Mengenang Tsunami
“Bek tuwoe Kasembahnyang Hai Aneuk”
”Bek Tuwoe Kasembahnyang Hai Aneuk ‘ bek tuwoe kasembahnyang hai aneuk “
AKU yang masih duduk di bangku SMP waktu itu memang sedikit jail dan sering gangguin Meutia yang masih berusia empat tahun. 25 Desember pukul 8:00 WIb malam aku dan sekeluarga makan malam, saat makan aku masih saja ngangguin adik dan biasanya kalau lagi makan Aba saya (panggilan untuk ayah) pasti memarahinya bila waktu makan ngungguin Meutia, tapi entah kenapa saya berani waktu itu melakukannya, munkin karena beberapa hari belakangan Aba saya tidak pernah lagi memarahin saya bilamana saya melakukan kesalahan hanya saja dengan menegur dan tersenyum terhadap saya dan tanpa saya sadari ternyata itu hari-hari terakhir saya dengan Aba.
26 Desember 2004 masih sangat tergambar, suasana di pagi itu, Aceh diguncang dengan gempa 8,9 SR yang kemudian disusul dengan tsunami yang memisahkan aku dengan keluarga.
Biasanya Minggu pagi tepat jam 06:30 Wib cepat-cepat bangun untuk cuci sepatu, supaya bisa cepat-cepat pergi bermain dengan teman2, ternyata pagi itu pagi terakhir aku bisa melihat wajah-wajah teman2 yang mana setiap saat saya bersendagurau.
Tepat jam 8:15 Wib dinding di tokoku, semua isi toko bergoyang dan aba saya (panggilan untuk ayah) dan adik Meutia yang berada di dalam toko semua berhamburan keluar mencari lapangan yang jauh dari toko dan tiang listrik, karena pas didepan toko bediri tiang listrik yang sudah sedikit miring ke jalan, dan semua orang di sekeliling saya tidak henti-hentinya menyebut asma allah dan aku melihat mami (bibi) kakak dari ayah saya yang lari ke dalam toko untuk memengang televisi supaya tidak jatuh ke lantai, sedangkan ibu aku terus memeluk kami untuk menenangkannya sedangkan Aba sambil mengendong Meutia berlari di dekat pohon kelapa dan berdiri di bawahnya dan tidak henti-henti mewasiatkan kepada kami untuk jangan tinggalkan shalat dengan berkata ”Bek Tuwoe Kasembahnyang Hai Aneuk ‘ bek tuwoe kasembahnyang hai aneuk “
Waktu itu saya menangis ketika mendengar kata-kata itu terus diucapkan sama Aba,dan saat aku berfirasat itu adalah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Aba dan ternyata itu benar setelah itu saya tidak pernah lagi mendengarnya.
Setelah gempa berhenti ibuku Salmiyati langsung naik becak dari Gle’u menuju ke Pasar Lamno bersama abang saya namanya Muzakir untuk belanja barang dapur, sedangkan tetangga berkumpul di depan toko, ada yang mengatakan rumah kak sana pondasinya masuk kedalam tanah, nenek saya mengungkapkannya tidak pernah merasakan dahsyatnya gempa selama hidupnya dan hati saya terus terganggu ketika tupai-tupai terus bersuara, dan bang marhaban yang baru saja pulang dari lhok maneh tempat di mana beliau tarik pukat dan bekerja sebangai nelayan, mengabarkan bakwa ie laot ka thoe (air laut sudah kering) nek mabit yang suaminya Harsan bin Hanifah (aml) sedang di laut langsung berteriak histeris,dan berlari menuju ke laut yang tidak jauh dari jalan tempat kami berdiri kira-kira 250 meter dan setelah itu saya tidak pernah melihatnya lagi bersama anaknya Irwandi.
Ternyata tidak sampai sepuluh menit datangnya kabar air laut kering, air laut sudah menerjang bibir pantai disaat itu aku masih sempat melihat bibi ros yang nama aslinya Rosnawati adik dari pada ibu saya berdiri didepan pintu rumah sambil mengendong anaknya, ternyata itu terakhir kalinya aku bisa melihat bibi dan si buah hatinya yang sangat tampan baru berusia setahun.
Sedangkan aba saya langsung ngambil langkah untuk lari ke tempat yang tinggi dan menyempatkan dirinya masuk ke dalam toko untuk mengambil sejumlah uang, aku melihatnya uang itu dimasukan ke dalam kantong baju,di pagi Minggu itu Aba mengenakan baju kaos berkerah yang berwarna abu-abu dan putih, belum jauh dari toko kami berlari aba kembali merangkul ibundanya di papah lari menuju ke gunung, dua ratus meter dari toko kami sampai di samping rumah saya dan di situ terdapat jalan dua arah kalau di gampong-gampong disebut dengan lorong dan ternyata di situlah Allah memisahkan aku dengan ayahanda tercinta dan Meutia yang sangat aku sayangi, sampai saat ini aku tidak menemukan kedua mayatnya.
Air laut terus membawa tubuhku hingga ke tengah sawah yang bagaikan lautan samudara, di dalam pusaran arus air laut aku menjumpai kawan yang namanya Munawir bin Husaini (aml) aku bersamanya terus mengumandangkan azan hingga kami mendekati sebuah pohon (bahasa Aceh namanya bak jaloh) dan mengajaknya untuk memanjat pohon itu,dan gelombang terakhir menghamtam pohon itu bersama tubuh kami sehingga terpisah dengannya dan aku sempat terrjepit beberapa saat hingga terlepas kembili, dan akhirnya aku bisa sampai di lereng gunung, tidak jauh dari situ aku melihat kumpulan sampah bercampur dahan pohon dan satu minggu kemudian aku mendapatkan kabar kalau dalam kumpulan sampah itu ditemukam mayat nenekku bersama saudara Aba dan beberapa warga kampung sudah tidak bernyawa lagi.
Dua minggu di tempat pengungsian SMA Lamno, hari Kamis 6 Januari aku dibawa kesebuah rumah ayahnya pak safrizal oleh relawan PKS dan BAZNAS untuk persiapan keberangkatan ke Banda Aceh untuk disekolah. Senin 10 Januari 2005 sekitar jam 09:15 kurang lebih aku diberangkatkannya ke Banda Aceh bersama 29 kawan-kawan yang lain.
Tiga minggu kemudian aku di sekolahkan di SMPN 7 Banda Aceh. Dan aku ditempatkan dikelas inti bersama abubakar, keesokan harinya Abubakar di pindahkan ke SMP Darul Imarah, sedangkan kawan-kawan yang lain di setiap kelas di tempatkan dua-dua orang seperti Mustafa sama Muhibbudin dan Syahrul Riza bersama Bukhari karena kami siswa pindahan ke sekolah tersebut.
Hari-hari terus berlalu kami menjalani tugas sebangai anak untuk menuntut ilmu. Hari ke empat di sekolah tersebut aku sudah mulai mengenal kawan2 satu kelas dan Popon yang mulai memperkenalkan bangaimana mengenal karakter siswa2 satu kelas. Mareka sangat dermawan setiap hari membeli jajan untukku walaupun aku malu menerimanya, seorang cewek aku lupa namanya karena Cuma satu bulan di sekolah tersebut. dia sangatlah baik hatinya secantik rupanya setiap hari memberikan sejumlah uang untukku walaupun aku sering menolaknya, tapi setiap hari dia memaksaku untuk tidak menolak uang darinya. Aku merasa berhutang budi kepadanya dan aku tidak tahu ada dimana dia sekarang? semoga yang maha kuasa mempertemukan aku dengannya walaupun hannya untuk mengucapkan terima kasih.
Setelah tamat SMP aku melanjutkan SMA di pesantren dayah Darul Hijrah Kuta Malaka Samahani Aceh Besar dan di pesantren aku mulai belajar kembali ilmu agama karena sebelumnya juga pernah belajar,seperti ilmu saraf,ilmu nawhu,hadist, bahasa arab dan inggris dan sebagainya yang diajarkan pesantren hingga aku selesai sekolah SMA .
Aku diterima kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta lewat jalur prestasi sehingga meringankan biaya kuliah 10% walaupun aku hingga saat ini masih dibiayai oleh donatur badan amil zakat nasianal (BAZNAS).
Salam buat mama, abang Muzakir yang setiap saat memberikan aku motivasi dan seluruh teman-teman di asrama putra di Merduati dan asrama cewek disamping mushalla Polda Aceh yang terus memberikan semangat.
Ruslan
Mahasiswa sekolah Teknologi Adisutjipto Yogyakarta
-------------------------------------------------------------
Kenangan dalam bentuk tulisan dapat dikirimkan ke email: kenangtsunami2612@serambinews.com beserta foto diri, keluarga, dan kerabat yang meninggal akibat tsunami. Tak terkecuali korban selamat (survivor) yang kini telah mampu bangkit menata kehidupannya kembali.