Cerpen
Nazar
LARAS hampir lupa kapan pertama kalinya kudis bersarang di tubuhnya
Karya Vera Hastuti
LARAS hampir lupa kapan pertama kalinya kudis bersarang di tubuhnya.Yang diingatnya, kudis itu berawal dari gatal-gatal kecil dan kemudian berubah serupa pulau yang melebar. Pertama kali muncul di kaki lalu merambat ke tangan dan akhirnya ke seluruh tubuhnya.
Setiap hari Dasimah, ibunya, menyiapkan obat ramuan. Pada kudis-kudis kecil itu Dasimah menempelkan berbagai rupa ramuan. Tapi jangankan berkurang, kudis itu malah semakin melebar.
Awalnya, Banta, Kakek Laras, mengantarkan Laras kesekolah. Menungguinya pulang sekolah. Dia ingin cucu semata wayangnya tetap bersekolah walaupun berkudis.
Hingga suatu sore, tangis Banta pecah. Dia mengutuki keadaan Laras. Bukan karena ia merasa lelah mengendong Laras ke sekolah dengan jarak bermil-mil jauhnya dan seringkali membuat nafasnya putus. Tapi, sore itu dia melihat kondisi Laras kian parah. Banta hanya bisa terisak menyaksikan tubuh mungil Laras berbalut daun pisang karena kulitnya tak dapat lagi disentuh, bahkan oleh kain. Lalu dia menjerit. Andai bisa, biarlah dia yang memikul penderitaan cucunya.
Dasimah menghawatirkam keadaan Laras dengan sepenuh jiwa. Di wajahnya yang masih tersimpan sisa kecantikan masa lalu, tetesanair matakerap mengalir tanpa jeda. Harta benda peninggalan mendiang suaminya pun telah habis dijual satu per satu membiayai pengobatan anaknya.
Malam itu ketika hembusan anginmelambaikan ilalang yang bertiup pelan dan warna hitam semakin pekat di kaki langit, Dasimah baru saja melaksanakan tahajud. Dasimah memeluk erat Laras dalam dekapannya. Tubuh mungil gadisnya itu kian kurus. Binar mata yang dulu begitu ceria kini begitu lesu. Lingkar hitam di seputar bola matanya kian tampak membiru. Sesekali igauannya tendengar begitu pilu menahan kesakitan. Tetes embun bening mengalir meliuk-liuk mengalir di pipinya. Dalam diam Dasimah berdoa untuk kesembuhan Laras. Di angit titik-titikcahaya bintang mulai redup.
“Sudah putus asakah engkau mengobati Laras?” Suara Abdul, suaminya, terdengar jelas ditelinganya.
Dasimah terkejut. Telah lama ia tak pernah lagi mendengar suara itu. “Abang kan sudah meninggal?”
Abdul hanya diam menatap Dasimah dengan raut muka serius.
“Aku telah mengupayakan semampuku, Bang.Telah kami kunjungi tempat pengobatan terbaik. Telah kami datangi tabib-tabib yang disarankan setiap orang.”
“Itu salahku. Dulu aku pernah bernazar untuk anak kita.”
“Nazar apa, Bang?” Dasimah mengernyitkan dahinya.
“Aku,” kata Abdul.”Bernazar, jika nanti kita mempunyai anak,aku sendiri yang akan menyembelihkan kambing aqiqahnya.”
“Abang meninggal sebelum Laras lahir. Dan seingatku ayahlah yang menyembelih aqiqahnya.”Dasimah berusaha keras mengingat kembali kenangan lima tahun lalu.