembali sebagai senator asal Aceh di periode berikutnya. Posisinya sebagai artis membuat ia terkenal, tapi elektablitasnya yang menjulang adalah disebabkan karena kiprahnya yang dapat dibaca oleh publik.
Kiprah Haji Uma sebagai senator dalam periode yang berjalan, tampaknya cukup diketahui dan dirasakan masyarakat. Hari-hari dalam kerja Haji Uma periode berjalan diisi dengan aktivitas positifnya atas sejumlah problem yang terjadi di masyarakat kelas bawah. Sesuatu yang jarang bisa dikelola secara baik dan konsisten oleh para politisi lain umumnya.
Dengan posisinya sebagai senator Aceh, Haji Uma misalnya secara konsisten masuk dalam relung hati masyarakat dengan cara ikut terlibat dalam sejumlah isu-isu populis. Dalam sebuah berita misalnya, Haji Uma disebut telah membantu warga miskin dari Aceh Timur yang mengalami pembekuan darah di kepala sehingga akhirnya pasien ini bisa pulang.
Dalam berita yang lain, Haji Uma disebut telah membantu anak kurang gizi di Aceh Utara. Berita yang lain menulis; Haji Uma membantu pengobatan TKI asal Aceh di Malaysia. Berita lainnya yang cukup menyentuh misalnya; Haji Uma Pulangkan Warga Aceh yang Sakit di Malaysia, Keluarga Sambut dengan Tangisan Haru.
Ada juga berita-Berita lain dengan judul yang cukup menyentuh seperti, Haji Uma Selamatkan Bayi Aceh dari Jaminan Utang Operasi yang Ditahan di Malaysia; Haji Uma Biayai Pengobatan Bayi Penderita Antresia Bilier; Haji Uma Ikut Antar Jenazah Rusdiana ke Pemakaman, dan sebagainya. Respon Haji Uma atas isu-isu yang merakyat seperti ini, tampak cukup mampu menyentuh relung hati masyarakat.
Dengan kiprah semacam ini, Haji Uma perlahan telah memposisikan dirinya sebagai “orang tua” bagi masyarakat lemah. Berbeda dengan politisi umumnya, Haji Uma tidak larut dalam belantika politik Tanah Air di pusat ibu kota dengan segala kemewahan dan permasalahannya.
Sebagai senator Aceh di Jakarta, Haji Uma justru juga berhasil mencitrakan dirinya tidak hanya fasih menjalankan fungsinya sebagai senator Aceh di ibu kota --dengan kiprahnya yang bisa dibaca di media massa-- namun ia juga berhasil menjelma menjadi politisi yang dekat dengan rakyat, sebagai orang tua bagi masyarakat Aceh. Haji Uma sebagai anggota DPD RI tidak berlagak sebagai seorang elite yang susah diakses oleh rakyat dengan segudang problematikanya.
Memberi dukungan
Dalam isu terakhir menjelang pemilu yang cukup populer, yaitu gerakan mahasiswa Aceh menuntut Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah agar mencabut izin operasional PT Emas Mineral Murni (EMM), di mana gerakan ini disebut-sebut sebagai aksi mahasiswa Aceh terbesar pasca-perjanjian damai GAM-NKRI, di mana jagad medsos di Aceh tampak memberikan dukungan yang penuh atas aksi mahasiswa ini, di kala politisi lain masih sibuk entah oleh urusan apa, Haji Uma muncul dengan statemennya yang menggelegar.
Haji Uma yang di awal telah menyatakan penolakannya atas izin PT EMM, kembali meminta Pemerintah Aceh agar serius menyikapi aspirasi mahasiswa dan rakyat terkait penolakan PT EMM. Sikap Haji Uma mungkin tidak langsung memberi pengaruh kuat, namun demikian sikapnya ini bagi publik dapat dimaknai tentang pada posisi mana ia berdiri, bersama rakyat atau penguasa.
Dengan sikap penolakannya terhadap PT EMM, Haji Uma kembali menunjukkan dirinya sebagai politisi yang selalu berada di pihak rakyat. Ini berbeda dengan politisi umumnya di mana ketika menjabat, banyak di antaranya yang merasa lebih nyaman menjadi “kaki tangan” penguasa ketimbang sebagai wakil rakyat. Kita lihat pada kenyataannya tidak banyak politisi yang mau berbenturan dengan kebijakan penguasa.