Opini

Membangun Aceh Damai

ACEH secara Nasional dikagumi oleh semua publik baik dari segi keindahan alamnya, maupun sopan

Editor: bakri

Oleh Masrizal

ACEH secara Nasional dikagumi oleh semua publik baik dari segi keindahan alamnya, maupun sopan santun, keramah-tamahan, serta adat dan budaya masyarakatnya. Masyarakat Aceh mayoritas sebagai usaha bercocok-tanam, berkebun, bertani padi, kacang dan jagung merupakan produksi prioritas di daratan rendah serta kopi dan lain-lain yang ada di daratan tinggi.

Aceh bahkan sudah dikenal sampai ke mancanegara, seperti ekspor kopi Gayo (produksi Aceh Tengah dan Bener Meriah) sampai ke Amerika, Belgia (Eropa). Demikian pula seni budaya seperti Rapai Geleng Bujang Barona dari Manggeng Aceh Barat Daya (Abdya) sampai ke negara-negara Eropa. Begitu pula Tari Saman dari Aceh Tengah dan Seudati dari Aceh bagian Utara dan Timur.

Menyikapi berbagai macam pandangan yang berbeda, saya pikir itu memang sudah biasa dalam kultur kehidupan bermasyarakat di Aceh terdiri dari berbagai macam suku. Walaupun sebagian ada yang ingin minta “bercerai” dari induknya Provinsi Aceh --seperti Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan ((Abas) namun tetap dalam bingkai NKRI-- mungkin hal ini merupakan hak sebagai warga Negara.

Tapi perlu diingat oleh kita semua sebagai masyarakat yang mempunyai keberadaban, sopan dan satun yang merupakan pencerminan di Aceh, dan dikagumi oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Malah kita membaca pada media bahwa Provinsi Sulawesi Tengah dan Kalimatan Tengah melakukan studi banding ke Aceh, termasuk sejumlah kabupaten yang ada di Jawa Tengah yang mengadopsi budaya kita yang sangat elok di mata mereka, dan Aceh yang bersifat khusus dan kekhususan (lex spesialis dan lex generalis).

Lalu, mengapa tiba-tiba para aktivis dan LSM lantang bersuara --yang satu belum selesai tentang hal minta cerai (tidak lagi mau bergabung dengan indatu-nya Kutaraja), sudah timbul lagi masalah baru-- minta uji materil (judicial review) Pasal 205 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), terkait pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh yang mensyarakatkan perlu adanya rekomendasi Gubernur Aceh?

Berselisih paham
Mencermati kondisi ini seperti banyak ditulis media, khususnya Harian Serambi Indonesia, yang mana kawan-kawan aktivis peduli hukum selalu berselisih paham masalah Pasal 205 UUPA, yang dipersoalkan sehingga lupa akan nasib rakyat yang ekonominya masih banyak di bawah garis kemiskinan dan hidup morat-marit. Bukan dalam arti tidak boleh dalam mencoba melakukan judicial review tentang pasal tersebut, tetapi apa untungnya kalau kita selalu berperang urat saraf hanya soal tersebut?

Mengapa kawan-kawan para aktivis dan LSM Aceh tidak melakukan atau menuntut janji Jakarta terhadap Aceh yang akan menyejahterakan rakyat Aceh yang dulu janjinya seperti itu dalam MoU Helsinki? Seperti soal pembagian hasil minyak bumi dan gas (migas) dari eksploitasi bumi Aceh 70% untuk Aceh dari Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) yang dikola secara joint management antara 12 mil sampai 200 mil lalu, dan 30% untuk pusat.

Demikian juga mengenai regulasi- regulasi lainnya tentang pasal demi pasal, dimana selalu tidak sesuai dengan apa yang telah pernah dijanjikan untuk Aceh. Malah pusat sering melakukan wan prestasi terhadap Aceh sebagai mana perjanjian yang telah pernah kita tau bersama dalam sebuah MoU perdamain di HelSingki, dan kenapa pada saat hal tersebut para kawan-kawan Aktivis baik peduli Aceh seperti LSM maupun aktivis peduli hukum tidak meminta ikut serta hadir dan ikut membahas regulasi-regulasi MoU tersebut waktu itu, dan kalau memang bertentangan dengan maksud dan tujuan, mengapa tidak dari dulu dilakukan kritikan, baik kritikan tentang untuk pemisahan dengan provinsi induk maupun kritikan tentang Pasal 205 UUPA, dan itu juga kan merupakan hak konstitusional setiap warga, dan kenapa harus sekarang? Bukankah Aceh sekarang sedang berjalan dengan kedamaian dan mohon janganlah diusik lagi, sebab damai itu indah bagi kami rakyat kelas bawah.

Untuk apa kita terus menerus berperang dengan urat saraf. Bukankah dulu kita sudah merasakan imbas dari perang dengan senjata banyak korban bersimbah darah? Dan, sekarang saya rasa lebih baik jeda dulu tentang itu, walaupun sifat orang Aceh di katagorikan keras, dan kalau hana selesai buet dan hana sabe bagi, meupake sabe dan meuprang pun ditem. Ini sudah etiket orang kita Aceh, sihet han diteim tapi menyoe rou beu abeh. Kalau panton ureung jameun, masa Indatu dulu disebutkan: Ureung Aceh kuat dan carong bak meuprang; Ureung Padang carong bak peugah haba; Ureung Jawa carong boeh atoe; Ureung Batak yang duek di kanto.

Saya rasa, yang sudah sudahlah. Biarlah Aceh ini berjalan dulu untuk memperbaiki nasib hidup orang banyak yang dijalankan oleh pemerintah Aceh. Siapa pun dia, demi menata kembali roda perekonomian Aceh pascakonflik dan tsunami, mari kita membangun Aceh dalam suasana damai dengan hati dan kerja keras. Sebagaimana Aceh yang dulu pernah jaya mengenai hasil bumi Aceh dan perdagangan, bahkan saudagar Aceh dapat membawa saudagar kaya dari Istanbul (Turki) dan Pahang (Malaysia). Di samping menanamkan modalnya membantu Aceh dan membeli bahan rempah-rempah Aceh dan uang bisa berputar dengan lancar di Aceh tempo doeloe.

Lalu, mengapa sekarang Indonesia sudah lama merdeka, Aceh justru selalu dihadapkan dengan perang urat saraf? Kalau begini terus, meupake sabe keudroe-keudroe, apa artinya kedamaian yang hasilnya tidak maksimal? Jika kedamaian terusik, para investor yang mau menanamkan modal untuk membangun Aceh, membuka lapangan kerja yang dapat mengurangi pengangguran --baik pengangguran tingkat atas dan pengangguran tingkat bawah (PTA dan PTB)-- dan mengurangi angka kemiskinan yang selama ini semakin bertambah sebagaimana hasil survei statistik Aceh.

Jangan lanjutkan
Orang luar Aceh mungkin segan dan kagum kepada Aceh, tetapi dalam tatanan dan implementasi masyarakat Aceh, lalee bak meupake sabe awak droe. Ibarat buah peudendang dilihat dari luar buahnya bersih mengkilap, tapi begitu dibelah isinya ada yang busuk bahkan terkadang meukulat (berjamur). Sekali lagi, saya memberikan saran kalau memang bisa dihentikan, hentikanla! Janganlah dilanjutkan judicial riview maupun legislativ riview, seperti dipaparkan Amrizal J Prang dalam tulisannya “Menggugat UUPA, Melupakan Sejarah” (Serambi, 5/11/2015).

Kalaupun dilakukan seperti kehendak kawan-kawan para aktivis dan advokat sebagaimana telah kita singgung di atas, maka bukan tidak mungkin konflik akan kembali terjadi. Andai kata itu yang terjadi, siapa yang harus bertanggung jawab? Asal jangan “lempar batu sembunyi tangan” bila tetap ini yang dilakukan ke MK. Tidak tertutup kemungkinan pasal demi pasal baik dalam MoU maupun UUPA akan dilakukan peninjauan kembali (PK) oleh MK di Jakarta. Akhirnya membuat runtuh sendi-sendi harapan masyarakat Aceh untuk menikmati hidup damai dan sejahtera.

Dengan kondisi tersebut, tentunya, masyarakat akan kembali gelisah dan susah mengubah ekonominya dan malah lebih tidak diinginkan. Demikian juga selama ini, banyak institusi dan organisasi yang selalu mengatasnamakan masyarakat, termasuk adakah masyarakat yang dirugikan oleh Pasal 205 UUPA? Kalau ada, masyarakat yang mana atau institusi yang mana? Kalau bisa dapat dijelaskan di waktu dan kapan saja supaya tidak bertanya-tanya atau salah tafsir dan kalau memang hal itu perlu didukung, ya kita dukung.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved