Opini

Doa, Tuhan, dan ‘Manusia Maya’

ADA yang menggelisahkan ketika setiap kali menyambangi dunia maya. Tentang doa dan “Tuhan” baru berwujud

Editor: bakri

Oleh Asmaul Husna

ADA yang menggelisahkan ketika setiap kali menyambangi dunia maya. Tentang doa dan “Tuhan” baru berwujud digital. Media sosial mungkin memang bisa mendekatkan dua tubuh yang jauh. Tapi di era cyber, hubungan manusia dengan Tuhannya menjadi renggang. Ia tak lagi istimewa karena kesakralan doa telah karam dalam badai teknologi.

Dunia cyber telah merampas kesakralan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Manusia sendiri telah membangun dinding pembatas yang terlalu kokoh. Lenyap sudah budi dan jiwa. Ia luruh bersama Tuhan-Tuhan digital. Hubungan hamba dengan Tuhannya tak lagi istimewa karena sudah dijajakan di dunia maya. Diobral habis-habisan.

Pada dasarnya, doa adalah sesuatu yang sakral yang menghubungkan kita dengan Tuhan. Diucapkan dengan hati yang tenang dan lisan yang lirih, jauh dari riuh dan kebisingan dunia maya. Maka menjadi mengherankan jika hari ini banyak yang berdoa dan meratap di dinding facebook. Tidak ada lagi hubungan istimewa yang dibangun antara Tuhan dengan hambanya.

Sayangnya, hal itu terjadi tidak hanya di kalangan anak muda yang banyak dihinggapi kegalauan perasaan, tapi juga menjangkiti kaum paruh baya. Kecanduan dan virus ‘kekanak-kanakan’ teknologi memang tidak mengenal usia. Perhatikan saja, berapa banyak hari ini kaum ibu-bapak yang juga melakukan hal yang sama, meratap di dunia maya. Anak muda kehilangan figur.

Kita paham bahwa Tuhan memang mengerti semua bahasa, mengerti semua keluh kesah, dan tahu apa yang hambanya inginkan. Namun berdoa di dunia maya adalah bentuk ketidaksopanan hamba pada Tuhannya. Analoginya, meratap minta ini-itu, tapi bukan langsung pada pemiliknya. Hal ini sama dengan anak-anak yang minta dibelikan mainan sama orangtuanya, tapi malah melapor ke tetangga. Padahal bagaimana Tuhan mau mengabulkan jika kita hanya meratapnya di dunia maya, tidak minta langsung pada yang punya. Beda jika Mark Zuckenberg atau pencetus media sosial lainnya bisa mengabulkan semua ratapan dinding para pemujanya.

Salah alamat
Berdoa di dunia maya adalah bentuk salah alamat. Mengeluh surat tidak dibalas, padahal kita mengirimnya pada orang yang salah. Allah memang berada dimana-mana, tapi bukan berarti hilang adab dan sopan-santun untuk meminta. Mohon bantuan dana ke pemerintah saja perlu mengajukan proposal yang tidak hanya bagus kualitas permohonannya, tapi juga benar cara memintanya. Apalagi Tuhan, tidak sepantasnya meminta dengan cara semena-mena. Berbeda jika seruan itu mengajak orang untuk berdoa, tapi tentu saja bukan memadainya di dunia maya, tanpa meminta langsung pada Tuhannya.

Tidak hanya doa, kini semua hal pribadi juga diobral habis-habisan di dunia maya. Padahal apa istimewanya jika hari ini menjadi pribadi yang melaporkan semua kegiatan dan kegalauan perasaannya. Sakit perut, mual, pusing, ngupil, lapar, lapor di dunia maya. Pergi ke kampus, ke pasar, beli baju, jalan-jalan, lapor di dunia maya. Jatuh cinta, patah hati, lapor di dunia maya. Listrik padam, bahasa sumpah-serapah membusuk di dunia maya. Saya khawatir, di bulan Ramadhan ini jangan sampai ada yang update status: “lagi sujud rakaat kedua Shalat Tarawih nih. Duhh!”

Sebenarnya akun media sosial sudah cukup bijak dengan memberikan kita ruang untuk berpikir. Ketika seseorang hendak menulis status, di sana selalu tertera: apa yang Anda pikirkan? Tidak pernah ia menanyakan apakah Anda sedang lapar, sibuk, atau sedang jatuh cinta. Mungkin inilah yang dimaksud Albert Enstein (1879-1955), bahwa akan lahir satu generasi idiot ketika manusia dikuasai oleh teknologi. Yang menciptakan, dikuasai oleh yang diciptakan. Manusia yang menciptakan teknologi, tapi ia pula yang dikuasai teknologi. Dunia maya menjadi dunia nyata, sedangkan nyata malah buram menjadi maya.

Padahal seandainya semua orang memilih menulis, betapa banyak tulisan yang akan tercipta ketika seseorang gelisah dengan keadaan sosial yang terjadi. Mengkritiknya dengan santun lalu memberi saran. Betapa banyak novel dan puisi yang akan lahir ketika setiap orang patah hati atau jatuh cinta. Tapi sayang, banyak yang menyalurkan semua kegelisahan tersebut dengan cara yang kurang tepat. Perhatikan saja, ketika listrik padam misalnya, maka berserakan sumpah-serapah untuk PLN di dunia maya. Padahal makian itu juga tidak akan menghidupkan listrik itu sendiri.

Saya tidak sedang membela PLN. Toh, saya juga termasuk orang yang dirugikan dengan kelakuan listrik negara itu. Tapi jika saya ikut memaki, maka saya akan rugi dua kali. Pertama, semua kegiatan yang membutuhkan arus listrik harus terhenti. Kedua, saya hanya akan merendahkan diri sendiri di dunia maya. Silahkan kesal, tapi baiknya disalurkan dengan cara yang tepat. Perlu menghargai hak manusia maya lainnya untuk merasakan media sosial secara santun, yang bersih dari kotoran lisan.

Apakah semua itu salah? Tidak. Itu hak masing-masing individu. Hanya saja saat seseorang sudah kehilangan ranah privatnya, maka itu akan mengurangi nilai istimewanya. Padahal tidak semua hal yang dilakukan perlu diumumkan. Kebaikan yang dilakukan tidak akan berkurang nilainya jika orang lain tidak mengetahuinya. Apalagi kalau hanya sekadar hendak buang hajat, bertengkar, dan kata makian diumumkan di dunia maya. Maka lengkap sudah, luruhlah kadar istimewanya.

Menggelisahkan
Saya tahu, mungkin tulisan ini akan “menampar” banyak orang. Bagi sebagian mungkin juga akan menyelutuk; urus saja urusan Anda. Ini dunia maya dan sepenuhnya hak saya untuk menulis apa. Mau meratap, berdoa, memaki, dan lain sebagainya. Ya, saya paham, itu memang sepenuhnya hak pemilik akun sosial. Tapi saya hanya coba menuliskan sesuatu yang selama ini saya anggap menggelisahkan. Kita salah memaknai kebebasan dan mengabaikan sopan-santun. Banyak yang sudah “menuhankan” tuhan-tuhan digital.

Jadilah pribadi istimewa yang orang masih ingin menanyakan “apa kabarmu”, bukan malah melaporkan semua hal yang dilakukan dan dirasakan di dunia maya. Jika memang ingin chatting dengan Tuhan, maka caranya hanya dengan doa yang tepat. Sampaikan itu di tengah malam mendekap, lisan yang lirih, dan hati yang penuh harap. Langsung pada yang bersangkutan, pengabul semua permintaan. Karena doa tidak akan tersampaikan walau kita sudah mention (memanggil) atau tweet Allah berkali-kali di dunia maya.

Saya bukan ulama yang hendak menfatwakan betul-tidaknya berdoa di dunia maya. Tapi hanya coba meluruskan kealpaan semua kita, termasuk saya, untuk menjadi hamba yang santun dalam meminta. Menjadi pribadi istimewa yang terkadang kita sendiri yang merubuhkannya. Mulailah beralih berdoa dari “Google menuju God”, bukan malah sebaliknya. Bersegeralah, sebelum Allah “sign out” melayanimu dengan cara chatting yang sesungguhnya.

* Asmaul Husna, Pegiat di Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU) dan Inisiator Komunitas Panteu Menulis Pasee. Email: hasmaul64@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved