Cerpen

Hari-hari tanpa Tuhan

Aku pikir hujan masih akan turun. Tapi, sumpah serapah musafir tua yang mengaku utusan Tuhan itu jauh lebih benar

Editor: bakri

“Maksud anda, air akan bercucuran dari langit?” tanya salah seorang.

“Ya, itu benar,” mendengar uraiannya, kami semua tak sanggup menahan geli hati lalu tergelak sampai lupa diri. Kami anggap topik tentang hujan itu sangat konyol dan tidak masuk akal. Dengan wajah geram, kulihat mulutnya komat-kamit dan sekonyong-konyong cuaca menjadi gelap. Awan-awan berkumpul menaungi negeri kami, segara apa yang dikatakannya terjadi. Rintik-rintik air mulai turun dari langit menyebabkan semua orang panik dan lari ketakutan karena seumur hidup belum pernah menyaksikan apa yang dinamakan oleh musafir tua ini sebagai ‘hujan’.

“Ah, dasar kalian semua pandir! Kalian tidak perlu risau. Ini hanya air, tapi jauh lebih baik dibanding yang selalu kalian perebutkan. Ayo cepat, sediakan semua wadah yang bisa kalian jadikan penampung curahan air hujan ini.” Semua orang menurutinya. Orang-orang lalu membawa timba, baskom, drum, gayung serta menadahkan semua benda cekung lain agar dapat diisi oleh air hujan itu. Semakin lama, hujan semakin deras dan menggenangi semua wadah. Dalam ketakjubannya, salah seorang menyanjung musafir tua itu, “Hebat Tuan. Engkau berkuasa menciptakan hujan ini.”

“Kau tidak perlu memujiku. Bukan aku yang menurunkan hujan ini, akan tetapi Tuhan.”

“Tuhan? Hal macam apa lagi itu?” tanya seseorang.

“Kalian sungguh tidak tahu Tuhan?  Dia adalah satu-satunya alasanmu untuk hidup dan memegang kuasa penuh atas kehidupanmu.”

“Dimana Dia sekarang?”

“Dia ada dimana-mana.”

“Memangnya Tuhan ada berapa?”

“Tuhan hanya satu, tapi dia bisa melakukan apa saja. Kau tak perlu heran mendengarnya.” Lantas kami semua lagi-lagi tertawa mendengar kata musafir tua itu. Bagi kami, Tuhan jauh lebih konyol dan aneh dibandingkan hujan. Ejekan dan cemoohan tiada henti muncrat dari mulut kami. Karena merasa terhina, musafir tua itu mengamuk.

“Kalian ini sudah keterlaluan. Terkutuklah karena kalian telah menghujat Tuhan. Aku akan memberi kalian jangka waktu seminggu. Apabila dalam seminggu itu kalian masih belum mempercayai-Nya, aku pastikan hujan tidak akan pernah menyentuh tanah ini lagi, dan kalian terus-menerus menjadi kaum sesat yang tega membunuh saudaranya hanya demi setetes air. Aku bersumpah untuk itu!” Lalu musafir tua itu pergi dan salah seorang dari kami yang masih belum bisa menahan cekikikannya bertanya.

“Memangnya kau siapa tuan? Apakah kau seorang utusan Tuhan?” kata-kata itu disusul dengan gelak tawa kami yang lebih heboh lagi.

“Ya. Aku utusan Tuhan, tapi aku tidak diutus untuk memperbaiki kekacauan kalian. Aku percaya, kelak akan ada seorang tua yang mengenalkan kalian semua pada Tuhan, tapi dia bukan aku. Mulai saat itulah, hujan akan turun kembali di negeri ini.” lalu musafir tua itu hengkang dari pandangan kami dan sejak hari itu dia tidak pernah muncul lagi. Karena dalam tenggat waktu yang diberikannya semua orang tidak peduli. Tepat tujuh hari dan hujan benar-benar berhenti.

***

“Celaka, apa yang dikatakan oleh musafir tua itu benar. Lihatlah, hujan tidak turun lagi,” keluh seseorang. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya yang lain.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved