Lipsus
Jantung Koroner Pembunuh Utama
PENYAKIT jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di Aceh
PENYAKIT jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di Aceh. Pola makan orang Aceh yang kurang sehat ditengarai menjadi salah satu penyebab. Seperti apa gejalanya dan bagaimana cara mencegah penyakit ini? Serambi mengulasnya dalam laporan eksklusif edisi ini.
Gejala umum yang dialami orang yang mengalami penyakit jantung adalah kurangnya jumlah darah yang memasok oksigen ke jantung. Akibatnya, fungsi jantung terganggu. Gejala-gejala tersebut, antara lain rasa nyeri atau ditekan di bagian dada.
Aritmia adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi berupa gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan palpitasi, yakni denyut jantung yang abnormal.
Banyak penyebab yang memicu penyakit jantung, di antaranya hipertensi (tekanan darah tinggi) menahun, kolesterol tinggi, obesitas (kegemukan, berkaitan dengan metabolik syndrome), dan diabetes mellitus (DM) atau lebih dikenal dengan kencing manis.
Terkait dengan kegemukan dan kolesterol tinggi, umumnya disebabkan oleh banyaknya asupan makanan berlemak tinggi (lemak jenuh) dan tidak dibarengi dengan olahraga yang teratur.
Penyakit jantung disebabkan kurangnya pasokan darah yang membawa oksigen ke otot jantung. Biasanya diikuti oleh gejala lain seperti pusing, letih berkepanjangan, mual, berkeringat dingin, dan sesak napas. Gejala-gejala tersebut dapat menjadi peringatan awal akan risiko serangan jantung. “Saat ini prevalensi jantung koroner di Aceh melebihi nasional. Mereka yang mengalami gejala-gejala tersebut sering kali menganggapnya sebagai masuk angin biasa. Inilah yang sering membuat pertolongan pertama menjadi terlambat,” ujar dr Adi Purnawarman SpJP FIHA, ahli jantung dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUZA Banda Aceh, kepada Serambi, Minggu (18/10).
Di Aceh, kata dia, banyak pejabat desa yang terserang penyakit ini. “Pak keuchik (kepala desa) banyak yang terkena jantung koroner. Maklum, hampir setiap hari makan di kenduri,” kata Adi, tanpa menyebut apakah itu hasil penelitian atau didasari pada jumlah yang ditangani di rumah sakit.
Di poli jantung RSUZA, lanjut spesialis jantung ini, rata-rata per hari kunjungan pasien jantung mencapai 120-170 orang. Setahun lalu, kunjungan pasien jantung ‘hanya’ 100-120 orang per hari. Itu artinya, ada peningkatan jumlah penderita. Sedangkan pasien rawat inap yang masuk RSUZA saat ini mencapai 20-30 orang per hari. Jika pola makan tak berubah, maka ada kecenderungan serangan penyakit mematikan ini terus bertambah.
Ketika serangan jantung (myocardial infarction) berlangsung, kata dia, otot-otot jantung akan mati karena tidak mendapatkan darah. Dan tidak seperti jaringan yang lain, otot jantung tidak dapat mengalami regenerasi alias tidak bisa berganti dengan otot baru. Karena itulah, kata Adi Purnawarman, semakin lama serangannya dan tidak segera ditangani, akan semakin banyak kerusakan permanen pada otot-otot jantung. Bahkan jika terus dibiarkan dapat mengalami kematian. “Kalau dalam ekonomi waktu adalah uang, namun dalam bidang kesehatan, waktu berhubungan berapa banyak otot-otot yang dapat diselamatkan.”
Adi mengingatkan, sewaktu gejala-gejala serangan jantung timbul, sangatlah penting untuk langsung mencari bantuan medis, karena risiko kematian terbesar adalah dalam kurun waktu satu jam setelah terjadi serangan. Perawatan yang cepat dapat menyelamatkan otot jantung dari kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Semakin banyak otot jantung yang terselamatkan, semakin efektif jantung akan kembali memompa setelah serangan.
Mengingat bahaya penyakit jantung yang mengancam kehidupan dan menjadi pembunuh utama di Indonesia termasuk di Aceh, mencegah atau mengurangi risiko penyakit jantung adalah cara yang terbaik. (sak/min)