Cerpen
Sekuwat
RINTIK HUJAN sore dan mendung hitam tak menghalangi Sekuwat menyabit rumput di tepi Sungai Peusangan
“Sedikit. Itupun diam-diam. Kalau istriku tahu, akan marah besar dia, bisa rontok rambutku dibuatnya. Batang enaupun bisa-bisa ia kampak sampai putus!”
Cutdan menarik geuleupak dan mendudukinya. Badannya ia sandarkan pada pagar bambuyang melindungi kebun Sekuwat. Sesekali Cutdan melongok ke dalam kebun, sinar matanya tampaknya menyimpan keresahan.
“Sudah hampir tiga hari lembuku kehilangan selera makan, padahal rumput-rumput yang kubawa pulang segar-segar semua. Kupilih-pilih saat kusabit. Tapi dia tak mau melahapnya dengan gairah. Apa kau pernah mengalaminya?”
“Mungkin lembumu itu diserang penyakit panas dalam. Kejadian seperti itu juga pernah terjadi pada lembu merahku. Lembu itu cuma mencium-cium rumput dalam palung. Bahkan menanduk-nanduk palung hingga rumput berhamburan ke lantai kandang. Tapi sekarang tidak lagi, setelah kupaksakan menuangkan air remasan pucuk labu tanah ke dalam mulutnya. Setelah sehari, lembu merahkupun sembuh. Dia malah makan lebih banyak ketimbang lembu hitam. Petik saja pucuk-pucuk labu itu, siapa tahu bisa jadi obat.”
“Berapa pucuk cukup?”
“Aku meremas tujuh pucuk dalam satu gayung. Kutuang ke dalam botol air mineral. Malamnya kuberikan sampai habis sebotol!”
“Akan kucoba.”
“Ya, masuklah kekebun dan petik saja sendiri, mumpung hujan belum turun.”
Setelah Cutdan memetik beberapa pucuk labu, ia kembali memanggul rumputnya dan melangkah pulang. Beberapa saat kemudian Sekuwat menyusul sambil memanggul karung buah labu.
“Bang Sekuwat!” seorang perempuan muda memanggil. Di simpang jalanperempuan itu tampaknya sengaja menunggu Sekuwat pulang dari kebun. Sekuwat menghentikan langkahnya dan menurunkan panggulannya ke tanah.
“Tipah. Ada apa?”
“Aku menunggumu untuk mengatakan sesuatu tentang hubungan yang kita jalani selama ini!”
“Dalam hal apa?”
“Putus!”
“Putus kenapa?”