Cerpen

Negeri yang Tenggelam

SIANG itu adalah hari yang menyengat ketika aku mendapati diriku di atas balok kayu seukuran semeter, tanpa sehelai pakaian

Editor: bakri

Salah seorang dari mereka-entah lelaki atau perempuan, aku tidak bisa mengenalinya dengan baik karena jarak yang jauh-mencoba berenang mendekatiku, ia mengayuh dengan tenaganya yang tersisa, berusaha berenang seperti seekor hiu yang terdampar. Sedangkan beberapa lagi di belakangnya, mengikuti gerakan yang sama.Aku terduduk lemas menanti mereka mendekat. Dari jarak sekitar sepuluh meter, aku sudah cukup mengenalinya, ternyata ia seorang perempuan. Ia tampak begitu tua dan kelelahan berenang, berkali-kali kepalanya terbenam,tersedak, mulutnya mengap-mengap dengan wajah pucat memerah, berkali-kali terbatuk-batuk—buhuk--lantaran terminum air.

Sekuat tenaga yang kian berkurang dan gerakan yang melemah, ia tak kuasa lagi mendekatiku yang hanya termangu-mangu memandangi tanpa berbuat apa-apa. Ia pun menangis melambai-lambaikan tangan yang kian melemah, sebelum akhirnya ujung tangan itupun menghilang tenggelam. Akupun tersadar kemudian, tersentak, dan tergesa-gesa mengayuhkan balok kayu mendekatinya, namun terlambat. Aku hanya dapat menyaksikan bayangan hitam merambat cepat ke bawah, dan hanya mendapati gelembungan terakhir dari sisa napasnya yang menyembul ke permukaan. Seluruh urat nadiku terasa putus aku seperti lumpuh tidak bisa bergerak. Melihat pertaruhan hidup yang sedang berlangsung di depanku, Aku tidak mampu lagi menahan air mataku yang tumpah.

Aku menoleh ke arah yang berlawanan, ke kiri juga ke kanan. Di sana aku melihat masih ada berapa lagi manusia yang masih bertahan. Namun sepertinya mereka tak sanggup lagi berenang jauh, hampir seluruh tenaga mereka terkuras. Aku tidak tahu berapa lama sudah mereka terdampar di sini. Selama ini aku telah hidup hanya mementingkan diriku sendiri tidak ambil peduli akan kesusahan yang menimpa orang lain.

Aku mengayuh lagi, bergerak ke arah kiri, mendekati salah seorang lainnya yang tak jauh dariku. Aku berusaha tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. Balok yang membawaku terombang-ambing-timbul tenggelam di atas air. Ketika tiba di hadapannya aku menahan laju dengan kedua tanganku. Ia adalah seorang perempuan, dan memang lebih banyak perempuan, semuanya telanjang. Sejenak aku tercenung melihat makhluk cantikyang seperti duyung itu berenang-renang kesusahan. Tak ubahnya serupa makhluk dalam cerita tentang negeri dongeng. Ia seorang gadis berambut hitam, rambutnya basah terburai. Kulitnya putih dan warna matanya cokelat. Bila aku perkirakan umurnya tidak lebih dari dua puluh tahun, beda jauh sepuluh tahun dari umurku.

“Tuan, tolonglah aku,” dia memohon lirih dengan napas yang tersenggal-senggal.” Aku sangat letih. Aku tidak sanggup bertahan lagi,” lanjutnya memelas.

Tanpa menunggu lama, aku segera bertindak, menggapai tangan bermaksud menariknya ke atas balok. Oh, betapa terkejutnya aku menyaksikan perempuan itu tanpa tertutup oleh sehelai benang pun, tubuhnya polos telanjang, dadanya mencuat, menonjol. Namun, gapaian tangannya terlepas, dan aku urung menariknya.

“Tuan, tolonglah aku! Aku ingin hidup. Aku ingin pulang. Aku tidak ingin mati disini,” ia kembali mengiba seraya terbatuk-batuk dengan tubuh yang setengah mengapung.

“Tidak, maafkan aku,” sahutku. Aku berusaha menjauh.

Air matanya mengalir ketika aku merenggangkan balok kayuku darinya. Aku tidak ingin menambah dosa dengan duduk bersama mengapung dilaut ditemani seorang gadis telanjang, bukankah Tuhan sedang mengutuk dunia ini?

Seketika aku memutuskan tetap membiarkan saja ia terhanyut. Ia tampak pasrah, tidak berusaha lagi berenang mempertahankan hidupnya walau sejenak.Ia hanya menatap kosong kearahku, selanjutnya tubuhnya pun tenggelam perlahan ditelan laut. Ada perasaan tersiksa dalam batinku, rasa bersalah juga rasa takut semua mengaduk-menyerangku.

Aku merasa letih dan mual. Aku sendiri tidak tahu berada dimana sekarang, aku tidak tahu kemana negeri ini lenyap? Negeri ini telah lama berjalan terseok-seok dan pada akhirnya harus hilang karam.

Aku memalingkan wajahku untuk menghindar, dan seketika itu aku kembali terperanjat. Di sana, di lautan yang maha luas, aku kembali menyaksikan ribuan manusia sedang tenggelam,berjuang untuk hidup, dan meraung-raung minta tolong!

* Nasrullah Thaleb adalah Ketua Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) yang sedang berjuang mengembangkan sastra di kampungnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved