Opini

Haji Mabrur ala 'Haji Uma'

DENGAN pemberangkatan jamaah calon haji (JCH) Aceh kloter terakhir ke Tanah Suci pada Selasa (2/10) lalu, usai sejenak kesibukan di Asrama

Editor: bakri
Oleh Muhammad Yakub Yahya

DENGAN pemberangkatan jamaah calon haji (JCH) Aceh kloter terakhir ke Tanah Suci pada Selasa (2/10) lalu, usai sejenak kesibukan di Asrama Haji, Banda Aceh, sampai kepulangan Kloter I, Insya Allah pada 31 Oktober depan. Walapun disebut kloter terakhir itu ‘kloter pelangi’, sebab sebanyak 320 orang ditambah lima petugas, JCH Kloter ke 12 berasal dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Namun tujuan tetap satu, tidak pelangi: haji mabrur. Mabrur juga kita doakan bagi JCH kloter-kloter lainnya, dan bagi haji/hajjah yang telah pulang tahun lalu.

Bicara soal haji mabrur, terkadang kita terkenang dengan ulah ‘Haji Uma’ --terserah kita menilai ini realitas sungguhan, atau hanya sebuah film belaka. Film komedi Aceh Eumpang Breueh hampir 10 serial, dan Yusniar terus ‘menari’, bersama ‘ayunan parang’ ayahnya, Haji Uma. Jika calhaj (calon haji) lelah dan disiplin ikut manasik haji, Haji Umar, padahal, sudah ‘haji’ tanpa usah manasik. Haji Uma ialah abunya Yusniar, si dara manis tunggal, calon istri Bang Joni. Beberapa bulan silam, ia telah menikah benaran di luar film, di alam nyata, tapi bukan dengan Bang Joni.

 Ciri haji mabrur
Bapak-bapak di Aceh biasa kita sapa, “pak haji” atau “teungku haji”, sepulang dari Tanah Haram. Juga kaum ibu, kita panggil, “bu hajjah” selesai ihram dan rukun haji lainnya. Ciri haji mabrur antara lain, tidak terlalu pusing, jika orang masih ingat, atau telah lupa pada kehajian kita. Artinya, orang panggil haji atau tidak gelar itu, kurang penting. Sesungguhnya gema talbiyah dan tatapan Baitullah telah mengecilkan asma lain, selain-Nya. Sehingga ada sebagian kita, kalau ada lakab haji dalam identitasnya, terasa membebani. Ada juga yang kurang syahdu, andai kita tidak memanggilnya haji, seperti Haji Umar. Belum sahih memanggilnya, jika bukan dengan itu.

Haji Umar, biasa saja kita panggil: Haji Uma. Seperti dalam keseharian, di antara haji dan hajjah pun, tidak menjadi ribut, jika kita menyapa dengan nama kecil saja. Kita lazim memanggil misal --bukan panggilan lengkapnya-- Haji Din, Haji Baka, Haji Him, Haji Lah, Haji Wan, Haji Asan, Haji Yakub, atau Pak Haji lainnya. Ada juga yang belum ke Makkah dan Madinah, karena namanya memang Hajidin, Hajiruddin, atau Samsul Haji misalnya, maka kita juga panggil “Pak Haji”.

Konon, saudara kita yang sering dipanggil haji, padahal hanya mengantar jamaah saban tahun, yang akrab dengan peci haji, mungkin akan segera juga menyahuti panggilan Nabi Ibrahim, ke Shafa dan Marwah. Dengan sering kita disapa haji, siapa tahu, itu juga bagian dari doa yang diamini malaikat. Kata-kata, panggilan, sebagaimana nama-nama indah kita yang diulang-ulang, adalah doa. Memakai kupiah haji bukan hanya milik jamaah haji. Mulia memang, sepulang haji, tidak mencopot peci hajinya, mengenakan kupiah haji sekaligus benar-benar berlaku seorang haji, saran Saudara kita, Muhibuddin Hanafiah, (Serambi, 6/1/2011). Juga jangan sampai melecehkan sang haji lain, gara-gara peci di kepala kita yang fasiq (bangsat). Kita biasakan menyandang peci haji, walau belum manasik. Busana sedikit banyak bisa membentingi kita. Mabrur juga ada di busana.

 Realitas sosial kita
Sejenak, seiring dengan kesunyian kloter terakhir di embarkasi Banda Aceh, mari kita bawa sosok Haji Uma --yang gagang kacamata kayak orang tua sebayanya -- itu, dari ruang film Aceh, ke tengah realitas sosial kita, yang sisi religiusitas barangkali sedang sakit. Di sini, izinkan saya meminjam tipologi Haji Uma sebentar. Dua entitas di sini: haji mabrur adalah standar nilai; sedangkan Haji Uma ialah satu sosok. Saya tak bermaksud bertengkar dengan Haji Uma --yang kadangkala beberapa sikapnya keras, mirip Umar bin Khattab sebelum Islam, atau dengan pemain lain dalam film yang sudah empat serial itu. Namun sembari nonton bareng, sambil tertawa, ada kawan iseng membisik, “Ék mabrur lageë Haji Uma?”

Tentu kita tidak habis pikir, jika Haji Uma itu potret haji yang sesungguhnya, bukan dalam film komedi. Namun di sisi lain, andai ia di luar film pun, itu satu fenomena dari teungku haji kita sekarang. Film itu representasi potret hidup sesungguhnya, walaupun kurang sedap dilakoni. Tulisan ringan ini hanya bermaksud menyapa jamaah haji. Bukan mau menghujat teungku haji. Sejelek-jelek haji, tetap mereka tamu Allah, yang kita hormati. Jadi kehadiran Haji Uma dengan kurang lebihnya, dalam komedi atau di luarnya, semisal ketegasannya, di tengah masyarakat yang batat sekarang, sangat perlu.

Temperamentalnya tinggi, cepat naik darah, kata-kata yang kureueng beureukat (kurang berkat), dan ke mana-mana membawa parang itu, memang menyesakkan dada kita lihat. Bahkan sama istri, mama Yusniar pun, jadi lawan. Haji Uma sayang sekali sama Yusniar. Walau kasar dengan orang kampung, Haji Umar masih lembut dengan putrinya. Jelas tak selembut dengan istrinya. Jodoh Yusniar, calon menantu pun, mesti selektif. Tidak sembarang laki-laki boleh ke rumah.

Di balik semua itu kita paham, Haji Uma seorang petani yang butuh parang. Kita sadar, sekarang butuh ketegasan untuk melindungi hak milik dari maling. Kita akui, pemuda nakal sekarang, kadang harus diusir dari rumah, saat apel, kecuali jika dia datang melamar, bersama orang tua kampung. “Kalau celana kotor, besok bawa kain,” itu satu dakwah buat pemuda, untuk jangan tinggal shalat. Haji Uma juga shalat. Haji mabrur tak tinggal shalat. Haji mabrur menjaga gaya dan gaul anaknya.

 ‘Haji Uma dilawan’
Haji Uma yang agak kurus itu, ada lawan di mana-mana, terutama dengan pemuda nakal yang naksir sama Dek Yusniar, mungkin juga dengan Batak. Kurang ramah, kecuali beberapa kali, misalnya dengan Encek dari Malaysia. Curiga dan terbawa fitnah. Dendam kesumat mengalir sepanjang film. “Ku peu abéh jih uroe nyoe,” atau “ngön lon, ngön Haji Uma dilawan,” ancam Haji Uma pada Kapluk dan Mando misalnya. Kata-katanya sedikit yang berkat, selebihnya marah dan cari perkara. Dengan ayam jadi lawan, main parang. Kalau mulut Haji Uma sakit, seakan sakit giginya belum pernah dirasakan oleh orang Jeunieb --lokasi syuting film-- itu. “Gigoe droe neueh lagèe gigoe honda,” ejek istrinya. Maka karena sering “balas pantun”, sama peureumoh pun kurang mesra (entah kalau di ranjang).

Kalau bukan dalam film, kita berani taruh, beberapa sikap Haji Umar, bukan haji mabrur yang layak ditonton anak-anak, yang bisa kita teladani. Namun yang satu ini, yang patut kita salut, walau Haji Uma yang naik darah itu sedang kalap, yakni untaian pantun Aceh atau nazam yang puitis sepanjang cerita. Dan sekali lagi kita mafhum, gaya Haji Uma itu mewakili gaya sebagian kita. Ada gaya nan islami atau yang belum.

* Muhammad Yakub Yahya, Direktur TPQ Baiturrahman, Banda Aceh. Email: m.yakubyahya@yahoo.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved