Opini

‘Meriam Sri Rambai’ Iskandar Muda

SULTAN Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 Hijriyah bertepatan 27 Desember 1636 Masehi, 379 tahun yang lalu

Editor: hasyim

Oleh M. Adli Abdullah

Meuriam kawai sulotan
Laen nibak nyan lingka kuta
Habeh cukop peukakah prang
Keukuatan balatandra.

Pahlawan Rom kon bubarang
Gaseh sayang nibak raja
Han tom jeuoh uroe malam
Sajan sulotan dalam kuta.

SULTAN Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 Hijriyah bertepatan 27 Desember 1636 Masehi, 379 tahun yang lalu. Sultan Iskandar Muda adalah seorang tokoh yang tak akan dilupakan baik di Aceh maupun dalam perbincangan di rantau Asia Tenggara. Tindakannya dalam mengukuhkan kedaulatan Aceh dan mempersatukan kerajaan Melayu melawan kolonialisme rantau Asia Tenggara terus tercatat dalam memori sejarah.

Satu bukti sejarah kejayaan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masih tersisa saat ini adalah meriam Sri Rambai. Meriam itu sekarang diletakkan menghadap ke laut di Fort Cornwallis, George Town, Penang, Malaysia. Senjata berat kebanggaan Sultan Iskandar Muda ini, pada suatu ketika juga pernah digunakan oleh Francis Light pada 1786 M, dalam mempertahankan Pulau Penang dari serangan musuh.

Di punggung meriam Sri Rumbai tersebut terdapat ukiran dalam tulisan Jawi yang berbunyi: Tawanan Sulthan kita Sri Sulthan Perkasa Alam Johan Berdaulat menitahkan Orang Kaya Sri Maharaja akan Panglima dan Orang Kaya Laksamana dan Orang Kaya Lela Wangsa akan mengamuk ke Johor Sanat 1023 H (1613 M).

 Menaklukkan Johor
Awalnya, meriam Sri Rambai berada pada banteng pertahanan Belanda di kerajaan Johor yang dibangun pada 1606 M, dan digunakan juga oleh Sultan Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah III untuk mempertahankan diri dari serangan kerajaan Islam Aceh, karena Johor bekerja sama dengan Belanda menghadapi Aceh. Tetapi pada Juli 1613 M, Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan kerajaan Johor dan menghancurkan Batu Sawar, ibu kota Kerajaan Johor. Kemudian 22.000 penduduk Johor berserta Sultan Alauddin Riayatsyah III (Raja Siujud), Raja Abdullah, Tun Seri Lanang, dipindahkan ke Aceh (Lombard, 1986; Linehan, 1975).

Tindakan Sultan AlaidinRiatsyah III (Raja Si Ujud) bekerja sama dengan dengan penjajah membuat tentara Aceh dan Sultan Iskandar Muda marah dan tidak mungkin dimaafkan, bahkan dia kemudian dihukum bunuh di Aceh. Peristiwa ini digambarkan dalam Hikayat Malem Dagang sebagai berikut: Toeankoe, Si Oe/ Si Oedjoet tapoh mate/ di kamoe han le memeutjeedara// Di donja kon troih oe akhirat, kaphe la’nat be’ koengieng mata// (Cowan, 1937).

Kutipan Hikayat Malem Dagang di atas menunjukkan bahwa Sultan Alauddin Riayatsyah III harus dibunuh dan tidak lagi dianggap sebagai saudara. Kemudian dia dianggap sebagai pengkhianat terhadap Kerajaan Islam Aceh. Inilah tampaknya mengapa ada sikap anti Melayu di kalangan orang Aceh ketika itu. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Johor tersebut sangat melukai hati Sultan Iskandar Muda.

Jadi tulisan Jawi yang terdapat pada “meriam” seperti tersebut di atas adalah sebagai mengabadikan kenangan kepada para panglima Iskandar Muda yang telah berjasa dalam menawan Sultan Johor dan 22.000 pengikutnya dan melemahkan pakatan Belanda dan Portugis dalam merongrong Aceh.

Lebih kurang 180 tahun meriam Sri Rambai menjadi satu meriam kebanggaan Kerajaan Islam Aceh. Akan tetapi pada 1795, Sultan Aceh Alauddin Muhammad Syah (1781-1795) menghadiahkan meriam tersebut kepada Sultan Ibrahim dari Selangor, sebagai balas jasa atas pertolongan Raja Nala, yaitu adik Sultan Selangor dalam peperangan Aceh melawan pemberontakan.

Pada 1871 koloni Inggris yang telah menguasai negeri-negeri Selat (Straits Setieements, yaitu Pulau Pinang, Melaka dan Singapura), dalam usaha mereka menaklukkan Selangor, menembaki ibu kota Kuala Selangor dengan meriam-meriam dari kapal HMS Rinaldo dan meminta Raja Muda Tunku Kudin agar segera meninggalkan Kuala Selangor. Kota itu diruntuhkan dan berbagai jenis meriam dirampas dan dibawa ke Penang, termasuk meriam hadiah Sultan Aceh Alauddin Muhammad Syah (1781-1795).

 Perlu dikenang
Momentum 27 Desember perlu dikenang sebagai hari yang penuh hikmah, atas keperkasaan Sultan Iskandar Muda yang telah berhasil mensejajarkan Aceh dengan bangsa-bangsa beradab lain sepanjang sejarah. Momentum ini harus mengisi semua momori rakyat Aceh pada masa kini dan masa depan. Supaya generasi Aceh tidak kehilangan identitasnya. Kehilangan identitas suatu generasi, sama halnya dengan hilangnya harga diri sebuah bangsa.

Di sisi lain, membangun sebuah bangsa tidak cukup hanya dengan modal budaya intelektual personal. Akhirnya, untuk mengenang 379 tahun meninggalnya Sultan Iskandar Muda dan bersejarahnya meriam Sri Rumbai sebagai satu bukti identitas Aceh, maka sudah sepatutnya pihak eksekutif dan legislatif Aceh proaktif mengusahakan benda sejarah ini sebagai warisan peradaban Aceh.

Wali Nanggroe juga harus berperan aktif membangun upaya negosiasi, serta mengusahakan agar meriam tersebut dapat berada di Aceh atau setidaknya diakui oleh negara Malaysia sebagai satu warisan identitas keacehan yang masih wujud di negeri seberang. Usaha yang harus dilakukan oleh Wali Nanggroe ini sesuai dengan prinsip kelembagaannya sebagai pembina kehormatan, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh (Pasal 2 huruf c Qanun Aceh No.9 Tahun 2012). Wassalam.

M. Adli Abdullah, SH, MCL., Mahasiswa Program Doktoral Universitas Sain Malaysia. Email: bawarith@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved