Cerpen
Buumm
Tiba-tiba, gampong kami kembali menggelegar. Dentuman seperti itu sudah lama tak terdengar
Karya Sulaiman Tripa
Tiba-tiba, gampong kami kembali menggelegar. Dentuman seperti itu sudah lama tak terdengar lagi. Bahkan suara seperti itu sudah demikian asing di telinga. Bunyi yang telah lama sunyi.
Tapi kini, suara itu kembali terdengar. Suara yang keras, dengan getaran yang juga memberi kami ketakutan. Buumm. Lalu teriakan histeris menyusul. Darah mengalir di tanah hingga basah. Percikan luka bertebaran. Orang-orang berusaha memungutnya satu demi satu.
Tak juga harus menunggu terlalu lama seperti dulu. Pada zaman perang, begitu terdengar bunyi-bunyian secorak ledakan petasan, kami biasanya harus tiarap sejenak. Bila seusai bunyi-bunyian ada razia pasukan, kami juga harus menghindar sejenak. Bukan apa-apa, karena untuk menghindari ada tembakan nyasar, imbas dari bertemunya dua atau lebih kelompok bersenjata.
Pada saat perang sedang berkecamuk, tak ada tempat untuk meminta pertanggung jawaban. Apalagi pada peluru yang akhirnya bersarang di tubuh manusia, sama sekali tidak ada identitas untuk melihat dari mana asal mula. Orang-orang yang bersimbah darah akan menunggu beberapa lama, ketika bunyi-bunyian usai, baru tubuh mereka akan diangkat.
Ketika sudah reda, kami masih harus menghadapi berbagai kemungkinan. Termasuk orang yang bersimbah darah, tentu saja. Bila mereka masih bernafas, akan kami bawa ke rumah sehat. Tapi bila sudah tak bernafas, akan dibiarkan dulu beberapa saat. Biasanya selalu ada pemeriksaan identitas terlebih dahulu.
Kini, zaman perang sudah berlalu. Yang kami hadapi adalah alat-alat yang dulu digunakan untuk berperang dan masih bertebaran. Alat-alat itulah yang meletus sewaktu-waktu.
Letusan yang terakhir, menggelegar. Beda dengan waktu dulu. Ketika ada letusan kami akan tiarap. Namun kini bila ada letusan, sebagian orang akan keluar rumah mencari sumber suara.
***
Dentuman ini sudah yang ke delapan kalinya. Selalu saja ada korban. Paling tidak dua atau tiga orang. Dengan jelas tampak berdarah-darah.
Alat perang itu meletus saat dua remaja tanggung menemukan segumpal besi yang berkarat tanah. Mereka masih sempat bercanda saat itu.
“Berapa ya kalau kita jual ke tukang beli besi?” tanya Subari.
“Mungkin Rp 200,” jawab Jubir.
“Hanya Rp 200 sajakah?”
“Ya, memang segitu. Kecuali bila kau mau curi baja di bawah jembatan, harganya pasti mahal.”