Opini
Menjaga Giok Aceh Tetap Bergiwang
PARA pencinta batu alam tentu sering mengucapkan kata giwang untuk mengungkapkan keindahan batu cincinnya itu
Oleh Rahmad Nuthihar
PARA pencinta batu alam tentu sering mengucapkan kata giwang untuk mengungkapkan keindahan batu cincinnya itu. Bahkan pembeli rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan batu cincin yang bergiwang. Lalu, apa makna kata giwang sebenarnya dalam bahasa Indonesia? Secara leksikal makna giwang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah; (1) siput mutiara (2) kerabu ataupun subang (2008:491). Pemakaian prefiks (imbuhan) “ber” pada bentuk dasar giwang bermakna bersubang. Makna dalam KBBI ternyata juga sama halnya dengan makna giwang yang terdapat dalam Kamus Bahasa Aceh berarti; keurabu, subang (Basry, 1994:289).
Sementara itu, Alumni Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, program studi ilmu sastra bidang kajian utama linguistik (dosen FKIP Unsyiah) Azwardi SPd MHum, mendefinisikan giwang adalah “Penampakan bias kilau dinamis yang mengapung di permukaan batu akik jenis tertentu, seperti giok solar, solar madu, dan lavender, biasanya berwarna hitam keabuan,” tulisnya dalam akun sosial facebook.
Dalam tulisan ini saya tidaklah membahas ihwal bahasa, melainkan kepopuleran batu alam yang kini menghipnotis warga Aceh. Berangkat dari persoalan tersebut, kenyataan yang terjadi saat ini adalah warga Banda Aceh dan sekitarnya sedang dilanda ‘demam batu alam’. Hal ini dibuktikan dengan maraknya para penjual batu cincin, pengasah batu, dan gemstone (toko batu mulia) yang bertebaran di tiap pelosok kota Banda Aceh. Tempat-tempat keramaian kini disulap menjadi area “pasar kaget”. Menjual batu ataupun berprofesi sebagai pengasah batu menjadi pekerjaan yang begitu menjanjikan untuk saat ini. Mengapa tidak, masyarakat Aceh terus terhipnotis untuk melingkari jemarinya dengan cincin bermata batu alam, batu mulia, ataupun akik.
Batu cincin berkelas
Pemerintah Aceh pun merespons baik ketertarikan masyarakat di provinsi paling barat Pulau Sumatera dengan mengadakan acara Atjeh Batee Festival (kontes batu alam). Tentunya acara yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang bekerja sama dengan Hotel Hermes Palace Banda Aceh dan Serambi Indonesia, tidak lain adalah untuk mempromosikan secara Nasional potensi batu alam yang dimiliki oleh Aceh.
Selain itu, Atjeh Batte Festival terselenggara untuk menjawab keinginan masyarakat Aceh untuk mendapatkan batu cincin yang berkelas. Antusias warga Banda Aceh dan sekitar, amatan penulis terlihat begitu ramai sejak Atjeh Batte Festival dibuka langsung oleh Wakil Gubernur Aceh H Muzakir Manaf pada Senin (3/2) dan berlangsung hingga Minggu (8/2) mendatang.
Mantan Kepala Kepolisian Daerah Aceh (Kapolda) Irjen Pol Iskandar Hasan, pada 2012 silam pernah menggalakkan program penanaman buah naga. Tanaman tersebut nantinya diharapkan menjadi alternatif untuk meminimalisir penanaman, sekaligus peredaran ganja di Aceh. Selain itu, hal ini bertujuan agar sebagian warga Aceh yang selama ini nekat menanam ganja, bisa menggantikannya dengan tanaman naga karena harga jual buah ini juga bernilai tinggi (Serambi, 14/2/2012).
Namun hal ini cenderung kurang diminati oleh masyarakat karena beberapa faktor di antaranya adalah proses pemanenan yang membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, kepopuleran batu alam seperti giok, cempaka, dan akik dengan variannya masing-masing mampu memikat masyarakat Aceh dengan tempo yang singkat. Masyarakat di kawasan pegunungan pun seperti di Nagan Raya kini beramai-ramai menjadi penambang giok.
Hal ini dilakoni oleh warga sempat mengingat keuntungan yang didapatkan oleh pemilik bongkahan ditawarkan jutaan rupiah oleh pembeli para penampung ataupun pembeli. Harga giok tersebut akan terus melambung bila telah berbentuk menjadi asesoris seperti gelang, liontin, batu cincin, dsb. Sekilas, untuk giok yang berkualitas dapat dilihat berdasarkan giwangnya. Akan tetapi standar mutu batu yang dinilai, antara lain warna, kilat, tingkat kejernihan, giwang, dan tingkat kekerasan (Serambi, 14/12/2014). Untuk mengetahui tingkat kekerasan diperlukan uji-coba yang lebih spesifik melalui uji laboratorium.
Daya pikat giok yang begitu membahana ke luar daerah membuat beberapa oknum terbuai untuk membuat giok tiruan (palsu). Hal tersebut dikecam keras oleh Gabungan Pencinta Batu Alam (GaPBA). “Ini merupakan langkah mundur dan penghancuran karakter terhadap upaya-upaya yang telah dirintis oleh Pengurus GaPBA Aceh untuk menjaga keaslian batu Aceh serta meningkatkan prestise para pebisnis batu Aceh yang tergabung dalam GaPBA,” ungkap Ketua Umum GaPBA Aceh, Nasrul Sufi SSos MM (Serambi, 20/1/2015).
Memperketat perizinan
Di sini kita mengharapkan pemerintah agar memperketat proses perizinan outlet gemstone di Aceh. Boleh saja batu tiruan tersebut dijual, akan tetapi tempat penjualannya terpisah dari tempat penjualan batu asli. Serta memberitahukan kepada pembeli bahwa batu tersebut batu tiruan. Karena pada intinya tidak semua masyarakat Aceh memiliki uang yang cukup untuk membeli batu cincin dengan harga selangit. Batu tiruan tersebut khususnya diperuntukkan bagi masyarakat yang ekonomi kelas bawah.
Selanjutnya, gemstone yang terdapat di Banda Aceh haruslah ditata dengan rapi serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum terutama lokasi parkir. Sejauh ini gemstone yang terdapat di Uleelheue kerap menimbulkan kemacetan akibat tidak tersedianya lokasi parkir yang memadai. Begitu juga dengan stok batu alam yang ditawarkan, haruslah benar-benar tersedia (ready stock) agar menghindari kekecewaan pembeli. Hal ini disebabkan batu alam telah menjadi magnet wisatawan untuk berkunjung ke Aceh serta membuka lapangan kerja baru.
Terakhir, saya pun berharap kepopuleran batu alam yang berasal dari Aceh yakni giok, cempaka, dan akik dengan variannya masing-masing mampu menghilangkan pertanyaan miris yang ditujukan kepada pendatang baru khusunya masyarakat Aceh saat mendatangi provinsi lainnya. Pertanyaan: “Ada bawa ganja dari Aceh?” seiring berjalan waktu saya berharap berganti menjadi: “Berapa giok yang kamu bawa?” ataupun “Mana oleh-oleh giok dari Aceh?”
Dengan hal ini tentulah kita akan bangga menjadi masyarakat Aceh dengan potensi giok yang melimpah terdapat di Aceh. Kiranya batu alam yang terdapat di Aceh menjadi berkah bagi kita semua. Selain itu, tambanglah batu alam tersebut dengan cara bijak tanpa merusak alam dan mengundang bencana karena keserakahan kita. Semoga!
Rahmad Nuthihar, Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: rahmad.nuthihar@gmail.com