Breaking News

Opini

Perempuan dan Jam Malam

INSTRUKSI pemerintah tentang pembatasan jam malam bagi perempuan kini menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat

Editor: hasyim

Oleh Asmaul Husna

INSTRUKSI pemerintah tentang pembatasan jam malam bagi perempuan kini menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Tidak hanya menjadi pemberitaan di Aceh, tapi nasional pun menaruh perhatian khusus terhadap isu tersebut. Pro-kontra terjadi. Pemerintah hadir dengan dalihnya untuk melindungi perempuan. Sebagian lainnya meneriakkan itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Gayung pun bersambut. Instruksi gubernur tersebut kemudian diadaptasi langsung oleh Walikota Banda Aceh dengan menelurkan peraturan bahwa perempuan tidak boleh bekerja di atas jam 23.00 WIB. Seperti biasa, isu sensitif seperti ini langsung menuai respon dengan cepat. Di dunia maya kemudian muncul slogan  “#BandaAcehMasukAkal”. Muncul berbagai pendapat. Mulai dari yang setuju, keberatan, sampai respons dengan sindiran satir untuk menanggapi instruksi tersebut.

Seperti komentar berikut yang saya kutip dari satu jamaah facebook, bahwa “Terkait instruksi pembatasan jam malam bagi perempuan jangan terlalu dibesar-besarkan. Aceh tahu bagaimana cara menjaga perempuannya. Syariat harus ditegakkan.” Namun di sudut lain juga ada yang menyindir satir bahwa, “Demi tegaknya syariat Islam di Banda Aceh, setelah kebijakan jam malam, saya usulkan pemko Banda Aceh agar melarang warga bepergian dengan kendaraan bermotor dan segera menggantinya dengan unta dan kuda. Karena pada masa nabi tidak ada yang naik motor”. Duh!

 Membaca persoalan
Melindungi perempuan dan menegakkan syariat Islam secara kaffah. Itulah alasan mengapa pemerintah mengeluarkan instruksi tersebut. Jika itu tujuannya, secara pribadi saya menghargai niat baik pemerintah yang ingin melindungi perempuan. Apalagi saat ini kasus-kasus pelecehan seksual begitu marak terjadi. Dan itu tidak hanya mengintai perempuan dewasa, tapi juga mensasar anak-anak. Pemangku kebijakan melihat instruksi tersebut sesuai dengan kearifan lokal Aceh yang kental dengan budaya islami.

Dalam budaya patriarkhi, perempuan kelayapan di malam hari dianggap kurang baik karena dapat membahayakan keselamatan dirinya. Selain itu, konstruksi sosial juga menempatkan demikian. Perempuan yang menyalahi aturan, nakal, dan sederet gambaran buruk lainnya melekat pada wajah kaum hawa ketika ia melawan konstruksi yang terbentuk tersebut. Perempuan harus dijaga dalam palung keadaban budaya yang kemudian menjadikannya sebagai kaum terhormat. Begitulah gambaran yang selama ini terpatri.

Namun di sudut lain, instruksi tersebut kemudian memicu kontroversi karena dianggap melanggar HAM. “Banyak hal lain yang lebih penting untuk diurus pemerintah selain hanya membatasi jam keluar malam bagi perempuan. Bukan begitu caranya melindungi perempuan.” Begitulah suara-suara yang terdengar menggema ketika instruksi tersebut digelindingkan ke publik. Suara penolakan itu akan terus diteriakkan selama melihat keadilan belum bersanding dengan perempuan.

Dalam hal ini, kita perlu menyikapinya secara bijak. Saya paham, pemerintah mungkin memang punya niat baik untuk melindungi perempuan, terutama menjaganya dari kasus-kasus pelecehan seksual. Namun jika pemerintah benar-benar ingin melindungi perempuan, tidaklah cukup dengan hanya membatasi perempuan. Selama ini kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan berserakan di depan mata. Menurut catatan tahunan yang di-launching oleh Balai Syura bahkan menyebutkan bahwa pada 2013 ada 42 kasus kekerasan seksual dengan rentang usia 6-18 tahun. Sedangkan pada 2014 tercatat 52 kasus yang sama terjadi pada usia 26-40 tahun (Serambi, 27/3/2015).

Menilik tingginya angka kekerasan tersebut, apa yang salah selama ini? Mengapa hal itu bisa terjadi di tanah yang disebut-sebut negeri syariat itu? Apakah itu sepenuhnya terjadi semata-mata karena perempuan keluar malam, sedangkan kenyataannya ada anak kecil yang menjadi korban pelecehan seksual yang pelakunya adalah keluarga sendiri? Hanya kaum hawakah pelanggar syariat? Di mana posisi kaum adam sebagai pelaku kekerasan? Apakah mereka dianggap tidak ikut andil dalam terjadinya permasalahan tersebut?

 Melindungi perempuan
Jika ditanya, apakah saya keberatan atau merasa terganggu dengan instruksi tersebut? Maka jawabnya tidak. Karena saya memang tidak keluar malam, kecuali mempunyai kepentingan dan itu pun pergi bersama keluarga. Sama ketika Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan himbauan tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan. Saya juga tidak merasa terganggu karena saya memang tidak duduk mengangkang di atas boncengan sepeda motor. Dan saya nyaman dengan semua peraturan tak tertulis itu, bahkan sebelum pemerintah mengeluarkan instruksi tersebut.

Hanya saja bagi perempuan yang bekerja malam ini tentu akan menjadi persoalan. Jika ditanyakan apakah perempuan memang lebih suka bekerja di malam hari? Tidak. Tetapi mereka hanya tidak punya pilihan. Jika boleh memilih, perempuan tentu lebih suka bisa berkumpul bersama keluarganya daripada harus bekerja malam hari. Tetapi sayang, tidak semua dapur bisa mengepulkan asap tanpa perjuangan keras. Mungkin sebagian lagi asap dapur hanya akan mengepul dengan mengorbankan waktu istirahatnya. Beda jika pemerintah bersedia untuk mengepulkan asap dapur tersebut.

Untuk membicarakan hal sensitif seperti ini memang harus hati-hati. Karena salah-salah kita bisa dianggap sebagai peruntuh syariat. Tidak bermaksud seperti itu. Saya paham, kebijakan Walikota Banda Aceh yang membatasi jam kerja sampai pukul 23.00 bagi perempuan dimaksudkan untuk menjaga agar tidak ada lagi yang mempekerjakan perempuan sampai dini hari. Karena memang bukan kewajiban kaum hawa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Namun mari kita lihat persoalan ini dalam kacamata yang lebih bijak. Jika pemerintah ingin melindungi kaum hawa, maka hal penting lain yang juga menuntut perhatian adalah perlunya melindungi perempuan dari ancaman kekerasan. Usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM. Pelaku perlu dihukum tegas sebelum kelakuannya merajam kehidupan manusia lainnya. Karena tidak elok jika hanya mengikat perempuan, sedangkan pelakunya dibiarkan melenggang tanpa peraturan dan tidak terjamah hukum. Syariat tidak bisa ditegakkan dengan hanya membatasi satu pihak. Niat melindungi perempuan harus berjalan bersisian.

Sekali lagi, saya tidak sedang menguburkan budaya bersyariat. Tidak juga menuntut agar perempuan bisa keluar malam tanpa manfaat di dalamnya. Saya paham bahwa perempuan memang harus pandai menjaga diri, karena ia adalah pihak yang paling dirugikan ketika kasus-kasus pelecehan seksual terjadi. Namun hal tersebut bukan berarti membiarkan kaum adam boleh menjamah hak-hak kemanusiaan yang perempuan punya. Ayam memang harus pandai menjaga diri. Tapi bukan berarti membiarkan musang boleh berkeliaran tanpa hukum dan aturan.

Jadi jika ingin melindungi perempuan, jagalah hak-hak kemanusiaannya. Menjaminnya memeroleh rasa aman juga merupakan bentuk perlindungan. Berikan akses perlindungan untuknya. Razia tempat-tempat hiburan yang melanggar syariat. Perlu hukuman tegas bagi pelaku kekerasan seksual yang selalu menjadi hantu menakutkan bagi perempuan. Karena fokus tulisan ini bukan pada perempuan yang ingin menuntut untuk bisa keluar malam. Tetapi mengharap keadilan yang masih samar-samar ditegakkan. Rubuh di antara reruntuhan dan puing-puing kemanusiaan.

Asmaul Husna, Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal), Pegiat di Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU), dan Inisiator Komunitas Panteu Menulis Pasee. Email: hasmaul64@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved