Mengenang Tsunami

Lambaian Terakhir Bunda

Saya hanya melihat lambaian dan tangisan terakhir dari bunda saya

zoom-inlihat foto Lambaian Terakhir Bunda
Ilustrasi/Net
Saya hanya melihat lambaian dan tangisan terakhir dari bunda saya. Saya hanyut bersama anak bunda saya dalam ombak yang bercampur dengan kayu-kayu dan mayat-mayat manusia

SAYA Harry Firmansyah, seorang hamba Allah yang Alhamdulillah masih diberikan umur untuk bisa beribadah kepada-Nya.

Ketika Gempa dan tsunami mengguncang Aceh 26 Desember 2004 lalu, saya tinggal di daerah Lambaro Skep ketika gempa terjadi saya dan keluarga bergegas keluar rumah pada saat itu kami berjumlah 8 orang di rumah yaitu nenek dari ayah, bunda adeknya ayah beserta suami dan 2 orang anaknya dan 2 orang ponakan bunda saya.

Begitu mendengar teriakan orang di ujung komplek yang mengatakan "air laut naik" saya sempat tidak percaya karena hal itu belum pernah saya dengar sampai saya umur 19 tahun waktu itu. Sehingga saya sempat tidak percaya untuk memastikan omongan orang tersebut saya berlari ke ujung komplek dan ketika sampai di situ saya melihat ombak hitam yang sangat besar dan terus membesar. Saya langsung bergegas berlari dan mengambil sepeda motor saya. Waktu itu saya berlari bersama bunda saya dan satu orang anaknya yang waktu itu masih berumur 7 tahun. Namun pelarian kami hanya mencapai simpang Jalan Syiah Kuala, di simpang itu macet total. Dengan terpaksa saya parkirkan sepeda motor saya di simpang tersebut namun hanya berselang beberapa detik saja saya melihat ombak besar dengan warna yang sangat hitam dari arah Lampulo yang menuju ke arah kami.

Saya hanya pasrah waktu itu dan menangis melihat muka-muka ketakutan dengan kesedihan. Begitu ombak besar tadi sampai di tempat saya berdiri saya langsung terbawa arus bersama dengan anak bunda saya yang waktu itu ada dalam dekapan saya. Saya hanya melihat lambaian dan tangisan terakhir dari bunda saya. Saya hanyut bersama anak bunda saya dalam ombak yang bercampur dengan kayu-kayu dan mayat-mayat manusia.

Namun dalam hanyutnya saya,  ternyata ombak tersebut memisahkan saya dengan anak bunda saya. Tapi Alhamdulillah anak bunda saya juga selamat. Saya sempat berpegangan dan naik ke atas mobil tangki minyak yang juga hanyut. Akhirnya ketika ombak sudah mulai berhenti saya naik ke atas ruko 2 lantai yang berada tepat di simpang Lamdingin. Sampai airnya surut saya bertahan di atas ruko tersebut.  Saya berhasil mencapai Simpang Jambo Tape. Sampai di situ saya berjumpa teman kuliah saya yang bernama Marzani dan saya diajak pulang ke rumahnya di daerah Ulee Kareeng. Saya bertahan di situ selama 2 hari dengan perasaan gelisah dan takut mengingat keluarga saya di Pidie. Karena daerah saya di Pidie hanya berjarak 500 meter dengan laut.

Sampai akhirnya saya berhasil sampai di kampung halaman di Pidie betapa sedihnya saya ternya semua keluarga saya di Pidie sedang mengungsi di kampung tetangga. Namun Alhamdulillah semua keluarga saya di Sigli selamat semuanya.

Alhamdulillah hikmah yang saya dapatkan setelah tsunami saya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan kontraktor sambil kuliah. Sampai sekarang ilmu tersebut bisa saya aplikasikan.

Alhamdulillah pada Maret 2010 saya lulus test di PNPM Mandiri sampai sekarang. Akhir 2010 saya melamar seorang gadis Bandung yang sekarang bekerja sebagai Pegawai di Dinas Kependudukan Aceh Besar.

Terima Kasih ya Allah atas semua yang telah Engkau berikan kepadaku. Amin ya Rabbal Alamin. ***

Oleh Harry Firmansyah
Pegawai di PNPM Mandiri

-------------------------------
Kenangan dalam bentuk tulisan dapat dikirimkan ke email: kenangtsunami2612@serambinews.com beserta foto diri, keluarga, dan kerabat yang meninggal akibat tsunami. Tak terkecuali korban selamat (survivor) yang kini telah mampu bangkit menata kehidupannya kembali.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved