Cerpen
Lolos dari Maut
Suatu ketika, setelah bercakap-cakap tentang seni dengan seorang kawannya, Amalfitano menceritakan satu kisah
Karya Roberto Bolaño
Suatu ketika, setelah bercakap-cakap tentang seni dengan seorang kawannya, Amalfitano menceritakan satu kisah yang pernah didengarnya di Barcelona. Kisah itu tentang seorang sorche, prajurit baru, di Divisi Biru Tentara Spanyol yang bertempur dalam Perang Dunia Kedua melawan Pasukan Utara Jerman di Front Rusia, tepatnya di sekitar Novgorod.
Serdadu baru itu berasal dari Sevilla. Dia bertubuh kecil, bermata biru, dan sekurus tongkat penggaruk. Sedikit-banyak akibat kecelakaan, ia terdampar di Rusia. Dan di sana, karena beberapa alasan, seseorang mulai memanggilnya sorche: Ke sini, sorche! Sorche, kerjakan ini, bereskan itu! Maka, kata itu pun tertanam di kepala si serdadu baru.
Namun, di bagian gelap kepalanya dan di tempat terpencil itu, seiring berlalunya waktu dan kepanikan sehari-hari, kata sorche itu beralih menjadi chanter yang artinya pemimpin nyanyian di sinagog Yahudi. Aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Sebut saja beberapa kabel di kepalanya yang tak digunakan sejak masa kecilnya telah diaktifkan, yakni ingatan-ingatan menyenangkan yang telah lama menunggu kesempatan untuk muncul kembali.
Maka, si lelaki Andalusia itu berpikir tentang dirinya sebagai seorang pemandu nyanyian walaupun dia tak punya pikiran sadar tentang apa makna kata itu sesungguhnya dan tak paham bahwa kata itu terkait dengan koor di rumah ibadah. Namun, dan ini sungguh luar biasa, dengan berpikir bahwa dirinya seorang pemandu nyanyian, dia pun berhasil mengubah dirinya menjadi seorang pemandu nyanyian. Pada musim dingin yang dahsyat pada 1941, dia memimpin paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu Natal saat pasukan Rusia menggempur Resimen ke-250. Dia mengingat hari-hari itu sebagai saat yang sangat gaduh (terdengar suara bising yang teredam dan terus-menerus) dan dipenuhi kegembiraan yang samar dan diam-diam. Mereka bernyanyi, tapi seakan-akan suara nyanyian itu terdengar lebih lambat ketimbang gerakan mulut, tenggorokan, dan mata para penyanyi koor, yang dalam perjalanan singkat mereka yang ganjil kerap seperti terpeleset ke dalam semacam palung yang hening.
Si Andalusia itu melaksanakan tugas-tugasnya yang lain dengan keberanian dan kepasrahan walaupun, seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa sedih.
Tak lama dia pun harus menunaikan tugasnya yang berkaitan dengan pertumpahan darah. Suatu sore dia terluka, sedikit-banyak akibat kecelakaan, dan terpaksa menghabiskan dua minggu di sebuah rumah sakit di Riga, Latvia, di bawah perawatan perempuan-perempuan Jerman yang tegap dan murah senyum, yang menjadi perawat demi Reich. Mereka tak percaya warna bola mata lelaki itu. Ada pula beberapa perawat buruk rupa dari Spanyol.
Saat dia dilepas, kebingungan melanda si Andalusia: alih-alih memberinya tiket ke jurusan yang benar, mereka mengirimnya ke barak batalion SS sejauh 200 mil dari resimennya. Di sana, di antara orang-orang Jerman, Austria, Latvia, Lithuania, Denmark, Norwegia, dan Swedia, yang semuanya lebih tinggi dan lebih kuat darinya, dia mencoba menjelaskan kebingungannya dalam bahasa Jerman yang kacau-balau. Namun, perwira SS mengusirnya. Mereka lalu memberinya sebuah sapu dan menyuruhnya menyapu barak itu. Setelahnya, mereka memberinya ember dan kain gombal untuk membersihkan lantai luas bangunan kayu persegi panjang tempat mereka menahan, menginterogasi, dan menyiksa para tawanan.
Tak menyerah terhadap nasibnya, tapi melaksanakan tugas-tugas barunya dengan penuh kesadaran, si Andalusia menyaksikan waktu berlalu di barak barunya, tempat dia bisa makan lebih baik daripada sebelumnya dan terhindar dari bahaya karena batalion SS itu ditempatkan di balik garis perbatasan untuk bertempur melawan apa yang mereka sebut “para perusuh”.
Lalu, di bagian gelap kepalanya, kata sorche itu pun kembali terngiang. Aku ini seorang sorche, katanya, serdadu baru, dan aku harus menerima takdirku. Sedikit demi sedikit, kata chanter lenyap walaupun pada beberapa senja, di bawah langit tak terbatas yang mengharu-birunya dengan nostalgia pada Sevilla, kata itu masih bergema sesekali, di suatu tempat, lenyap di antah-berantah. Suatu kali dia mendengar beberapa tentara Jerman bernyanyi dan dia pun teringat kata chanter itu. Saat lain, seorang pemuda bernyanyi di balik belukar dan kembali dia teringat kata itu, kali ini dengan lebih jelas, tapi ketika dia berjalan mengitar ke balik belukar, pemuda itu telah pergi.
Pada suatu hari yang cerah, apa yang ditakdirkan terjadi pun terjadilah. Barak batalion SS itu diserang dan dikuasai oleh resimen kavaleri Rusia, tapi beberapa orang menyatakan para penyerbu itu sekelompok partisan. Pertempuran hanya berlangsung singkat dan sejak awal para tentara Jerman sudah berada pada posisi yang tak menguntungkan.
Sejam kemudian orang-orang Rusia menemukan si Andalusia bersembunyi di gedung persegi panjang, mengenakan seragam SS dan dikelilingi bukti-bukti kekejaman yang pernah dilakukan di ruangan itu tak berapa lama sebelumnya. Tertangkap basah, begitulah kira-kira istilahnya. Mereka mengikatnya pada salah satu kursi yang biasa digunakan SS untuk menginterogasi, dengan pengikat kaki dan lengan.
Untuk setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya dalam bahasa Rusia, dia menjawabnya dengan bahasa Spanyol yang menyatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa dan hanyalah seorang anak bawang di tempat itu. Dia juga berusaha mengatakan hal itu dalam bahasa Jerman, tapi sesungguhnya dia nyaris tak tahu apa pun dalam bahasa itu selain empat kata yang tak dipahami oleh para interogatornya.
Setelah sejenak dihujani tamparan dan tendangan, mereka pergi untuk mencari seseorang yang paham bahasa Jerman dan sedang menginterogasi orang lain di sel lain gedung persegi panjang itu. Sebelum mereka kembali, si Andalusia mendengar suara tembakan dan paham mereka membunuh beberapa tentara SS. Itu membuatnya kehilangan harapan untuk dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Namun, ketika suara tembakan berhenti, ia kembali mendekap asa kehidupan dengan setiap serat jiwanya.
Serdadu Rusia yang paham bahasa Jerman bertanya kepadanya apa yang dilakukannya di situ, apa tugasnya, dan apa pangkatnya. Si Andalusia berusaha menjelaskan dalam bahasa Jerman, tapi sia-sia. Lalu, si Rusia membuka mulut si Andalusia, dan dengan tang yang biasa digunakan tentara Jerman untuk menjepit anggota tubuh lain, mereka mulai menarik dan menjepit lidahnya. Rasa sakit membuat matanya membeliak berurai air mata dan dia mengatakan, atau lebih tepatnya memekikkan, kata coño, makian Andalusia yang berarti kemaluan wanita. Tentara Rusia yang memegang tang di mulut si Andalusia salah mendengar kata seruan yang terlontar dengan suara melolong itu sebagai Kunst.