Cerpen

Buumm

Tiba-tiba, gampong kami kembali menggelegar. Dentuman seperti itu sudah lama tak terdengar

Editor: bakri

Paduan warna karatan yang dibungkus tanah, memperlihatkan corak yang indah serupa warna emas. Tak sabar mereka ingin membagi dua. Mereka tak peduli harus mengorbankan parang untuk membelah besi sebesar gumpalan itu.

Jubir juga tak berkata apa-apa. Padahal tadinya ia yang melarang Subari mengetok-ngetok, biar bentuknya tidak cacat sedikit pun. Namun ketika Subari mengutarakan niatnya untuk membagi dua, sepertinya Jubir juga sudah membayangkan dapat segumpal emas. Barangkali saat itu ia juga sudah berpikir akan membeli sesuatu dari hasil menjual emas itu.

Besi segumpal lalu ditaruhnya di atas sepokok pohon. Masih sempat pula Subari berkata, “Nanti kalau mata parangnya pecah, kamu harus bantu bawa ke pandai besi di Simpang.”

“Beres,” sambung Jubir, cepat.

Parang diayunkan, bersamaan dengan tangan kiri yang melepaskan pegangan besi segumpal. Blass. Sekeping besi terlempar. Mata parang tampak terbanting. Warna aslinya sebenarnya sudah tampak. Bagian yang sudah terkena parang terkelupas, dan tampak warna besi.

Tangan Subari kembali meraih besi segumpal. Jubir memunggunginya untuk meraih kepingan yang terkelupas. Parang diayunkan lagi. Kali ini, persis mengenai bagian tengahnya. Namun besi segumpal itu tak juga terbelah. Dan, bersamaan dengan itu, gampong menggelegar. Buuumm.

***

Orang-orang gampong langsung mencari-cari sumber suara. Tidak semua orang gampong. Karena sebagian berpikir ada orang usil yang sedang bermain petasan. Tapi sebagian yang lain bisa membedakan bunyi petasan dan bunyi ledakan yang lain. Makanya begitu letusan terjadi, ada orang yang langsung membayangkan siapa yang sudah menjadi korban.

Cukup lama orang gampong tak menemukan yang mereka cari. Sampai empat atau lima jam. Tubuh yang bersimbah darah ditemukan orang yang baru pulang dari ladang. Potongan parang dan baju adalah bagian pertama yang terlihat. Peladang itu langsung memberhentikan sepedanya dan menjenguk ke pinggir jalan. Dua tubuh telungkup yang saling berpelukan berada di sana. Sudah tak ada nafas.

Secepat kilat ia mengayuh sepedanya ke warung kopi samping sungai dan memberitahukan kepada orang-orang di sana. Tapi hanya dua atau tiga yang bergerak. Yang lainnya tidak percaya.

Orang yang belum pernah mencari sumber suara, pasti mengira ada yang bermain-main dengan petasan.

***

Kondisi tubuh benar-benar rencam. Lubang-lubang kecil bertabur di sekujur. Mulai dari kaki hingga kepala. Dari lubang-lubang kecil itu masih mengeluarkan darah yang pekat.

Dua tubuh itu tak lagi di bawa ke puskesmas. Mereka langsung dibawa pulang ke rumah. Bahkan tidak ada niat lagi dari keluarganya untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam lubang-lubang kecil itu.

Orang tua mereka gelisah bila dibawa ke puskesmas, tubuh anak mereka akan dibedah lagi untuk melihat ada apa di dalam lubang-lubang kecil itu. Sedangkan lubang-lubang sangat banyak jumlahnya. Mereka sepasrah itu sudah!

* Sulaiman Tripa, dosen Fakultas Hukum Unsyiah. Aktif di Lapena. Pernah bergiat di Dewan Kesenian Banda Aceh. Pernah ikut Ubud & Writer Festival dan Majelis Sastra Asia Tenggara.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved