Cerpen

Peracik Kopi dari Tepi Bukit

BERJUMPA dengan orang ini, tidak terperkirakan sama sekali. Ketika ingin melihat gotong royong massal

Editor: bakri

Seseorang berjalan ke arah tenda. “Min, itu orangnya!” Blau, menunjuk ke arah Kari.

Sebelum datang, saya tanya ke Blau ide Musim Rekor. Blau menceritakan dengan semangat. Menurutnya, ia tidak mau apa-apa, yang penting Kampung Enam terkenal. Ia juga mengeluarkan modal untuk mendatangkan Pencatat Musim Rekor dari Kota Tiga. Sekalian menyediakan penginapan kelas dua. Tidak ada penginapan kelas satu di dekat kampung ini.

“Sebenarnya ia peracik kopi,” kata Blau.

“Peracik kopi?” tanya saya.

“Ya, si Kari itu ada kedai tempat racik kopi,” jawab Blau. “Tadi sebelum belok ke simpang, kan ada bukit kecil, di dekat pohon asam itu kan ada bangunan berbentuk panggung!” saya mengangguk, “nah itu kedai si Kari.”

“Tapi tak ada asap?”

“Bukan kedai kopi, tapi kedai racik kopi,” Blau memastikan, agak bersuara keras, sampai-sampai beberapa tamu di bawah tenda melihat kami yang duduk di belakang.

“Mana ada asap kedai racik kopi. Yang ada asap kalau kedai kopi,” katanya.

Saya mengangguk. Saya meninggalkan begitu saja Blau dan melangkah ke depan tenda. Tetapi pengapit mencegah saya berjalan lebih dekat.

“Apa boleh saya berjumpa dengan Pak Kari?” tanya saya pada pengapit.

“Tidak bisa,” mata pengapit melotot saya, tajam. “Minggir!” perintah mereka.

Saya menunggu lama untuk berjumpa dengan peracik kopi. Di tengah kesibukan itu, saya pegang tangan peracik kopi ketika ia mau buang air kecil.

“Saya sangat takjub dengan racik kopi Bang Kari,” ia memandang saya segera, “saya ingin bantuan Bang Kari,” sambung saya lagi. Ia dekatkan mulutnya ke kuping saya, “jangan ribut-ribut,” bisiknya. Dikasihnya selembar. Saya berbalik badan ketika Pencatat Musim Rekor waktu itu maju ke depan. Saya menuju motor, dan tak terasa Blau ikut dari belakang. “Kari itu pandai meracik kopi. Kita tinggal minta. Tinggal kasih resep. Kita bilang saja mau seperti apa,” kata Blau. Ia tidak melihat selembar yang saya masukkan ke ujung dompet.

Saya hidupkan motor. Saya tidak menoleh lagi ke Blau. Saya mempercepat laju agar bisa segera sampai ke rumah Kepala Pejabat. “Meracik kopi,” pikir saya, sepanjang perjalanan. Di depan rumah, Kepala Pejabat sedang menyeruput kopi racikan Kampung Enam. Begitu saya sampai, diminta istrinya menaruh kopi satu gelas lagi. “Kita bisa Pak,” kata saya, mengawali pembicaraan. Kepala Pejabat menyeruput lagi kopinya. “Kita bisa mencatat Musim Rekor,” kata saya lagi. Kepala Pejabat memanggil lagi istrinya, dan meminta ditambah kopi. “Pak, tadi saya pikir-pikir, rasanya semua kegiatan sudah dicatat di Musim Rekor pak.”

Kepala Pejabat tampak sedikit menatap saya. “Bagaimana bisa?” tanyanya.”Tadi saya sempat melihat daftar Musim Rekor, pak. Tiap hari mereka kasih Musim Rekor.”

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved