KAI
Bolehkan Berduaan dengan Tunangan?
Bersama ini, saya menyampaikan bahwa saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima
Pertanyaan
Bapak Pengangsuh yang mulia,
Assalamualaikum wr. wb.
Bersama ini, saya menyampaikan bahwa saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami mainkan musik.
Pertanyaan saya: Apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syariat yang berarti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara resmi pada Kantor Urusan Agama (KUA). Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.
M. Hasballah Usman
Aceh Utara.
Jawaban
Yth. Sdr M. Hasballah Usman,
Waalaikumussalam wr. wb.
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara’, bukanlah pernikahan atau perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kepada pernikahan.
Seluruh kitab kamus membedakan antara kata khitbah (melamar) dan zawaj (kawin); ataupun nikah (pernikahan). Adat kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; Demikian juga syariat membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan akad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Alquran telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber-’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis ‘iddah-nya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi sipelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara’, dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara’.
Selama akad nikah --dengan ijab dan kabul-- ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara’, maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara’, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewajiban memberi mahar kepada isterinya separuh harga.
Allah berfirman: “Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah...” (QS. Al-Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan wanita yang telah dipinangnya (membatalkan), baik setelah waktunya yang panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan atau denda keuangan, misalnya masalah emas caram dan sejenisnya, Dengan demikian jelas sekali bahwa haram bagi si peminang berbuat terhadap wanita pinangannya seperti yang diperbolehkan bagi orang yang telah melangsungkan akad nikah, misalnya berduaan/khalwat, kumpul serumah dan sejenisnya.
Karena itu, pengasuh menyarankan kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram.