Opini
Merah Putih ‘Puteng Tameh’
SUMPAH Pemuda 28 Oktober 1928 di Pegangsaan Timur Jakarta yang dihadiri oleh calon anak bangsa Indonesia dari berbagai
(Aplikasi Sumpah Pemuda 1928 di Aceh)
Oleh Ahmad Fauzi
SUMPAH Pemuda 28 Oktober 1928 di Pegangsaan Timur Jakarta yang dihadiri oleh calon anak bangsa Indonesia dari berbagai suku di Hindia Belanda. Bagi anak Aceh tidak selesai begitu saja pasca penutupan acara ikrar dimaksud sekaligus penurunan bendera Merah Putih karena dilarang polisi Belanda.
Putra Aceh dalam kapasitas anggota dan penyandang donor finansial tetap Jong Sumateranen Bond yang sempat menghadiri even tersebut, antara lain Teuku Nyak Arief, Teuku Chik Muhammad Thajeb Peureulak dan Teuku Muhammad Ali Panglima Polem melakukan inovasi beragam sesampainya mereka ke daerah asalnya masing-masing.
Bagi para aktivis Jong Sumateranen Bond asal Aceh itu, pasca Sumpah Pemuda yang berbunyi: “Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesa mengakue bertoempah darah jang satoe, Tanah air Indonesia. Kedoea, Kami Poetra dan Poetri Indonesa mengakue berbangsa jang satoe, bangsa Indoenesia. Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesa mejoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indoenesia” diaplikasikan beragam.
Kursus politik
Mereka yang tidak mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan Hindia Belanda, hanya melakukan pencerahan kepada anak hulubalang dan rakyat terpelajar, seperti Mr Muhammad Hasan sempat melakukan kursus politik di Sigli yang diikuti oleh Teuku Muhammad Daud Cumbok, Muhammad Hasan Tiro dan anak hulubalang lainnya di Pidie. Akibatnya ia dibuang secara licik ke Jawa. Sementara para hulubalang yang sempat memperoleh kedudukan strategis, mereka melakukan aplikasi melalui pendidikan dan kebijakan politik.
Teuku Chik Muhammad Thajeb Peureulak, anggota dan penyandang donor finansial tetap terbesar Jong Sumateranen Bond yang didirikan pada 1917, pasca-acara Sumpah Pemuda 28 Okober 1928 melakukan inovasi melalui pendirian sekolah berbasis nasionalisme Indonesia di Peureulak dengan nama HIS Poesaka, Beasiswa ‘Aceh Veregniging’ dari kompensasi hasil minyak Bataviche Petreleum Mij dan pergerakan organisasi nasionalisme Indonesia di Aceh dengan nama ‘Aceh Veregniging’.
Melalui sekolah tersebut, semangat Nasionalisme Indonesia di Aceh ditanamkan dan bahasa Indonesia diterapkan. Nasibnya tidak sama seperti Mr Muhammad Hasan yang dibuang ke Jawa secara paksa oleh Belanda pada 1930. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di Aceh sampai meninggal pada 1957 di Jakarta.
Sementara Teuku Nyak Arif, Panglima XXVI Mukim Aceh Besar, bersikap tegas menjadi penanggung jawab setia bagi pertumbuhan madrasah dan sekolah partikulir di wilayahnya dalam menghadapi tekanan Belanda bila mata pelajaran lembaga pendidikan itu dimasukkan materi nasionalime Indonesia dan penerapan bahasa Indonesia.
Sedangkan Teuku Muhammad Ali Panglima Polem, calon Panglima Sagi XXII Mukim Aceh Besar yang pernah menjadi anak didik langsung penganjur nasionalisme di Indonesia, seumpama Dr Katamso, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Abi Kusno, M Husni Thamrin, AK Gani dan Dokter Syamsi, aplikasi sumpah pemuda dilakukan dengan pendirian Makhad Iskandar Muda (MIM) di Lampakuk, Aceh Besar.
MIM Lampakuk menjadi penyandang dana serta penanggung jawab setia bagi pertumbuhan balai pengajian, madrasah dan sekolah partikulir di wilayahnya dalam menghadapi tekanan Belanda. Pada semua madrasah di wilayahnya ditekankan untuk dimasukkan mata pelajaran cinta tanah air dan bahasa Indonesia.
Gerakan nasionalisme Indonesia yang digerakkan oleh para aktifis Jong Sumateranen Bond dari Aceh kepada masyarakatnya secara rahasia adalah anjuran untuk meletakkan bendera merah putih ukuran 10 x 10 inchi di ujung tiang rumah (puteng tameh) sebelum peletakan kayu balok (bara) untuk penyangga kayu kasou (gaseu).
Kearifan itu dilakukan karena Belanda secara terang-terangan melarang rakyat menyimpan dan memasang bendera Merah Putih yang pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jihad di Jawa pada 1825-1830 dan acara Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Kearifan lokal
Akumulasi dari aplikasi kearifan lokal itu, rumah kayu di Aceh, baik yang berbentuk rumah panggung biasa maupun rumah adat Aceh yang dibuat pasca Sumpah Pemuda 1928 di kenegerian Peureulak, Sagi XXII dan Sagi XXVI Aceh Besar rata-rata diletakkan lembaran kain merah putih di setiap ujung tiangnya dalam acara ritual tepung tawar (peusijuek) pembuatan rumah baru.
Tradisi tersebut berkembang ke daerah lain di ujung barat Sumatera itu lewat pemimpin ritual tepung tawar dari ulama dayah yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).