Serambi MIHRAB
Menangkal Aliran Sempalan di Aceh
Guna memperkuat akidah umat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh merekomendasikan agar mata pelajaran
BANDA ACEH - Guna memperkuat akidah umat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh merekomendasikan agar mata pelajaran Tauhid dan Akhlak dimasukkan dalam kurikulum pada tiap jenjang pendidikan di Aceh. Hal ini dimaksudkan untuk menangkal masuk dan berkembangnya aliran-aliran sempalan di Aceh.
Kepala Sekretariat MPU Aceh, Saifuddin Puteh MM, kepada Serambi, Kamis (30/10) mengatakan, rekomendasi tersebut merupakan hasil rumusan Seminar Nadwah/Muhabasah Ilmiah yang digelar MPU Aceh pada 29-30 Oktober lalu, di Gedung Serbaguna Tgk H Abdullah Ujong Rimba MPU Aceh, Jalan Soekorano-Hatta, Lampeuneuruet, Aceh Besar.
Selain kurikulum pelajaran Tauhid dan Akhlak, sebut Saifuddin, pemerintah Aceh dan kabupaten/kota juga harus kembali menguatkan lembaga adat gampong dengan memperkuat reusam gampong. Sebab hal tersebut merupakan pertahanan akidah umat yang berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah.
Menurut Saifuddin, sejak dulu masyarakat Aceh dikenal sangat religius dan taat dalam menjalankan nilai-nilai agama, adat istiadat dan budaya Islami dalam segala aspek kehidupannya. “Namun saat ini, telah terjadi pergeseran nilai dengan munculnya berbagai problema di bidang akidah, syariah dan akhlak,” katanya.
Fenomena tersebut, lanjut Saifuddin, dikhawatirkan akan merusak nilai-nilai agama di tengah kehidupan masyarakat Aceh, terutama generasi mudanya. “Karena itulah, MPU Aceh merasa perlu menggelar Seminar Nadwah/Muhabasah Ilmiah dan berhasil merumuskan sejumlah rekomendasi, yang diharapkan bisa menjadi rujukan bagi masyarakat dan pemerintah Aceh dalam upaya mencegah dan menanggulangi penyimpangan akidah, termasuk menangkal dan mengantisipasi masuk dan berkembangnya aliran sempalan di Aceh,” ujarnya.
Seminar yang diikuti 80 peserta dari unsur MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota di Aceh ini dibuka oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Menghadirkan enam pemateri, yaitu Prof Dr H Abdullah Syah MA (Ketua MUI Sumatera Utara), Prof Dr H Syamsul Bahri Khatib (Ketua MUI Sumatera Barat), Prof Dr Tgk H Muslim Ibrahim (Wakil Ketua MPU Aceh), Prof Dr H Syahrizal Abbas MA (Kadis Syariat Islam Aceh), Prof Dr H Darwis A Soelaiman MA (Guru Besar Unsyiah), dan Dr H Aslam Nur MA (Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh).
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Zaini Abdullah juga turut menyampaikan sambutannya yang kemudian dijadikan sebagai satu aspek pertimbagan lahirnya rekomendasi oleh tim perumus yang terdiri dari Dr Tgk HA Gani Isa SH MAg (sebagai ketua), dan empat anggota masing-masing Tgk H Ilyas Mustawa, Tgk H Asnawi Abdullah MA, Drs Tgk H M Jamil Ibrahim MH, dan Tgk Tarmizi M Daud MAg.
Dalam makalahnya berjudul “Faktor Penyebab Munculnya Aliran Sempalan di Aceh”, Prof Dr Muslim Ibrahim MA mendefinisikan aliran sempalan sebagai aliran yang menganut paham sesat, yang berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah dan kriterianya tercantum dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 04 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.
Akhir akhir ini, sebut Muslim Ibrahim, di Aceh memang Aliran Sesat tumbuh dengan agak subur, seperti aliran Laduni di Desa Beuragang dan Meunasah Rambot, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat; Millatta Abraham, di Peusangan, Bireuen, yang konon pada waktu telah berhasil merekrut 700 orang pengikutnya di seluruh Aceh; aliran Ahmad Arifin yang tumbuh di Aceh Tenggara pada 1978 yang meyakini bahwa alam raya sudah ada sebelum adanya Allah; Ma’rifatullah pimpinan Ilman Lubis di Simeulue pada 1982, yang sempat merembes ke Banda Aceh; aliran Wujudiyah (bersatu dengan Allah), yang mengajarkan fana fillah (musnah dalam Allah) dan anal al-haq (akulah tuhan); dan lain lain banyak lagi.
Menurutnya, ada banyak faktor yang menjadi penyebab lahirnya berbagai aliran yang dikategorikan sesat. Pertama, akibat kelainan jiwa karena stres. Kondisi ini muncul, disebabkan pencarian sesuatu tanpa ilmu dan bimbingan dari guru. Sehingga tidak memiliki pegangan yang jelas dalam melihat sesuatu kebenaran apakah datangnya dari Allah atau dari jin maupun setan.
Kedua, pengaruh materi karena faktor ekonomi. “Demi mempertahankan hidup, seseorang yang ilmu agamanya tidak memadai sangat rentan mengikuti aliran sesat, apalagi diiming-iming dengan berbagai kekayaan,” kata Muslim Ibrahim.
Ketiga, adanya intervensi asing terlihat dari bantuan-bantuan yang dikucurkan untuk LSM di Indonesia dan Aceh, sehingga mereka bisa menyewa kantor, mendirikan ratusan pemancar radio, majalah, dan mencetak buku-buku. Pihak asing memiliki kekhawatiran munculnya khilafah Islamiyah.
Keempat, puberitas keagamaan, yaitu semangat keberagamaan yang berlebihan. Biasanya terdapat pada orang dalam proses pencarian jati diri. Kelima, muatan berpikir seseorang tentang Islam yang minim sehingga mengklaim bahwa ajaran Islam tidak benar.
Keenam, ketertarikan pada paham baru. Biasanya sering muncul di kalangan sarjana-sarjana Islam. Terutama paham liberalisme yang sudah ada di 17 kampus di Indonesia. Ketujuh, kejahilan terhadap agama yaitu umumnya orang-orang yang mengaku Islam. Tapi tidak pernah mendapat pendidikan dan bimbingan agama dari keluarganya, sehingga tidak mengetahui masalah agama yang mendalam.
“Dari beberapa faktor tersebut, saya dapat menarik benang merah bahwa pada dasarnya terdapat hal-hal yang lebih mendasar sehingga aliran sesat yang ada di Indonesia dan Aceh bermunculan. Yaitu keadaan masyarakat yang tidak memadai baik dalam pengetahuan agama, dan hal ekonomi atau lainya,” jelas Muslim Ibrahim yang juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu.