Cerpen
Hari-hari Terakhir
SENIN yang memancarkan kehangatan dan tanpa hujan. Aurelio Escovar, seorang tukang gigi tanpa gelar dan rajin bangun pagi
Kiranya sebuah gigi geraham bawah. Tukang gigi itu melebarkan kaki dan mencengkam gigi itu dengan gunting tang yang panas. Mayor mencengkeram pegangan kursi, menekan kakinya sekuat tenaga, dan merasa kehampaan yang dingin di ginjalnya, tapi tak mengeluarkan suara. Tukang gigi itu hanya menggerakkan pergelangan tangan. Tanpa rasa dendam, melainkan dengan kelembutan yang pahit, ia berkata:
“Sekarang kau akan membayar harga untuk dua puluh orang kami yang mati.”
Mayor merasakan kegentingan pada tulang rahangnya. Airmatanya menetes. Tapi dia tidak bernafas hingga ia merasa gigi benar-benar telah tercabut. Kemudian ia melihatnya melalui genangan air matanya. Rasanya aneh saat ia tahu bahwa dia gagal memahami siksaan lima malam sebelumnya.
Ia membungkuk ke arah tempolong, berkeringat, terengah-engah, ia membuka baju dan meraih sapu tangan di saku celananya. Dokter gigi itu memberinya sehelai kain bersih.
“Hapus air matamu,” ia berkata.
Mayor melakukannya. Ia menggigil. Sementara Tukang gigi mencuci tangannya, ia melihat langit-langit yang seakan-akan runtuh, dan sarang laba-laba berdebu, telurnya, dan serangga-serangga yang mati. Tukang gigi itu berbalik, mengeringkan tangannya. “Istirahatlah,” katanya. “Dan berkumur-kumur dengan air garam.” Mayor berdiri, mengucapkan selamat tinggal dengan hormat khas militer. Ia berjalan menuju pintu, merenggangkan kakinya, tanpa menutup habis jubahnya.
“Kirimkan tagihannya” ia berkata.
“Untukmu atau untuk kota ini?”
Mayor itu tidak memandangnya. Dia menutup pintu dan berkata di balik sekat:
“Itu sama jahanamnya!”
*Gabriel García Márquez adalah sastrawan, jurnalis dan aktivis politik kelahiran Aracataca, Kolombia. Dalam sastra ia dianggap pelopor aliran realisme magis. Pada 1982 ia meraih nobel bidang sastra. Cerpen ini diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris oleh Putra Hidayatullah, seorang penulis esai dan cerita pendek.