Opini
Etika Bernegara dalam Islam
ISLAM merupakan agama yang komprehensif dan universal. Ajarannya mengatur berbagai aspek
Oleh Imran Abu Bakar
ISLAM merupakan agama yang komprehensif dan universal. Ajarannya mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat. Nilai-nilai Islam dapat dipakai untuk mencapai kemajuan dan kedamaian, bukan hanya oleh muslim tetapi juga oleh non-muslim. Islam bukan agama yang menjadi ancaman bagi golongan tertentu, tetapi Islam adalah sumber keadilan yang melindungi masyarakat dari tindakan kezaliman, serta membangun keharmonisan antarumat beragama dalam bernegara. Etika bernegara dalam Islam jelas menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mengutamakan prinsip musyawarah, sebagaimana firman Allah Swt: “Bermusyawarahlah untuk berbagai urusan.” (QS. Ali Imran: 159).
Konsensus dari sebuah musyawarah, dilindungi dan ditegakkan oleh Islam. Untuk mencapai sebuah konsensus, Islam tidak kaku dalam mengatur pola dan sistem. Oleh karena itu, maka Islam tidak mengharuskan bentuk tertentu untuk sebuah negara, seperti: monarki, presidentil, parlementer, dan lain-lain. Inti bernegara dalam Islam adalah kemampuan dalam mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Moralitas bangsa
Pincangnya rasa keadilan dalam sebuah negara, biasanya diakibatkan oleh runtuhnya moralitas bangsa. Para anak bangsa tidak lagi memikirkan pembangunan bangsa dan saling peduli antara satu sama lain, tetapi justeru terperosok ke dalam semangat menjadi mafia berbagai kejahatan. Mental bobrok seperti ini merasuk ke dalam masyarakat, terutama golongan birokrat, teknokrat serta aristokrat. Akhirnya, rakyat jelata dilanda sebuah penyakit kritis berupa lenyapnya optimisme kebangsaan dan nasionalisme.
Pengadilan jalanan menjadi jalan pintas penyelesaian masalah, karena rasa optimis terhadap pemerintah telah hilang, akibat kekecewaan terhadap praktik oknum dan perilaku aparatur pemerintahan. Perbaikan moral setiap warga negara termasuk aparatur pemerintah menjadi keniscayaan, sebagai wujud kesetiaan terhadap negara dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan. Kehancuran sebuah negara, sering bukan akibat rongrongan dan ancaman dari luar, tetapi akibat runtuhnya moral bangsa.
Alquran sebagai way of life umat Islam telah menggambarkan sebab-sebab kehancuran sebuah negara, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan kami tidak membinasakan suatu negeri, kecuali penduduknya melakukan kedhaliman.” (QS. al-Qashash: 59). Tindakan zalim yang dilakukan oleh penduduk merupakan faktor hancurnya negara, dan kehancuran bangsa ditandai dengan rusaknya moral masyarakat. Sedangkan inti moral masyarakat adalah terletak pada kemampuan bersikap adil dan tidak menzalimi, karena akhlak yang paling tinggi adalah ketika dapat menjaga diri dari perbuatan menyakiti orang lain, baik secara lisan maupun perbuatannya.
Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda: “Muslim yang sejati adalah yang dapat menjaga keselamatan manusia dan mukmin yang sejati adalah yang dapat memberi aman kepada manusia.” (HR. an-NasaaI).
Di samping itu, Alquran juga mengingatkan para pembesar dalam sebuah negara agar menjauhkan dari tipu daya jahat, karena tipu daya mereka, menjadi sebab hancurnya negara, sebagaimana firman-Nya: “Dan demikian pada setiap negeri kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri tersebut. Padahal mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.” (QS. al-An’am: 123).
Setiap orang yang telah diberi amanat oleh negara untuk menduduki sebuah jabatan, sekurang-kurangnya memiliki dua tanggung jawab: Pertama, tanggung jawab sebagai warga negara dan kedua, tanggung jawab sebagai pelaksana amanat negara. Kelalaian dan ketidakpedulian terhadap tanggung jawab, menjadi sebuah kesalahan besar bagi seorang pejabat negara, karena nadi kehidupan rakyat berada dalam genggamannya.
Kemudian secara khusus Alquran menyindir kebiasaan buruk para elite dalam sebuah negara sebagaimana firman Allah Swt: “Dan jika kami hendak menghancurkan suatu negeri, kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah untuk ta’at kepada Allah, tetapi mereka melakukan durhaka di dalam negeri, kemudian berlakulah hukuman, kami binaskan sama sekali negeri itu.” (QS. al-Isra: 6).
Hidup mewah para pejabat di tengah kemiskinan masyarakat, juga menjadi pemicu hancurnya sebuah negara, karena dapat memunculkan kecurigaan rakyat atas penyelewengan kekuasaan. Sebenarnya, Islam telah cukup memberikan etika bagi warga negara berupa perintah tunduk dan patuh kepada pemimpin. Sesungguhnya, ini merupakan cara Islam untuk melindungi pemimpin dari pemberontakan rakyatnya. Akan tetapi islam juga menggariskan etika pemimpin terhadap rakyat, berupa komitmen yang kuat dalam menjaga amanah kepemimpinan dan menegakkan keadilan.
Mesti ditumbuhkan
Kedewasaan dan kesadaran dalam bernegara mutlak diperlukan oleh setiap warga negara, supaya negara dapat berdiri tegak dan aman. Rasa nasionalisme dan hubbul wathan juga mesti ditumbuhkan. Konflik yang terjadi dalam sebuah negara, menandakan sendi-sendi nasionalisme telah rapuh. Konflik, sesungguhnya merupakan senjata pemusnah paling ampuh, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, dan konflik horizontal lebih berbahaya, karena bukan hanya menghancurkan rezim yang memerintah, tetapi juga menghancurkan negara dan bangsanya secara total.
Konflik yang terjadi di Aceh Singkil beberapa waktu lalu, misalnya, mesti menjadi bahan renungan untuk semua masyarakat Aceh, muslim dan non muslim. Konflik horizontal yang demikian dapat terjadi, hanyalah akibat kelalaian semua pihak. Dalam kasus ini, pemerintah tidak tepat, kalau hanya menyalahkan masyarakat, karena kejadian itu berawal dari ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan masalah masyarakat, padahal pemerintah memiliki wewenang dan sumber daya yang cukup.
Kasus Singkil, hanya akibat kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang tidak berdaya atau kurang peduli dalam mengurus, karena asyik dengan agenda pencitraan demi mempertahankan reputasi. Para pemegang tampuk kepemimpinan sibuk dengan second priority, sehingga persoalan masyarakat terbengkalai, akhirnya terjadilah tragedi yang menyayat hati.
Dalam lingkungan pemerintah yang rapuh, sangat rentan menyusup “provokator” untuk memperkeruh suasana, supaya Aceh kembali menjadi ladang konflik dan masyarakat Aceh akan terus dalam tragedi kemanusiaan yang akan membawa kepada ketertinggalan. Oleh karena itu, kita berharap kasus Singkil, diselesaikan secara adil dan mendasar. Wallahu a’lamu bi as-shawab.
* Tgk. Imran Abu Bakar, Rais Aam Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Dosen IAI al-Aziziyah, Samalanga, Bireuen. Email: manziliyya@gmail.com