Cerpen

Tenun Sutra Pemerintahan Aceh

Seniman dalam pandangan segelap apa pun merupakan sosok penting dalam kehidupan

Editor: hasyim

Jadi berdasarkan kondisi tukang tenun, kesenian bagi penguasa di Aceh tidak lebih sebagai gengsi, upacara dan sarana penyampaian pesan-pesan moral dan keagamaan. Kesenian benar-benar sebagai alat. Alat untuk status (sanggar-sanggar pendopo), alat untuk hiburan (semata memperoleh uang), dan untuk pesan. Ketika krisis politik (perang) terjadi, kesenian dijadikan alat pengalihan perasaan tertekan, propoganda, di lain pihak sebagai pelipur lara saat bencana tsunami melanda Aceh.

 Haram
Kesenian yang baik tidak hanya memberi penyegaran kepada masyarakat penonton, tapi juga memberi pencerahan dan pencerdasan. Keseimbangan antara tiga pilar, logika, etika dan estetika. Akan tetapi,  kesenian seperti yang diharapkan itu sedikit sekali tercipta, itu pun tidak diminati(dipahami) masyarakat, karena memang persepsi masyarakat terhadap seni semata sebagai hiburan.

Ketika pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran kesenian—anggarannya kalah jauh dengan masalah yang dihadapi dunia kesenian—mudah diduga tujuannya bukan untuk menyelesaikan masalah. Kesenian tetap terpuruk bagaikan penderita lepra.  

Bagian inilah yang perlu ditegaskan ulang, apabila sesuatu itu tidak memberi manfaat bagi kehidupan, lebih besar mudarat ketimbang manfaat, sesuatu itu seharunya dinyatakan berbahaya. Dalam bahasa agama, haram hukumnya. Apabila kesenian dengan berbagai dilema yang dihadapinya tidak memberi manfaat bagi kehidupan di Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sudah saatnya mengeluarkan fatwa bahwa kesenian itu haram!

*din saja, penyair dan esais.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved