Opini
Tamu Allah
JAMAAH haji adalah tamu-tamu Allah yang mulia sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw
Oleh Gustin Hanafi
JAMAAH haji adalah tamu-tamu Allah yang mulia sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw: “Orang yang mengerjakan haji dan umrah merupakan tamu Allah, maka jika mereka bermohon kepadaNya, pastilah dikabulkanNya, dan jika mereka memohon ampunan pasti diampuniNya.”
Oleh karena itu, haji bukan sebuah wisata dan juga bukan perjalanan biasa karena membutuhkan usaha yang tidak mudah. Maka tidak heran ketika jamaah berangkat ke Tanah Suci dilepas oleh keluarga, handai tolan, pejabat setempat dengan penuh khidmat dan penuh haru. Bahkan, ada yang melaksanakan acara seremonial seperti peusijuek, kenduri, dan lain-lain.
Untuk itu, kita patut mengucapkan selamat jalan kepada setiap jamaah yang akan menunaikan ibadah haji, dan kita menyampaikan pesan dini agama “luruskan niat” agar terbebas dari berbagai macam penyakit, seperti riya (pamer diri) atau sum`ah (ingin populer), misalnya pergi berhaji untuk mencari popularitas dengan sebutan haji atau hajjah.
Hindari maksiat
Di Tanah Suci terdapat berbagai tempat istimewa, seperti Kakbah yang mengarah ke segala arah. Hal ini melambangkan bahwa Allah berada di segala arah, Dia Maha Melihat, Maha Mengetahui apa yang hambaNya kerjakan. Oleh karena itu hindari maksiat walaupun berada di tempat tertutup sekalipun yang tidak diketahui oleh orang lain seperti korupsi, penipuan, perselingkuhan, perzinaan, hilangkan rasa iri, dengki dan lain-lain.
Mungkin di dunia kita bisa saja terbebas dari hukuman dan sanksi karena kepiawaian kita dalam berargumentasi dan menghilangkan alat bukti. Tetapi di yaumil mahsyar kelak semua rekaman amal kita yang sebenarnya akan diperlihatkan oleh yang Maha Kuasa.
Di Tanah Suci juga terdapat berbagai ritual yang sarat makna dan penuh hikmah. Misalnya, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa yang melambangkan status sosial seseorang seperti pangkat, golongan, gelar akademik, profesi, dan lain-lain. Lalu, mengenakan pakaian ihram sebagai simbol bahwa seperti inilah kondisi kita nanti menghadap Allah Swt. Semua yang kita miliki akan kita tinggalkan, kecuali kain putih yang dibawa mati.
Dengan demikian, seseorang akan menyadari persamaan antara sesama manusia yang berimplikasi terhadap kepribadiannya, tidak akan merasa superior terhadap orang lain, tidak memaksakan kehendak, egois, berbuat semena-mena, tidak cepat tersinggung, apalagi marah. Tetapi yang lahir adalah kelembutan dan kasih sayang antara sesama, baik sesama kolega, atasan dengan bawahan, suami-istri, dan lain-lain karena menyadari betul akan kelemahannya di hadapan Allah.
Kemudian, dalam kondisi berihram ada beberapa larangan yang harus diindahkan, misalnya tidak boleh berbuat rafast (hubungan suami-isteri), fasik dan berbantah-bantahan. Tidak boleh menyakiti, menganiaya, menumpahkan darah, menghilangkan nyawa orang lain, menyakiti binatang, mencabut pepohonan.
Larangan tersebut mempunyai makna yang sangat dalam, tidak boleh menyakiti antarsesama, tetapi harus saling menghargai dan menghormati sebagaimana sebuah ungkapan: “Kalau tidak dapat memberikan manfaat buat org lain, maka jangan sampai mencelakakannya. Kalau tidak bisa memberikannya rasa gembira, maka jangan meresahkannya. Kalau tidak bisa memujinya, maka jangan mencelanya.”
Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap peserta haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula birahi, dan bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masing-masing menyadari jati dirinya ketika menghadap Tuhan kelak sebagaimana apa adanya.
Kemudian dilarang menyakiti binatang dan mencabut pohon, tetapi menjaga ekosistem dan kelestariannya alam. Hal ini mengindikasikan bahwa kita sebagai makhluk Allah harus menjaga hubungan baik dengan makhluk lainnya. Terkadang kita mudah kesal dan marah kalau ada hewan milik orang lain masuk ke ladang kita, dengan spontan menyakiti dan menganiaya hewan tersebut. Padahal, Islam menuntut kita untuk menyayangi binatang, sedangkan yang salah adalah pemiliknya karena tidak bertanggung jawab.
Kita terkadang terlalu rakus dan tamak, sehingga tidak peduli dengan alam sekitar, melakukan penambangan secara liar, perambahan hutan, pencemaran lingkungan, membunuh bintang yang tak berdosa. Sehingga patut dipertanyakan kualiatas keimanan kita yang sesungguhnya, karena Allah Swt menyuruh kita untuk berbuat baik kepada seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini.
Dalam ibadah haji juga dikenal sa‘i dari Bukit Shafa dan berakhir di Bukit Marwa. Shafa arti harfiahnya adalah kesucian dan ketegaran, sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran. Marwa yang berarti ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain. Sa‘i juga menggambarkan bahwa tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin.
Islam mengecam keras terhadap orang yang menghabiskan waktunya secara sia-sia yang hanya mengharapkan turunnya hujan dari langit. Oleh karena itu, harus berusaha, tidak berpangku tangan, tidak mengemis dan mudah putus asa. Tidak memperjualbelikan barang yang haram, apalagi memperdagangkan dan melacurkan manusia dengan dalih karena sulit mendapatkan pekerjaan.
Pengetahuan sejati
Kemudian, wukuf di Arafah, tempat untuk menemukan ma‘rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini. Wukuf juga menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, jangan tumbuhkan sifat eksklusif dan senioritas, tetapi berbaur dan menyatu dengan masyarakat sekitar, saling bertegur-sapa dan menghargai.
Haji mabrur ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di Tanah Suci, sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari. Apakah sekembalinya dari Tanah Suci, masih ada keangkuhan di dalam jiwa? Masih terasa adanya perbedaan derajat kemanusiaan? Masih ingin menang sendiri dan menindas orang lain?
Menangis mengingat dosa hanya dilakukan pada saat berada di Tanah Suci. Tak lama setelah kembali ke negeri sendiri, kembali tertawa-tawa sembari mengerjakan dosa lagi. Kalau ritual ibadah haji tidak membekas dalam diri kita berarti kita masih mengenakan pakaian biasa. Semoga setiap diri kita berusaha mengikis penyakit-penyakit yang bisa menggerogoti ibadah haji. Wallahu a‘lam.
* Dr. H. Agustin Hanafi, M.A., Ketua Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |