Mengenang Tsunami
Nak! Pulanglah Ayah Sudah Tua
(Nak! Pulanglah, ayah sudah tua, adikmu membutuhkan bimbinganmu.)

BEGITULAH ucapan terakhir ayahku melalui telepon kala itu. Tepatnya pada Sabtu malam, tanggal 25 Desember 2004. Saya masih berada di kaki gunung Salak, Bogor bersama teman-teman dalam sebuah acara.
Udara di sana sangat dingin ditandai dengan asap kabut yang menghambat pandangan. Tidak pernah kuduga ucapan ayah menyuruhku pulang ke Aceh lewat telepon itu adalah sebuah isyarat bahwa ia akan berpisah denganku selamanya besok pagi, Minggu, 26 Desember 2004. Seandainya aku tahu, tentu takkan kusia-siakan untuk segera pulang ke Aceh malam itu juga.
Pada peristiwa tsunami, 26 Desember 2004 itu, aku kehilangan orang-orang tercinta, terutama keluargaku; ayah, mamak dan adikku Zain Akbar Hidayatullah (11 tahun). Tidak satu pun jenazah mereka kutemukan namun sampai hari ini aku hanya meyakini jenazah mereka terdapat di kuburan massal Lambaro, Ingin Jaya. Keluargaku tinggal di Desa Lam Lumpu Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.
Pagi itu, Minggu, 26 Desember 2004 aku bersama beberapa temanku sedang berada di Istora Senayan Jakarta untuk menghadiri acara halal bi halal masyarakat Aceh se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Sekitar pukul 08.40 WIB acara dibuka oleh bapak wakil Presiden Jusuf Kalla, tiba-tiba seorang teman berkata kepadaku, Pol! Coba telpon ke rumahmu, di Aceh terjadi gempa dan air laut naik ke darat 10 kilometer. Informasi temanku itu kubiarkan berlalu begitu saja dan aku pun larut dalam suasana acara karena aku tidak pernah mendengar dalam hidupku ada air laut yang naik sampai 10 kilometer.
Sepuluh menit kemudian panitia mengumumkan bahwa di Aceh telah terjadi Gempa bumi yang sangat dahsyat dan wakil Presiden Jusuf Kalla meninggalkan lokasi acara untuk segera berangkat ke Aceh.
Suasana yang tadinya riuh dengan berbagai selingan hiburan dan tarian Aceh berubah menjadi hening dan sunyi. Para pengunjung satu per satu meninggalkan lokasi dan sibuk menelepon sanak keluarganya di Aceh.
Saya bersama beberapa teman pun sibuk menelpon ke kampung namun tak satupun yang tersambung. Hatiku mulai risau, jangan jangan ada sesuatu yang terjadi terhadap keluargaku, gumamku dalam hati seraya meninggalkan lokasi acara. Saya kembali ke kos dan menyalakan TV melihat berita seputar gempa dan tsunami Aceh.
Senin pagi, 27 Desember 2004 seperti biasanya saya pergi ke kantor tanpa merasa beban apa-apa karena saya berpikir rumah saya di Aceh aman-aman saja. Di kantor ada dua orang teman yang juga dari Aceh, sejak pagi menangis tak henti-hentinya sedangkan saya sibuk dengan pekerjaan dan bersikap santai. Sepulang dari kantor saya menerima sms dari adik perempuan yang tinggal di sebuah pesantren di Lamprie dan selamat setelah lari dari kejaran ombak tsunami. Ia memberitahu sampai sore itu ayah, mamak dan adik bungsu belum ada kabar.
Senin malam, 27 Desember 2004 saya melihat rekaman video mini dari Cut Putri yang disiarkan Metro TV. Seorang reporter Metro TV bertanya kepada Cut Putri, di mana lokasi kejadian yang direkamnya itu. Cut Putri menjawab, kejadian itu direkam di rumahnya di desa Lam Jamee kecamatan Peukan Bada yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari laut dan ketinggian air di rumahnya mencapai 7 meter.
Ketika mendengar lokasi kejadian sekaligus menonton video yang sedang diputar di Metro TV, tiba-tiba tubuh saya gemetar bagai disambar petir di siang bolong, hati menjadi sedih dan resah. Seketika itu pula saya menangis sejadi-jadinya. Firasat saya mengatakan tidak mungkin ayah, mamak dan adik bungsu saya selamat dari air sederas itu.
Jika di rumah Cut Putri air sebesar itu maka di rumah saya lebih besar lagi karena rumah saya berjarak 1 kilometer dari laut, dugaan saya. Sejak hari itu saya mulai mencari cara untuk dapat pulang ke Aceh sesegera mungkin. Dua hari dua malam saya menginap di Bandara Halim Perdana Kusuma bersama ratusan bahkan ribuan relawan yang hendak ke Aceh.
Akhirnya pada hari Kamis, 30 Desember 2004 saya mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang dengan menumpang pesawat Hercules Singapore. Setiba di Banda Aceh saya langsung mencari tiga orang keluarga inti, ayah, mamak dan adik bungsu namun selama lima hari mencari tidak membuahkan hasil, akhirnya saya pasrah dan merelakan kepergian mereka, karena bukan saya saja yang menerima musibah tersebut, apalagi datangnya dari Allah.
Tujuh tahun sudah kepergian ayah, mamak dan adikku Zain Akbar. Ayah saya seorang petani yang sangat bertanggungjawab. Keluarga saya Sembilan bersaudara, hanya satu orang yang tidak mengecap pendidikan pesantren terpadu. Ayah memiliki prinsip bahwa anak-anaknya harus sekolah di lembaga yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum.
Kini kami tinggal delapan bersaudara. Setelah kepergian orangtua, kami tidak pernah berkumpul di satu rumah seperti saat ayah dan mamak masih ada. Empat orang di Jakarta salah satunya sedang kuliah, satu orang sedang kuliah di Yaman dan tiga lagi di Banda Aceh. Betapa besar pengaruh dan peran orangtua untuk mempersatukan keluarga. Kami bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Rasanya, tidak ada lagi momen yang dapat membuat kami berkumpul bersama.
Mamak saya seorang ibu rumah tangga yang ulet, sabar dan tidak pernah menyerah apalagi mengeluh dalam membesarkan kami sembilan orang. Saya masih teringat setiap pagi beliau menyuguhkan teh manis dan nasi guri. Masakan khas yang tidak pernah saya temukan pada orang lain adalah cumi-cumi tumis buatan mamak. Selamat jalan ayah, mamak dan adik Zain Akbar.
Kami selalu berdoa semoga Allah SWT membalas jasa dan kebaikan orangtua kami serta menempatkan mereka dan adik kami di tempat yang mulia di sisi-Nya. Ya Allah! Perkenankan kami untuk berkumpul kembali di surga-Mu di akhirat kelak. Amin ya rabbal ‘alamin!
Oleh Saifullah M.Yunus
Tinggal di Desa Lambaro Skep, Banda Aceh
--------------------------------------------
Kenangan dalam bentuk tulisan dapat dikirimkan ke email: kenangtsunami2612@serambinews.com beserta foto diri, keluarga, dan kerabat yang meninggal akibat tsunami. Tak terkecuali korban selamat (survivor) yang kini telah mampu bangkit menata kehidupannya kembali.