Cerpen

Hari-hari tanpa Tuhan

Aku pikir hujan masih akan turun. Tapi, sumpah serapah musafir tua yang mengaku utusan Tuhan itu jauh lebih benar

Editor: bakri

“Kita harus mencari Tuhan,” desis seseorang lain. “Tapi dimana kita akan mencarinya?” tanya yang lain lagi.

“Bukankah kata musafir tua itu Tuhan ada di mana-mana?” sahut seseorang.

“Ayo kita mencarinya,” lalu semua orang berteriak memanggil Tuhan. Kami mencari di tengah hutan, di dalam gua, dia atas genting, di bawah batu, bahkan ada yang mencari-Nya di kolong tempat tidur dan tong sampah. Tapi kami tidak menemukan Tuhan dan Tuhan pun tidak menyahuti panggilan kami. Setelah beberapa hari berlalu, kami benar-benar putus asa dan menyerah. Maka kami semua setuju agar kembali kepada kehidupan lama saja untuk saling bersaing menimba air dari sumur itu.

Bahkan setelah sangat lama, barulah sebagian dari kami mengingat bahwa musafir tua itu pernah berkata kelak  datang seorang tua yang mengenalkan kami pada Tuhan. Kami memutuskan untuk menunggu kehadiran orang yang dijanjikan itu, tapi setiap musafir yang lewat di negeri ini mengakui sama sekali tidak mengenal Tuhan.

***

Aku sudah lama menua. Orang-orang yang menyaksikan hujan beberapa tahun lalu juga banyak yang sudah meninggal. Cerita tentang hujan itu kini menjadi sejarah yang didongengkan kepada anak cucu kami. Semua orang tidak sanggup lagi terlalu lama menunggu kehadiran orang tua yang dijanjikan itu dan penerus kami menganggap hujan itu hanya kebohongan. Sejak tetesan terakhirnya menyentuh tanah ini, sebenarnya aku telah memutuskan untuk mencari Tuhan sendirian. Namun malangnya, baru sekarang aku terkenang kembali pada apa yang pernah diucapkan oleh musafir tua itu. Katanya Tuhan itu adalah satu-satunya alasan kita untuk hidup dan memegang kuasa penuh atas kehidupan kita. Aku merasa harus menegaskan kembali kepada semua orang tentang makna kalimat itu. Disetiap sisi dan sudut tempat yang kukunjungi, aku selalu berkhotbah untuk mengulang kembali gagasan tentang Tuhan pada semua orang. Kusampaikan seperti yang dikatakan musafir tua itu, akan tetapi lebih sederhana: ‘Tuhan adalah apa yang kita butuhkan’. Maka orang-orang yang biasanya keras kepala itu, kali ini menyetujui pendapatku. Mereka mulai menjadikan apapun yang terpenting bagi hidupnya sebagai Tuhan. Ada yang menjadikan rumah, pakaian, makanan, tanah, perhiasan, hewan peliharaan, matahari, bahkan musafir yang tak sengaja lewat dan sumur tua itu mereka anggap sebagai Tuhan. Kini kami mulai menyadari bahwa Tuhan memang ada di mana-mana dan sudah sejak lama memberikan kehidupan kepada kami. Hari-hari tanpa Tuhan yang selama ini kami warisi secara turun-temurun, perlahan sudah bisa kami perbaiki. Beberapa hari kemudian negeri kami dinaungi awan gelap. Sudah sangat lama sejak hari itu, akhirnya hujan kembali turun di negeri kami. Semua orang menadahkan apa saja untuk menampung air hujan. Dan seseorang berkata kepadaku di tengah-tengah kegembiraan yang tak terlupakan ini.

“Kau adalah orang tua yang dijanjikan itu, Bung!” Aku sudah tahu nubuat itu memang ditujukan padaku. Meskipun semua orang menerjemahkan kata-kataku secara harfiah, ‘bahwa Tuhan adalah apa yang kita butuhkan’, bagiku bukan hanya sekedar itu, akan tetapi Tuhan juga sumber dari apa yang kita inginkan, karena Dia benar-benar ada.

* Aceh, 11 Desember 2013

* Nanda Winar Sagita, kelahiran Takengon, 24 Agustus 1994. Tinggal di Banda Aceh.

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved