Cerpen
Jumawi
SEJAK kecil aku dipanggil Jumawi. Tidak ada istimewanya nama itu. Entah sejak kapan aku bisa bermain sulap
Glek. Pemimpin? Apakah yang dia maksud adalah pria kelelawar itu?
“Aku tidak pernah membunuh orang,” aku membela diri.
“Tapi kau membunuh binatang yang awalnya adalah orang!”
Astaga. Aku mulai menggigil. Suara besarnya membuat jantungku menyusut sedemikian rupa. Nafasku seperti disedot paksa.
“Kau harus dihukum mati!”
“Aku mohon tuan. Jangan bunuh aku. Aku akan melakukan apapun yang tuan mau,” aku memelas, sampai-sampai menjilati sepatunya.
Akhirnya aku pun dikeluarkan dari penjara. Aku diberikan ruangan besar dengan kasur dan meja yang di atasnya ada beragam makanan yang tidak pernah aku lihat. Kau tahu kenapa aku diberikan seperti ini? Karena aku berjanji akan mengubahnya pula menjadi binatang apapun yang ia mau. Ternyata pria besar itu juga haus kekuasaan. Sekian lama bersanding dengan pria kelelawar dan menyimpan keinginan nista. Dia munafik.
Aku meminta waktu kepada pria besar itu sebelum ia kuubah menjadi binatang. Aku beralasan bahwa aku harus memulihkan kekuatanku agar bisa mengubah orang menjadi binatang lagi. Aku juga telah mengatakan kepadanya kalau setiap yang aku ubah, tidak berapa lama kemudian akan mati. Dan ia mengiyakan itu. Aneh kan? Untuk apa dia menjadi binatang kalau ujung-ujungnya akan mati juga.
Maka tibalah hari penyulapan pria besar itu. Ia mengundang semua binatang hadir untuk bisa menyaksikannya berubah menjadi seekor binatang. Ia minta untuk diubah menjadi seekor singa. Baiklah, itu cocok dengan tubuh besarnya. Walau aku sampai detik ini belum tahu bagaimana caranya menyulap orang. Semua yang pernah aku sulap selalu saja tiba-tiba. Tanpa mantera atau apapun. Entah kenapa hari ini aku malah gugup. Aku takut salah menyulap. Bagaimana jika ia bukan berubah menjadi seekor singa? Bagaimana jika kali ini aku gagal?
Sorak-sorai penonton yang mayoritas binatang benar-benar membuat acara ini spektakuler. Sahut menyahut terdengar namaku dielu-elukan. Aku disediakan sebuah panggung, dengan dikelilingi kursi penonton. Dan pria besar itu sejak tadi duduk di singgasananya, yang dulu sempat diduduki pria kelelawar.
“Keluarlah Jumawi dan sulaplah aku menjadi seekor singa!”
Pria besar itu telah memanggilku, yang artinya aku harus segera keluar dan harus mengubahnya menjadi seekor singa. Oh tuhan kali ini tolonglah aku.
Maka akupun berjalan keluar ruangan menuju panggung. Bunga-bunga dilempar-lempar ke udara menyemarakkan kedatanganku. Aku masih bingung. Apa hebatnya menjadi seekor binatang? Tahu apa mereka hidup menjadi binatang?
Aku berhenti tepat di hadapan pria besar itu. Menunduk takzim, lalu memintanya untuk duduk bersimpuh di hadapanku. Ketika ia melakukannya, suasana panggung menjadi hening. Semua penonton terdiam mencoba menyaksikan adegan sulap ini dengan khidmat. Aku pun berputar-putar sambil membacakan mantera, agar terkesan hebat dan mantap. Aku memercikkan air ke arah pria besar itu dan berteriak keras ke angkasa, lalu menunjuknya dengan sebatang kayu.
“Jadilah kau singa!”