Opini

Pentingkah Identitas Keistimewaan Aceh?

ACEH merupakan salah satu provinsi yang ditambal dengan sebutan daerah yang memiliki keistimewaan, keistimewaan ini telah kita dapatkan sejak

Editor: bakri
Oleh Subhaini Jakfar

ACEH merupakan salah satu provinsi yang ditambal dengan sebutan daerah yang memiliki keistimewaan, keistimewaan ini telah kita dapatkan sejak Aceh menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai daerah yang memiliki keistimewaan seharusnya kondisi kehidupan di Aceh sampai dengan saat ini lebih makmur dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Akan tetapi fakta berbanding terbalik dengan gelar yang disandangnya.

Hal inilah sebagai satu alasan dari beberapa alasan lainnya yang menyebabkan pergolakan di Aceh beberapa tahun yang silam, serta menjadi trauma tersendiri yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Selanjutnya secercah harapan untuk penghidupan yang lebih baik mulai dirasakan oleh rakyat Aceh, setelah adanya kesepakatan bersama antara GAM dan Pemerintah RI yang dituangkan dalam bentuk kesepahaman yang lebih dikenal dengan sebutan MoU Helsinki.

 Otonomi khusus
Aceh kembali bergairah dan bisa tersenyum kembali dimana kehidupan sebelumnya mencekam telah berubah menjadi kehidupan yang lebih nyaman, terlebih lagi dengan status otonomi khusus (Otsus) yang disandangnya serta pascapenandatanganan MoU Helsinki Aceh mendapatkan tambahan dana DAU selama 20 tahun ke depan (2007-2027). Dalam 15 tahun pertama, Aceh akan mendapatkan Dana Otsus sebesar 2% dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, dan 5 tahun berikutnya mendapatkan Dana Otsus sebesar 1% dari DAU Nasional.

Dana tersebut hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki kehidupan Aceh yang tertinggal dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia pascakonflik dan tsunami. Sebab, sejak penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 serta terhitung penerimaan tambahan DAU 2008, belum juga kita rasakan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan di Aceh.

Yang lebih dirasakan adalah kehidupan ketergantungan pada dana tambahan DAU dari tahun ke tahun yang ditunjukkan oleh semakin rendahnya PAD provinsi Aceh. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi apabila dana tersebut dihentikan atau habis pengalokasiannya pada 2027 nanti? Maka Aceh akan sama dengan provinsi-provinsi lainnya dan dicap tidak becus mengelola alokasi khusus tersebut dengan baik, serta status keistimewaan yang disandangnya tidak ada makna sama sekali.

Meminjam pernyataan beberapa tokoh di Aceh bahwa “saat ini Aceh belum membutuhkan Wali Nanggroe, bendera, dan lambang provinsi, akan tetapi pemerintah saat ini harus lebih fokus untuk menyejahterakan rakyat”. Secara eksplisit, saya setuju dengan pernyataan tersebut, akan tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman terdahulu, saya sedikit ragu apabila pemerintah saat ini tidak berpikir terhadap keberadaan Wali Nanggroe, bendera, dan lambang daerah itu.

Menurut saya pribadi ada beberapa alasan mengapa Wali Nanggroe, bendera dan lambang sebagai emblem yang harus menjadi fokus Pemerintah Aceh saat ini: Pertama, Wali Nanggroe, bendera, dan lambang merupakan marwah dari MoU Helsinki, dan bentuk nyata dari Provinsi Aceh sebagai daerah yang diistimewakan di dalam bingkai NKRI.

Status istimewa sebelum MoU Helsinki masih bersifat abstrak, dan sulit dilaksanakan. Sehingga status keistimewaan yang disandang Aceh saat itu tidak dapat dirasakan manfaat langsung oleh rakyat Aceh. Oleh karena itu sudah semestinyalah Pemerintah Aceh saat ini memperjuangkan emblem-emblem tersebut sebagai bentuk “identitas” keistimewaan Aceh dalam NKRI.

Kedua, keberadaan identitas tersebut di Atas menjadi patron yang jelas untuk pembangunan Aceh kedepan. Pengalaman terdahulu mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan yang hanya berorientasi untuk lima tahun ke depan (sesuai dengan masa pemerintahan  terpilih setiap pemilu atau pilkada) adalah tidak efektif, yang mana pembangunan yang dilaksana hanya sebagai bagian untuk merefleksikan diri pemerintahan terpilih untuk memenuhi janji-janjinya pada saat kampanye dan hal ini belum tentu akan dilaksanakan setelah dia terpilih.

Selanjutnya program-program kerja yang sudah disusun oleh pemerintahan sebelumnya akan belum tentu akan dilanjutkan oleh pemimpin terpilih kedepan. Sehingga penggunaan dana akan terasa tidak akan efektif untuk jangka panjang, seperti halnya penggunaan dana tambahan DAU 5 tahun sebelumnya hanya sedikit penggunaannya dapat dirasakan untuk jangka panjang, kesalahan bukan pada pemerintahannya akan tetapi kita tidak memiliki patron yang jelas pembangunan jangka panjang. Harapan dengan keberadaan identitas tersebut di atas, hal ini dapat mengakomodir pembangunan yang bekelanjutan, dimana keberadaan wali nanggroe yang berkelanjutan menjadi pengontrol arah kebijakan pembangunan Aceh setiap pergantian kepala daerah.

Ketiga, keberadan identitas tersebut sudah sangat terlambat dibandingkan umur MoU Helsinki, serta Pemerintah Aceh saat ini merupakan representasi golongan yang harus bertanggung jawab terhadap penggunaan anggaran dana tambahan DAU Aceh agar tepat sasaran untuk pembangunan Aceh sampai 2027, dengan alasan, alokasi dana tambahan tersebut diperoleh pascapenandatangan MoU Helsinki. Seharusnya arah pembangunan Aceh jangka panjang telah disusun sedini mungkin sejak ketersediaan dana tambahan DAU.

Merefleksi pada Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini, sangat disayangkan bahwa bagaimanapun pemerintahan saat ini berusaha untuk melaksanakan program menyejahterakan rakyat tetap saja masih ada anggapan dari rakyat Indonesia ada ketidakpuasan di mana-mana. Oleh karena itu saya pribadi tidak setuju dengan pernyataan beberapa tokoh Aceh jika pemerintah saat ini harus lebih fokus pada program menyejahterakan rakyat dan tidak harus memikirkan keberadaan Wali Nanggroe, Bendera, dan lambing Daerah.

 Amanat Mou Helsinki
Menurut hemat saya, pemerintah Aceh saat ini memiliki tanggung jawab yang besar yaitu selain dapat melaksanakan program-program pembangunan, juga harus merealisasikan keberadaan identitas-identitas tersebut sebagai amanah MoU Helsinki. Meskipun mungkin timbul sedikit kekecewaan seharusnya pelaksanaan turunan dari MoU Helsinki tuntas pada periode pemerintahan terdahulu, dan periode pemerintahan saat ini lebih fokus menjalankan program-program menyejahterakan rakyat dan tidak berkutat dengan soal Wali Nanggroe, bendera, dan lambang daerah.

Jadi, sudah seharusnyalah kita sebagai warga Aceh dan rakyat Indonesia mendukung Pemerintah Aceh untuk mengimplementasikan keistimewaan Aceh tersebut, dengan mengakomodir aspirasi seluruh elemen rakyat Aceh. Demikian juga kontrol dari rakyat sangat diperlukan dalam pelaksanaan keberadaan Wali Nanggroe, bendera, dan lambang daerah yaitu harus melalui prosedur yang benar agar tidak bertentangan dengan empat pilar berkehidupan berbangsa dan bernegara yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Semoga Aceh ke depan dapat menata kehidupan yang lebih baik lagi!

* Subhaini Jakfar, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), juga Pengasuh Matakuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Email: subhaini@yahoo.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved