Serambi Kuliner

Keripik, Oleh-oleh Bireuen

"MANA keripiknya, masak dari Bireuen tidak bawa keripik." Itulah kalimat yang ditanyakan kepada warga Bireuen bila pergi ke daerah lain

Editor: bakri
Keripik, Oleh-oleh Bireuen - 240313_19.jpg
SERAMBI/YUSMANDIN IDRIS
Fitri seorang pedagang keripik di Cot Gapu Bireuen sedang melayani pembeli.
Keripik, Oleh-oleh Bireuen - 240313_20.jpg
Ridwan sedang menjual Nagasari Bireuen di kawasan terminal

Begitu juga sate Matang yang dijual di Keude Peusangan, rasanya cukup pas. Rasa seperti sekarang harus dipertahankan, karena saat ini banyak muncul sate-sate matang di tempat lain, tapi rasanya memang beda. Bumbu sate di Matang sekarang harus dijaga, sehingga cita rasa tidak berubah.
* Muazzinah BSc, Aktivis Perempuan di Bireuen.(yus)

Jaga Kualitas
KERIPIK dan nagasari di Bireuen memang sudah lama terkenal. Buktinya, hampir semua orang yang melintasi Bireuen pasti membeli keripik dan nagasari sebagai oleh-oleh. Karena sudah maju, kita berharap pembuat keripik dan makanan lain tetap menjaga kualitas barangnya. Karena, ada informasi di daerah lain karena sudah terkenal dan cepat laku, proses pembuatan makanannya mengabaikan mutu. Pemerintah harus mengontrol mutu produk tetap terjaga dan
* Afrizal Akmal
, Warga Banda Aceh.(yus)

Perlu Promosi
KERIPIK pisang dan beberapa jenis makanan ringan lain di Bireuen memang sudah dikenal luas. Namun, kebanyakan usaha kecil belum ditopang modal yang memadai. Sehingga ada usaha yang bertahan satu tahun, kemudian tidak kelihatan lagi. Jadi, pemerintah perlu melestarikan dan mempromosikan makanan khas itu ke luar daerah, dan bila perlu sampai ke luar negeri. Pemerintah juga harus melindungi dan mengawasi produk tersebut agar kualitasnya tetap terjaga dengan baik.
* Sri Wahyuni, Mahasiswa Universitas Almuslim Peusangan.(yus)

Sate Matang dan Rujak Cot Buket
SETIAP daerah punya makanan khas dengan cita rasa tersendiri. Di Bireuen juga ada makanan andalan, salah satunya sate Matang yang sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Makanan itu diberi nama sate matang karena awalnya sate iu dijual di keude Matanggeulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen.

Razali (55), pedagang sate matang di kawasan Desa Paya Meuneng, Peusangan, mengaku tak tahu persis siapa yang pertama menyajikan makanan dari daging lembu atau kambing yang ditusuk pada lidi dari bambu.

Ia sejak beberapa tahun lalu dipercayakan sebagai penananggung jawab warung nasi dengan menu utama sate matang. Ia bersama delapan pekerja lain membuka usaha itu 24 jam. Warung itu bernama “Sate Matang” terpampang jelas di pinggir jalan negara. Sate matang yang dikelolanya telah didaftarkan hak patennya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI pada Februari 2011 oleh dr Agusnaidi, seorang putra asli Peusangan.

“Sehingga makanan ini tak bisa lagi sembarang dijual atau ditiru oleh orang luar Aceh. Dengan hak paten itu, makanan khas tanah rencong ini akan tetap berkembang dan terjaga,” kata Razali.

Disebutkan, harga satu tusuk sate matang sesuai ketetapan semua pedagang di kawasan itu adalah Rp 2.500. Siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi atau teguran.

Selain di warung tersebut, sate mate juga dijual di hampir seluruh warung di Keude Matanggeulumpang Dua. Bahkan, kuliner asal Bireuen ini sudah dijual di setiap kabupaten/kota di seluruh Aceh, Medan dan bahkan Jakarta.  

Selain sate, Bireuen juga terkenal dengan rujak yang memiliki rasa yang cukup khas. Di Bireuen ada satu pondok rujak di Desa Cot Buket, Kecamatan Peusangan yang diberi nama “Andi Rujak Cot Buket.” Pondok rujak itu sudah cukup dikenal karena rasanya beda dengan rusak lain. Di tempat ini, setiap hari ratusan orang singgah untuk makan rujak, dan tak sedikit pula yang warga yang membeli rujak yang dibungkus untuk dibawa pulang.

“Enaknya rujak pada adanya kesesuaian bumbu terutama antara gula dan manisan. Begitu juga bahan lain termasuk buah-buahan yang harus selalu segar,” kata pengelola rujak itu, Mawardi (55).

Setiap hari, menurut Mawardi, pagi-pagi ada di antara pekerjanya yang membeli buah-buahan ke pasar. Lalu, sekitar pukul 10.00 WIB, buah-buahan itu dibersihkan. Sementara beberapa pekeja lain mengatur kursi dan menyapu pondok rujak itu. “Sekitar jam 11.00 kami sudah mulai jual rujaknya, kecuali hari Jumat baru kami buka usai shalat Jumat,” kata Mawardi.

Disebutkan, rujak itu dijual Rp 6.000 per piring. “Kalau hari-hari biasa omset penjualan rujak kami antara 1,7 juta sampai 2 juta rupiah per hari. Sedangkan hari-hari libur ada penambahan sedikit,” kata Mawardi yang ditemani Andi adik kandungnya dan sejumlah pekerja di pondok rujak itu.(yusmandin idris)

Aneka Makanan di Lokasi Kuliner
SELAIN aneka keripik, sate matang, dan rujak Cot Buket, Bireuen juga masih memiliki aneka makanan khas lain yang disajikan di sejumlah lokasi kuliner. Makanan itu antara lain mi kocok, bakso gatok, ayam penyet, ayam tangkap, nasi uduk, air tebu, dan sejumlah makanan lainnya.

Di Keude Gandapura misalnya, ada satu warung yang menjual mi kocok. Mi ini rasanya beda dengan mie kocok di daerah lain. Karena mi kocok Gandapura yang awalnya dikelola Ismail (almarhum) pada tahun 1990-an punya rasa yang spesifik. Kini, mi kocok Gandapura yang dikelola Jafar Ismail bersama Mustafa sudah dikenal luas.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved