Opini
Longsor, Aceh Butuh Solusi Jangka Panjang
BERITA bencana hidrometeorologi seperti longsor dan banjir kembali mengisi halaman media di Aceh
Oleh Teuku Irwan Djohan
BERITA bencana hidrometeorologi seperti longsor dan banjir kembali mengisi halaman media di Aceh, menyusul datangnya musim hujan pada 2015 ini. Tingginya curah hujan merupakan faktor utama terjadinya longsor dan banjir, yang disebabkan meningkatnya kandungan air oleh hujan deras atau naiknya air tanah. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota yang wilayahnya menjadi langganan bencana akibat musim hujan wajib siaga dan melakukan antisipasi untuk kemungkinan bencana yang lebih buruk.
Bencana longsor yang biasanya mulai terjadi pada Oktober seiring meningkatnya intensitas hujan, kini sudah terjadi di pertengahan September. Kita harus ingat, bahwa sebelum musim hujan datang, Aceh mengalami musim kering yang panjang. Musim kering menyebabkan terjadinya penguapan air secara signifikan, sehingga muncul pori-pori pada tanah, bahkan tanah sampai merekah dan retak. Ketika musim hujan tiba air menyelinap ke tanah yang retak, lalu menghimpun sampai jenuh sehingga tanah mengembang dan menimbulkan gerakan.
Bencana longsor yang terjadi pada beberapa lereng bukit di Aceh dalam beberapa tahun terakhir, makin memperbesar peluang terjadinya longsor di lokasi yang sama. Longsor yang terjadi sebelumnya menyebabkan hilangnya penopang oleh runtuhnya lereng. Maka kita tak boleh lupa pada bencana longsor yang terjadi pada November 2014 lalu di kecamatan Lhoong, Aceh Besar, yang membuat lalu lintas Banda Aceh-Calang putus total. Terdapat 25 titik longsor di kawasan tersebut, di antaranya di Gunung Paro (Km 37), Gunung Kulu (Km 45) dan Gunung Geurute (Km 64). Bencana itu menyebabkan ribuan warga dari 28 desa di Kecamatan Lhoong terisolir.
Hujan deras awal November 2014 tahun lalu, dalam sehari saja menyebabkan bencana besar bagi masyarakat Lhoong, Aceh Besar. Selain longsornya tebing-tebing sepanjang lintasan jalan nasional Banda Aceh-Calang, pohon kayu dan tiang listrik juga tumbang di badan jalan. Sejumlah desa juga ditimpa bencana longsor sekaligus banjir. Di Desa Lamsujen, rumah-rumah warga hancur diterjang banjir bandang yang berasal dari pegunungan. Dahsyatnya bencana tersebut membuat ratusan orang terisolir dan mengungsi, juga mengakibatkan kerugian materil sangat besar.
Langganan banjir
Selain di pantai barat Aceh, bencana longsor juga terjadi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah pada musim hujan 2014 lalu. Kedua kabupaten yang terletak di dataran tinggi Gayo itu memang setiap tahun menjadi langganan banjir bandang dan longsor. Hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan longsor di ruas jalan Takengon-Jagong Jeget di Desa Peregen dan Gemboyah, Kecamatan Linge. Pada lokasi itu dua jembatan dan puluhan hektare kebun kopi milik rakyat tergenang banjir.
Waspadai juga bencana longsor akan terulang lagi di ruas jalan Takengon-Belang Gele di Kampung Totor Uyet, Kecamatan Bebesen. Selanjutnya ruas jalan Takengon-Kute Panang di Redines Ratawali, ruas jalan Takengon-Angkup di Kampung Bies dan Sanihen, Kecamatan Bies dan Silih Nara. Sementara di Kabupaten Bener Meriah, longsor terjadi di ruas jalan Takengon-Redelong, yaitu di Merie Satu dan di Km 92 Kecamatan Kebayakan, serta di ruas jalan Takengon-Bireuen, yaitu di Timang Gajah dan perbatasan Takengon-Bener Meriah.
Apakah kita pasrah bencana tersebut berulang setiap tahun? Pemerintah Aceh dan masyarakat seharusnya bisa mengambil hikmah dari bencana yang telah berulangkali terjadi. Penebangan pohon secara liar yang telah sama-sama kita pahami sebagai salah satu sumber bencana, masih terus terjadi tanpa pencegahan serius dari pemerintah, dan masyarakat pun tidak pernah insaf.
Pemerintah Aceh juga belum terdengar memiliki strategi jangka panjang untuk menghentikan bencana longsor dan banjir bandang terulang lagi di lokasi-lokasi yang tentunya telah masuk dalam peta kawasan rawan bencana. Tindakan pemerintah yang dilakukan selama ini hanyalah tindakan kuratif (penanganan) setelah bencana terjadi, seperti mobilisasi alat berat, membangun ulang jalan, jembatan, sawah dan rumah warga yang rusak, serta pembagian sembako. Berulang-ulang setiap tahun demikian. Sangat disayangkan!
Bayangkan, puluhan miliar rupiah anggaran tersedot untuk membiayai tindakan kuratif yang berulang-ulang tiap tahun tersebut. Seandainya pemerintah Aceh memiliki visi, maka anggaran besar tersebut dapat dialokasikan untuk membiayai program preventif (pencegahan) terhadap bencana, seperti pembangunan infrastruktur anti bencana.
Belakangan ini Pemerintah Aceh sering mendapat kritikan terkait penggunaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang belum menyentuh kepentingan rakyat Aceh dalam jangka panjang. Padahal Dana Otsus yang dikucurkan mulai 2008 itu akan berakhir pada 2027. Pengalokasian Dana Otsus diharapkan tidak lagi untuk membiayai proyek-proyek kecil. Dana Otsus seyogianya digunakan untuk membangun proyek-proyek penting yang berefek jangka panjang untuk rakyat Aceh, dan yang paling prioritas adalah untuk pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, jembatan, tanggul, irigasi, listrik, air bersih, sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
Terkait fakta bahwa Aceh termasuk daerah rawan bencana, maka pembangunan infrastruktur yang peka bencana harus menjadi patron baru dalam konsep pembangunan infrastruktur Aceh. Pembangunan infrastruktur juga harus disesuaikan tingkat kerawanan bencana, jadi tidak boleh disamaratakan. Misalnya untuk ruas jalan yang rentan longsor, harus dibangun dengan beton cor (ready-mix concrete), bukan dengan aspal.
Pemerintah Aceh harus menyadari, bahwa di lintasan Aceh Besar-Aceh Jaya (Gunong Paro-Kulu-Geurutee), serta di lintasan Bireuen-Bener Meriah-Aceh Tengah yang merupakan daerah perbukitan rawan longsor, persyaratan keamanan dan kenyamanan jalan jelas belum terpenuhi. Maka sebagai solusi jangka panjang, program peningkatan keamanan dan kenyamanan jalan pada kawasan rawan longsor harus segera direncanakan dan dibangun mulai 2016 mendatang dengan memanfaatkan Dana Otsus.
Mencegah longsor
Tersedia aneka pilihan cara dan teknologi dari yang sederhana hingga mutakhir, dari yang berbiaya rendah hingga sangat tinggi, seperti terurai berikut ini: Pertama, melakukan penguatan lereng dan tebing jurang untuk mencegah longsor ke badan jalan atau ambrolnya tebing jalan. Caranya bisa dilakukan dengan membangun dinding (selimut) turap dari balok baja atau kayu horizontal untuk bagian bawah lereng atau bagian atas jurang.
Penguatan lereng juga bisa dilakukan dengan membangun dinding bronjong (gabion wall), atau membangun dinding penahan kerikil-kerikil batuan di lereng yang stabil tanpa semen (crib wall). Sedangkan untuk bidang permukaan yang miring, agar lereng menjadi stabil dapat dibangun dinding beton (shotcrete facing) yang permanen. Untuk pilihan yang lebih ekonomis adalah metode soil nailing, yaitu membuat jangkar (susuk) yang dibor ke dalam lereng. Alternatif lain adalah menata lereng dengan membuat teras pengaman (trap terasering).