Opini

Tren Pacaran di Kalangan Remaja

REMAJA dan pacaran merupakan dua kata yang tak terpisahkan. Rita Eka Izzati dkk (2008) mengatakan

Editor: bakri

Oleh Zahratul Husna

REMAJA dan pacaran merupakan dua kata yang tak terpisahkan. Rita Eka Izzati dkk (2008) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja menurut Mappire berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Pada masa pencarian jati diri ini, manusia bersikap sangat labil, hampir tidak ada hal yang dilakukannya tanpa kebimbangan. Pada masa ini juga, ketertarikan terhadap lawan jenis muncul. Sehingga, rasa ingin tahu yang berlebihan terhadap lawan jenis membuat banyak remaja berpacaran pada usia dini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacar diartikan sebagai orang yang spesial dalam hati selain orang tua, keluarga dan sahabat. Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang, pacar bukanlah sekadar orang yang spesial dalam hati, lebih dari itu pacaran di zaman sekarang tidak ada ubahnya seperti pasangan halal.

Pacaran hanyalah menjadi sebuah ajang pelampiasan nafsu, ajang pertunjukan rasa gengsi, ajang popularitas, dan ajang meraup keuntungan pribadi. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan. Tren pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan yang eksklusif.

Terang-terangan
Kini pacaran sudah sangat ngetren dalam masyarakat. Bahkan mereka yang tidak pacaran dianggap kuno/jadul. Apa yang sebenarnya terjadi dengan remaja kita? Sebenarnya pacaran dapat menjadi tren dalam masyarakat ini bukan tanpa sebab. Jika ada yang harus disalahkan dengan tren ini, menurut penulis adalah orang tua. Mengapa demikian? Dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, orang tua sudah tidak melarang anaknya pacaran. Jika orang dulu pacaran sembunyi-sembunyi, maka remaja sekarang langsung terang-terangan.

Rasa malu atas kesalahan yang dilakukan sudah tidak ada, karena seolah-olah pacaran itu bukanlah suatu maksiat, pacaran dianggap adalah hal yang wajar dan tidak patut ditentang. Jika orang tua dulu melarang anaknya pacaran, orang tua sekarang merestui anaknya. Bahkan sebelum pergi pacaran pamitan dulu. “Bu saya bawa anak ibu jalan-jalan iya.” Bak anak kecil, seolah-olah orang tua pun sudah tidak paham dengan konsep agama. Jelas-jelas Islam melarang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berduaan.

Sama halnya dengan orang tua, masyarakat pun pada umumnya sudah terbiasa dengan remaja yang pacaran. Tanpa berpikir dosa, mereka sengaja menyediakan tempat-tempat yang strategis dengan suasana yang remang-remang sebagai tempat nongkrong remaja. Dilihat dari sudut pandang pasar, mereka memang termasuk masyarakat yang cerdas, karena bisa mnyediakan kebutuhan konsumen dengan sangat baik. Masyarakat sudah terbiasa dengan tren pacaran ini.

Lalu, apakah masih ada remaja kita yang tidak pacaran?Ada, namun persentasenya sangat sedikit. Sudah hampir punah, padahal berdasarkan pengamatan penulis, remaja yang pacaran tidak jauh bahagia dari remaja yang tidak pacaran. Bahkan remaja yang pacaran akan lebih sering terluka atau istilah sekarang, galau. Penulis tidak mengatakan remaja yang tidak pacaran lebih baik dari remaja yang pacaran. Namun, paling tidak mereka sudah jauh dari satu maksiat yang dilakukan oleh orang-orang yang pacaran.

Pacaran zaman sekarang bukanlah sekedar berkenalan. Jauh dari itu, pacaran zaman sekarang merupakan kembarannya pernikahan. Perilaku remaja yang pacaran pada umumnya sudah sama dengan orang-orang yang berstatus suami-istri. Tanpa rasa canggung mereka berbonceng mesra ke mana-mana. Jika ada satu dua orang yang melihat aneh mereka atau sekedar menasehati, mereka tidak segan memarahinya. Masa remaja adalah masa-masa yang sulit dikendalikan, sehingga muncul kata-kata “jika kamu dapat mengendalikan masa mudamu, maka kamu akan berhasil di masa tuamu.”

Lalu, apa yang terjadi dengan remaja yang sudah terlanjur tidak dapat mengendalikan dirinya. Mereka salah jalan, orang tuanya pun kurang perhatian, sehingga lahirlah anak seribu wajah (anak yang lahir dari hubungan dengan banyak lelaki). Kalau sudah begini, sudah menjadi aib bagi keluarga. Baru orang tua sibuk menikahi mereka. Mengapa tidak dari awal saja mereka dinikahkan?

Inilah tren kita sekarang, hamil dulu baru menikah. Ini juga sudah menyalahi hukum agama Islam. Dalam Islam sebenarnya orang yang belum menikah jika kedapatan berzina, maka harus dicambuk, kemudian mereka dipisahkan. Tetapi di zaman sekarang setelah kedapatan berzina langsung dinikahkan. Sungguh hukum yang berlaku sudah jauh melenceng. Tetapi inilah negeri kita.

Akibat pacaran
Padahal berdasarkan pengamatan penulis, orang yang sudah bertahun-tahun pacaran belum pasti akan menjadi suami-istri. Banyak kejadian sudah pacaran dua-tiga tahun, putus. Kejadian lainnya, pacaran dua bulan, ceweknya hamil cowoknya kabur. Berbagai macam hal yang tidak baik muncul akibat pacaran. Tidak dipungkiri juga, ada beberapa pasangan yang memang berjodoh dengan pacarnya sendiri. Namun tidak sedikit yang hubungannya kandas di tengah jalan. Bahkan mereka sudah merelakan dirinya untuk sang pujaan hati. Namun apa yang hendak dikata takdir berkata lain. Kita tidak berjodoh.

Satu hal yang menjadi ketakutan pada remaja sekarang. Dunia saat ini dominasi oleh perempuan, sehingga muncullah rasa takut tidak mendapatkan pasangan. Padahal sebagai orang Islam, kita tidak harus memiliki ketakutan semacam itu, karena Allah sudah mengatur siapa jodoh kita bahkan jauh-jauh hari sebelum kita dilahirkan ke dunia ini. Satu lagi yang menjadi polemik di kalangan remaja, sering penulis dengar bahwa pacaran itu merupakan bentuk usaha untuk mencari dan mendapatkan jodoh. Apakah pernyataan itu benar?

Penulis pernah menanyakannya kepada guru di balai pengajiannya. Jawabannya begini: “Tidak ada usaha untuk mendapatkan jodoh, apalagi berpacaran yang sudah jelas-jelas melanggar syariat. Kalaupun harus ada usaha maka yang sebaiknya dilakukan adalah berdoa dan memperbaiki diri”, karena ada kata-kata “kita hari ini merupakan cerminan jodoh kita nanti.”

Sebagai manusia yang normal kita memang memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Namun diharapkan agar dapat menyesuaikan diri, ingat agama, ingat dosa. Ingatlah “johan” (jodoh di tangan Tuhan). Seberapa cinta kita terhadap pasangan, jika Tuhan berkata itu bukan jodohmu, maka kalian akan tetap terpisah. Tetap semangat remaja Islam. Berpikirlah dengan logis. Tidak ada kata-kata terlambat untuk bertaubat. Semoga!

* Zahratul Husna, Mahasiswi Gemasastrin, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: zahratulhusna52@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved